Juventus, Liga Champions, dan Celah Makna Menanti Godot

oleh Tyo Harsono diperbarui 16 Jun 2017, 15:55 WIB
Reaksi kiper Juventus, Gianluigi Buffon, setelah gagal mengantarkan timnya juara Liga Champions 2016-2017. (AFP).

Bola.com — Di bawah pohon berbalut rona temaram senja, Estragon duduk di gundukan tanah. Tangannya sibuk melepaskan sepatu bot. Beberapa kali Estragon mencoba, sepatu bot di kakinya tak lepas jua. Dia menarik kedua tangannya, lalu terengah-engah. Estragon kembali mencoba dan pada akhirnya ia menyerah.

Advertisement

"Aku mulai setuju dengan pendapat itu," demikian terdengar suara beriringan dengan langkah kaki mendekat ke arah Estragon, yang masih kebingungan sepatunya tak bisa lepas. Pemilik suara itu bernama Vladimir.

"Sepanjang hidup, aku mencoba menjauhkan pendapat tersebut dariku dengan berkata, 'Vladimir, sekarang, cobalah berpikir, kamu belum mencoba semuanya. Oleh karenanya, aku harus berjuang," Vladimir melanjutkan percakapan. Percakapan yang menjadi awal atau bahkan bisa pula akhir cerita dalam naskah drama milik sastrawan asal Irlandia, Samuel Beckett berjudul Waiting For Godot (1953).

Drama yang mulanya ditulis dalam bahasa Prancis, dengan judul En attendant Godot ini, dalam kacamata normal, memang absurd. Meski begitu, hingga saat ini, Waiting for Godot, tetap diakui sebagai karya besar. Padahal, karya tersebut pertama kali hanya dicetak 400 ekspemplar oleh sebuah penerbit kecil. Tujuh tahun setelah bukunya terbit, Samuel Beckett pun meraih penghargaan Hadiah Nobel bidang sastra.

Samuel Buckett, penulis karya Waiting of Godot. (The Guardian).

Waiting for Godot mengisahkan dua anak manusia terasing bernama Vladimir dan Estragon yang digambarkan sebagai gelandangan. Kedua orang ini sama-sama menunggu "sesuatu" yang mereka sebut Godot. Guna mengisi waktu penantian yang tak bertepi itu, mereka ngobrol ngalor-ngidul hingga bertemu dengan sosok lainnya bernama Pozzo, Lucky, dan Boy.

Akan tetapi, hingga percakapan habis, mereka harus mengulang kembali percakapan dari awal, tentang sepatu bot, dan seterusnya. Namun, yang menarik, manusia-manusia yang saling berbeda sudut pandang tersebut sama-sama berharap pada Godot untuk mengeluarkan mereka dari ketidakberdayaan dan keputusasaan. Sayangnya, sampai akhir cerita, Godot yang mereka tunggu tidak kunjung datang.

Secara esensi, Waiting for Godot, tidak hanya merupakan cara hebat Becket untuk menunjukkan betapa menunggu itu benar-benar berat, tetapi lebih dari itu, Becket menguncang kesadaran manusia untuk mempermainkan penghayatan menanti dalam kesiasiaan yang absurd. Absurditas yang mampu membunuh pelan-pelan bagi manusia jika tak mampu mencari celah-celah arti dan makna sebuah penantian.

Toh, penantian adalah fenomena manusiawi. Setiap manusia, dalam akal budinya, mau tahu pasti mengenai kapan waktu dan bagaimana waktu itu terjadi. Sehingga, wajar jika penantian tiap insan terkadang berujung kekecewaan. 

Untuk mengatasinya, setiap manusia harus bekerja keras melawan absurditas untuk meraih mimpi mereka masing-masing. Meminjam bahasa Paulo Coelho, "Jika rasa sakit itu harus datang, cepatlah datang, karena aku harus tetap hidup untuk bertahan dan aku harus hidup dengan cara sebaik mungkin."

Bertahan dalam penantian tersebut pun tidak hanya berlaku dalam kehidupan manusia, tetapi juga sepak bola. Contoh teranyar, lihatlah perjuangan Juventus saat berusaha ekstra keras menggapai hasrat meraih trofi Liga Champions yang telah dua dekade lamanya hilang dari pangkuan Si Nyonya Besar.

2 dari 3 halaman

Liga Champions

Ekspresi kiper Juventus, Gianluigi Buffon, saat melakukan selebrasi kemenangan usai timnya mengalahkan AS Monaco dalam laga semifinal Liga Champions. Buffon tampil di tiga final Liga Champions, yaitu pada 2003, 2015 dan 2017. (AFP/Valery Hache)

"Setelah kalah 1-3 dari Barcelona, Juventus sadar pentingnya meningkatan kualitas teknik. Jadi, mereka merekrut pemain juara seperti Gonzalo Higuain, Paulo Dybala, dan pemain berpengalaman seperti Sami Khedira. Ini saatnya yang tepat bagi Juventus menjadi juara Liga Champions," ujar pelatih tim nasional China, Marcelo Lippi.

Marcello Lippi merupakan pelatih terakhir yang sukses mengantarkan Juventus meraih Liga Champions pada 1996. Ia mengerti betul perjuangan berat Juventus untuk mengulang kesuksesan yang sama. Setelah pesta juara di Stadion Olimpico, Roma, Juventus bahkan pernah terjerumus dalam pusaran skandal Calciopoli sehingga membuat mereka turun kasta hingga ke Serie B pada 2006.

Akan tetapi, Juventus mampu bangkit dari keterpurukan. Enam tahun berselang, bersama Antonio Conte, yang kini menjadi manajer Chelsea, Juventus kembali unjuk gigi di ajang Serie A. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, meski sudah berganti kepelatihan ke era Massimiliano Allegri, Juventus kian tidak terbendung di Italia dengan menyabet enam gelar Scudetto beruntun sejak musim 2011-2012.

Para pemain Juventus merayakan gelar Scudetto di Stadion Juventus, Turin, Minggu (21/5/2017). (AFP/Filippo Monteforte)

Pertanyaannya, jika sudah mampu meraih kesuksesan di Italia, bagaimana dengan nasib mereka di turnamen Eropa? Apalagi, sejak puluhan tahun lalu, Liga Champions menjadi dambaan setiap klub besar Eropa menancapkan supremasi serta gengsi. Andai di turnamen domestik mampu unjuk gigi, belum tentu di Eropa mereka dapat berprestasi.

Belum lagi melihat para pesaingnya, seperti Inter Milan, AC Milan mampu mengangkat trofi Liga Champions setelah era Calciopoli berakhir. Oleh karenanya, Juventus mencoba tetap bertahan untuk meraih ambisi besar di ajang Liga Champions. Satu hal pasti hal tersebut tentunya perlu perjuangan ekstra besar.

Menurut catatan Transfermarkt, sejak musim 2011-2012, Juventus telah menggelontorkan dana sebesar 585,66 juta euro (Rp 8,9 triliun) demi mendapatkan tanda tangan pemain-pemain bintang dunia seperti Gonzalo Higuain, Mario Manduzkic, Paulo Dybala, Alex Sandro, hingga Miralem Pjanic.

Para pemain tersebut pun membuktikan permasalahan utama Juventus dalam beberapa tahun belakangan adalah barisan depan. Toh, Juventus sudah "diwarisi" sektor pertahanan cukup mumpuni sejak era Marcelo Lippi. Lihat saja Ciro Ferrara, Paolo Montero, Mark Iuliano, hingga Fabio Canavaro.

Dengan merekrut pemain bintang bertipe menyerang, Juventus sejatinya sadar, nilai satu-satunya dalam sepak bola adalah gol. Memiliki barisan depan mumpuni yang ditopang para bek yang bertaji, wajar jika juventus sebelumnya sempat diunggulkan sebagai calon kuat juara Liga Champions 2016-2017.

Anggapan itu sebenarnya bukan isapan jempol. Sebelum pertandingan final Liga Champions melawan Real Madrid, di Stadion Millenium, Cardiff, Wales, Juventus merupakan satu-satunya klub yang tidak terkalahkan sejak babak fase grup. Dari sembilan laga, Juventus menang enam kali menang dan tiga kali meraih hasil imbang.

Belum lagi bicara kinerja Leonardo Bonucci dan kawan-kawan di barisan pertahanan. Sebelum takluk dari El Real, Juventus pun tercatat hanya kebobolan tiga gol. Berbagai hal inilah yang membuat klub Massimiliano Allegri dianggap mampu mengakhiri penantian mereka merengkuh gelar juara yang telah lama dinanti.

3 dari 3 halaman

Penantian

Gianluigi Buffon (2kanan) saat berbincang dengan rekannya usai laga final Liga Champions melawan Real Madrid di Millennium Stadium, Cardiff, Wales (3/6/2017). Juventus kalah 1-4. (AP /Dave Thompson)

Sayangnya, begitu wasit meniup peluit tanda akhir pertandingan, penantian panjang Juventus pada ajang Liga Champions hanya kembali berujung kekecewaan. Juventus kalah 1-4 dari Real Madrid. Melihat justru pemain klub lawan yang mengangkat piala, hati Gianluigi Buffon pun seraya menjerit. 

"Ini adalah kekecewaan yang sangat besar karena kami pikir, kami telah melakukan semua hal yang diperlukan untuk bermain di final dan memenanginya. Namun, nyatanya tidak," ujar Gianluigi Buffon, setelah laga usai. 

Dalam hati Gianluigi Buffon, Juventus rasanya tidak pernah mengalami kepedihan seperti ini. Juventus tampil hebat, kuat, dan terpandang sepanjang ikut serta dalam turnamen. Namun, mereka lumpuh, tak berdaya saat gawang Buffon dibobol empat kali oleh Cristiano Ronaldo dan kawan-kawan. 

Siapakah yang salah? Massimiliano Allegri karena taktinya yang tak jitu? Paulo Dybala yang kehilangan taji di lapangan tengah? Leonardo Bonucci di barisan pertahanan yang lengah? Satu-satunya yang mereka tahu adalah Real Madrid yang membuat mereka malu.

Para pemain Juventus setelah kalah 1-4 dari Real Madrid pada pertandingan final Liga Champions, di Stadion Millenium, Cardiff, Sabtu (3/6/2017). (AFP).

Terlepas dari pertanyaan di atas, kiranya bagi para pemain Juventus, termasuk Gianluigi Buffon, mencoba untuk tidak menyerah. Menurut Buffon, yang sudah berada di penghujung karier, "Saya bermain bersama Juventus selama bertahun-tahun. Saya dapat sesuatu lebih dari saya dapatkan. Namun, pada akhir nanti, memenangi turnamen ini akan menjadi penutup yang sempurna."

Toh, absurditas dalam dunia sepak bola kiranya berbeda dengan kehidupan manusia. Tidak seperti dalam kehidupan manusia yang terkadang membuat keberhasilan dan kegagalan tersamar absurd, dalam sepak bola, kemenangan dan kekalahan adalah hal biasa. 

Oleh karena itulah, setiap pesepak bola dituntut bekerja keras hingga peluh keringat terakhir demi meraih kemenangan. Banyak bukti kerja keras mereka membuahkan kemenangan dengan cara yang sulit dicerna logika. Andai hanya kembali mengalami kekecewaan, kiranya itulah yang mesti dijadikan semangat memperbaiki penampilan agar mendapatkan hasil yang lebih baik pada esok hari. 

"Pernah mencoba? Pernah gagal? Itu tidak penting. Teruslah mencoba. Andai gagal lagi itu akan menjadi kegagalan yang lebih baik." — Samuel Beckett

Sumber: Berbagai sumber

Saksikan cuplikan pertandingan dari Liga Inggris, La Liga, Liga Champions, dan Liga Europa, dengan kualitas HD di sini