Keturunan Kedelapan Sepak Bola Italia

oleh Tyo Harsono diperbarui 16 Nov 2017, 12:10 WIB
Kiper Italia, Gianluigi Buffon mengusap air matanya seusai menjamu Swedia pada playoff zona Eropa di Stadion San Siro, Selasa (14/11). Buffon tak kuasa menahan tangis setelah timnya gagal lolos ke Piala Dunia 2018. (AP/Luca Bruno)

Bola.com, - Peluit berbunyi panjang tanda pertandingan berakhir, namun Stadion Giuseppe Meazza justru tampak muram. Gianluigi Buffon berurai air mata, begitu pula seluruh masyarakat Italia.

Advertisement

Bukan hasil pertandingan yang menjadi sebabnya karena timnas Italia tidak menelan kekalahan. Gli Azzurri bermain tanpa gol kontra Swedia di stadion kebanggaan pendukung Inter Milan dan AC Milan itu. Namun, hasil imbang itu juga yang membuat mereka gagal melaju ke Piala Dunia 2018.

Kegagalan itu merupakan tragedi untuk pencinta sepak bola Italia. Bagaimana tidak, sepak bola merupakan keseharian bagi masyarakat Italia. Menurut Gianluca Vialli dalam bukunya yang berjudul The Italian Job (2007), pertandingan sepak bola merupakan bahasan orang-orang di negara itu setiap berkumpul.

"Orang-orang Italia membahas sepak bola setiap hari, mereka membicarakan mengenai taktik dan pilihan pemain seperti seorang pelatih profesional. Kami juga sangat membenci kekalahan, sehingga klub di Italia dapat dengan mudah memecat pelatih," tulis Vialli.

Masyarakat Italia sangat mencintai Gli Azzurri karena bangga dengan sejarah panjang mereka. Timnas Italia merupakan pemegang empat gelar Piala Dunia dan satu trofi Piala Eropa. Mereka menganggap timnasnya sebagai aristokrat dunia sepak bola.

Alhasil, kegagalan lolos ke Piala Dunia 2018 bagaikan mencoreng martabat Italia. Empat pemain langsung mengumumkan pensiun dari timnas karena menanggung malu, yaitu Gianluigi Buffon, Daniele De Rossi, Giorgio Chiellini, dan Andrea Barzagli.

Foto dok. Bola.com

Selain keempat pemain itu, pelatih Gian Piero Ventura juga dikabarkan berniat mengajukan pengunduran diri. Ventura mengulangi kegagalan Italia 60 tahun silam ketika absen pada Piala Dunia 1958.

 

2 dari 4 halaman

Pelatih Bermental Medioker

Gian Piero Ventura mengatakan masalah fiisik menjadi penyebab hasil imbang Italia saat melawan Makedonia. (doc. FIGC)

Kegagalan Italia membuat seluruh mata tertuju ke Gian Piero Ventura. Sang pelatih dianggap tidak memiliki kapabilitas untuk menangani kesebelasan sebesar Gli Azzurri. Latar belakang Ventura yang hanya pernah menangani klub semenjana pun kembali diangkat oleh publik Italia.

Sebelum mengasuh timnas Italia, Ventura hanya pernah menangani kesebelasan macam Sampdoria, Cagliari, Udinese, dan Torino. Pelatih berusia 69 tahun itu juga hanya mengoleksi gelar Serie C dan Serie D sepanjang kariernya.

Sebenarnya, latar belakang Ventura itu tidak bisa menjadi alasan. Beberapa pelatih yang sukses menangani timnas tidak melulu punya karier mentereng.

Sebagai contoh, Joachim Low juga hanya mengasuh VfB Stuttgart dan Fenerbache sebelum melatih timnas Jerman. Pengalaman Gareth Southgate hanya menangani Middlesbrough. Sedangkan Jorge Sampaoli hanya melatih klub-klub semenjana sebelum berhasil bersama timnas Cile.

Foto dok. Bola.com

Akan tetapi, kesalahan Ventura terletak pada mentalitasnya. Selama mengasuh timnas Italia, Ventura terlihat bingung dengan materi pemain yang dia miliki. Alhasil, Gli Azzurri seolah menjadi tim yang tidak memiliki identitas.

Pada awal kepemimpinan Ventura, Italia bermain dengan formasi peninggalan Antonio Conte, 3-5-2. Setelah itu, mereka kerap memainkan pola ofensif 4-2-4. Namun, tidak jarang Italia turun dengan formasi alternatif seperti 4-3-3 atau 3-4-3.

Perubahan strategi yang terlalu drastis itu membuat para pemain merasa kesulitan beradaptasi. Terlebih, sebagian besar kesebelasan di Serie A dan Eropa bermain dengan formasi dasar 4-2-3-1 yang justru tidak digunakan oleh Ventura.

Utak-atik taktik yang dilakukan Ventura menjukkan ketidak mampuannya untuk menangani pemain-pemain berkualitas. Ventura seolah memperlihatkan identitas sebagai pelatih tim-tim medioker yang kerap berganti strategi untuk lolos dari jurang degradasi. Situasi itu tentu berbeda dengan Conte yang memiliki pakem 3-5-2 atau 3-4-3.

Selain itu, beberapa pemain senior dikabarkan tidak setuju dengan kebijakan Ventura. Teranyar, Daniele De Rossi menolak instruksi Ventura untuk bermain ketika menghadapi Swedia. Kapten AS Roma itu merasa Ventura seharusnya memainkan Lorenzo Insigne karena Italia butuh kemenangan.

Foto dok. Bola.com

Satu lagi kesalahan Ventura adalah ketika dia meyakini timnas Italia tidak akan lolos langsung ke Piala Dunia 2018 karena berada satu grup dengan timnas Spanyol. Ucapan Ventura itu sontak membuat pencinta sepak bola Italia murka.

"Saya menyadari akan bermain pada fase play-off sejak pertama kali mengetahui berada satu grup dengan Spanyol. Saya tidak terkejut harus mengikuti play-off," kata Ventura sebelum laga menghadapi Swedia.

 

3 dari 4 halaman

Bukan Semata Salah Ventura

wewew

Meski begitu, tidak adil rasanya menimpakan kesalahan sepenuhnya kepada Ventura. Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) juga memiliki andil terhadap kegagalan Gli Azzurri berlaga pada Piala Dunia 2018.

Kegagalan tampil di Rusia sepatutnya membuka mata FIGC. Mereka tidak sepantasnya menimpakan kesalahan kepada Ventura. Terlalu banyak kebijakan FIGC yang sudah usang untuk sepak bola modern.

Akibatnya, Italia kesulitan menemukan talenta-talenta terbaik. Kondisi itu tentu ironis, mengingat mereka kerap melahirkan pemain berbakat pada masa lalu, mulai dari Giuseppe Meazza, Dino Zoff, Roberto Baggio, hingga Francesco Totti.

Foto dok. Bola.com

Regenerasi pemain berbakat Italia seolah terhenti pada generasi Totti dan kawan-kawan. Gli Azzurri kesulitan mencari pemain-pemain berbakat. Celakanya, FIGC justru memilih jalan instan dengan menaturalisasi pemain.

Dalam satu dekade terakhir, timnas Italia banyak memainkan Oriundi (pemain asing). Mulai dari Eder, Jorginho, Ezequiel Schelotto, hingga Gabriel Paletta menjadi pemain asing di tubuh Gli Azzurri.

Beberapa pihak menganggap banyaknya Oriundi itu yang sebagai alasan timnas Italia menjadi lemah dan talenta lokal gagal berkembang. Padahal, Italia memiliki banyak pemain muda berbakat seperti Gianluigi Donnarumma, Daniele Rugani, dan Roberto Gagliardini.

"Italia tidak kehilangan Piala Dunia setelah gagal mengalahkan Swedia. Kami telah kehilangan sejak 15 tahun lalu, ketika memutuskan untuk mengambil pemain dari berbagai negara yang menutup kesempatan talenta lokal," tulis Paolo Cannavaro pada akun Instagram-nya.

Selain itu, kesebelasan yang tampil di Serie A juga lebih banyak menggunakan jasa pemain asing. Dalam beberapa musim terakhir, jumlah pemain asing di Serie A meningkat hingga 60 persen. Situasi tersebut membuat pemain-pemain asli Italia memilih untuk berkarier di luar negeri.

Foto dok. Bola.com

Marco Verratti tidak pernah bermain di Serie A karena langsung pindah dari Serie B ke Paris Saint-Germain, sedangkan Matteo Darmian tidak dipercaya AC Milan dan kini berkarier di Manchester United. Sementara itu, bakat Manolo Gabbiadini tersia-sia di Juventus dan Napoli sebelum sukses bersama Southampton. Teranyar, karier Simone Zaza bersinar bersama Valencia setelah sempat meredup di Juventus.

Sebagai perbandingan, ketika Italia menjuarai Piala Dunia 2006, ke-23 pemain mereka memperkuat kesebelasan yang tampil di Serie A. Pada masa lalu, klub-klub Serie A lebih percaya dengan talenta lokal yang mereka miliki.

"Saya tidak masalah jika klub mendatangkan pemain asing sekaliber Edinson Cavani. Namun, ketika mereka lebih percaya pemain asing karena memiliki kewarganegaraan yang berbeda, saya tidak dapat mendukungnya," ujar mantan pelatih timnas Italia, Marcelo Lippi.

 

4 dari 4 halaman

Kebanggaan Semu Masa Lalu

Italia juara Piala Dunia 2006 (AFP/Staff)

Sekitar satu dekade silam, Italia menjuarai Piala Dunia 2006 di Jerman. Ketika itu, mereka mengalahkan tim tuan rumah pada laga semifinal. Ironisnya, gelar tersebut merupakan akhir dari kejayaan sepak bola Italia dan awal kebangkitan sepak bola Jerman.

Setelah kekalahan dari Italia di hadapan pendukung sendiri, Jerman mulai berbenah. Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) membuat kurikulum baru untuk memajukan talenta lokal. Hasilnya luar biasa, Nationalelf selalu melaju minimal hingga ke semifinal turnamen besar dalam satu dekade terakhir.

Foto dok. Bola.com

Saat ini, pencinta sepak bola Italia hanya bisa membanggakan masa lalu. Mereka akan menceritakan bagaimana Gli Azzurri menjuarai Piala Dunia 2006 dan klub-klub asal Italia sempat mendominasi Eropa.

Meski begitu, mereka melupakan satu hal penting. Mereka hidup pada masa kini dan menatap masa depan. Para pencinta sepak bola Italia seolah seorang lelaki yang berasal dari keluarga yang punya kekayaan untuk tujuh keturunan. Namun, lelaki itu jatuh miskin karena merupakan keturunan kedelapan.

FIGC memiliki dua pilihan untuk timnas Italia. Merombak total struktur dan aturan yang berlaku dan menuju kesuksesan seperti timnas Jerman, atau terus mengais kejayaan masa lalu dan mencari kambing hitam pada setiap kegagalan.

"Sepak bola Italia tidak lagi berada dalam level yang sama seperti pada masa lalu. Mereka mengira akan selamanya menjadi yang terbaik di dunia," - Zdenek Zeman.

Sumber: Berbagai sumber

Saksikan cuplikan pertandingan dari Liga Inggris, La Liga, Liga Champions, dan Liga Europa, dengan kualitas HD di sini