Bola.com, Jakarta - Tulehu. Di desa Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah itu, sepak bola adalah obat bagi jiwa yang terluka. Konflik berdarah pada 1999-2000 menyisakan luka batin mendalam. Tidak hanya bagi masyarakat dan para orang tua, tetapi juga anak-anak mereka. Keterbatasan pun menjadi penghias kehidupan di sana.
Baca Juga
Di tengah kondisi itu, sepak bola memainkan peran istimewa. Berkat sepak bola, gairah anak-anak Tulehu tetap terjaga dari pertikaian dan perpecahan yang hingga saat ini tetap rawan terjadi di berbagai daerah. Melalui sepak bola pula, kaki-kaki mereka tetap lincah mengejar mimpi memperbaiki perekonomian keluarga.
"Ayah ingin saya memiliki kehidupan lebih baik pada masa depan," ujar Rizki Lestaluhu, anak asal Tulehu, saat menceritakan alasan menekuni sepak bola. "Dia sadar, sebagai pengendara ojek, dia tidak bisa memberikan saya pendidikan tinggi. Jadi, menjadi pesepak bola adalah satu-satunya harapan."
Meski baru berusia 14 tahun, Rizki Lestaluhu mengerti betul sepak bola adalah harapannya memiliki kehidupan yang lebih baik pada masa depan. Apalagi, profesi sebagai pengendara ojek motor membuat sang ayah, yang bernama Syamsuddin, hanya mampu mengantongi uang tidak lebih dari Rp 100.000 per hari.
"Ayah saya bekerja mulai dari pukul 04.00 pagi dan kembali ke rumah pukul 19.00, demi mendukung mimpi saya menjadi pemain sepak bola profesional. Jadi, saya tidak ingin mengecewakannya," tutur Rizki.
Dukungan kepada Rizki pun tidak hanya terlihat dari peluh keringat sang ayah bergumul dengan debu jalanan demi mencari pelanggan. Agar anaknya dapat berlatih setiap saat, Syamsuddin memanfaatkan pipa-pipa besi dan jaring ikan bekas yang disulap menjadi gawang kecil di halaman belakang kediamannya.
Dengan gawang sederhana itulah, Rizki banyak menghabiskan waktu, di luar aktivitasnya berlatih bersama Sekolah Sepak Bola Tulehu Putra. Setiap sore, ia bermain, meliuk-liukan badan, menggiring, serta menendang bola ke dalam gawang untuk mengasah kemampuan. Bagi dia, usaha keras adalah satu-satunya cara mewujudkan impian.
Jalan kaki 3 km...
Usaha keras Rizki tidak hanya terlihat di lapangan saja, tetapi juga ketika ia ingin membeli sepatu sepak bola baru. Tak mau membebani orang tua, Rizki mencari cara agar dapat menyisihkan uang saku sekolahnya. Ia rela berjalan kaki dari rumah ke sekolahnya di Mts 3 Maluku Tengah yang berjarak 3 kilometer.
Rizki mengaku, setiap hari mendapat uang saku Rp 10.000. Menurut dia, transportasi pulang-pergi menggunakan ojek ke sekolah menghabiskan biaya Rp 6000. Oleh karenanya, demi sepatu bola baru, ia rela bangun sejak subuh untuk berangkat ke sekolah.
"Saya sudah satu minggu ke sekolah tidak menaiki ojek karena uang jajannya mau saya tabung untuk membeli sepatu bola baru," ungkap Rizki.
Melihat usaha keras putranya tersebut, Syamsuddin mengaku terkadang merasa iba. Namun, menurut dia, "Saat ini, uang (penghasilan menjadi pengemudi ojek) paling cuma cukup untuk makan sehari-hari dan biaya anak sekolah."
Syamsuddin hanya dapat berharap agar Rizki tetap pantang menyerah dengan keadaan. Harapan itu pun kian menegaskan begitu istimewanya sepak bola di Negeri Tulehu. Jika awalnya menjadi obat jiwa yang terluka karena konflik agama, kini, sepak bola menjadi secercah asa untuk mengangkat derajat Rizki dan keluarga.
Baca artikel sebelumnya: