Banda Aceh- Timnas Indonesia gagal merebut juara di Aceh World Solidarity Tsunami Cup (AWSTC) 2017 dan harus puas sebagai runner-up. Mereka kalah 0-1 dari Kirgizstan pada laga pamungkas di Stadion Harapan Bangsa, Aceh, Rabu (6/12).
Selama pagelaran ini, Timnas Indonesia sebenarnya menunjukkan beberapa peningkatan secara kualitas permainan. Faktanya, mereka selalu menguasai bola dalam tiga laga yang dijalani.
Baca Juga
Namun, beberapa kelemahan masih jadi sorotan. Tentu, ini bisa menjadi pelajaran berharga Luis Milla dalam rangka persiapan Asian Games 2018.
Sebab, tim-tim seperti Mongolia, atau Kyrgyztan, menggambarkan betul bagaimana postur dan kualitas calon lawan nanti. Berikut 5 kelemahan Timnas Indonesia selama Tsunami Cup versi Liputan6.com:
Lemah Penyelesaian
Timnas Indonesia tampil impresif sepanjang tiga laga di Tsunami Cup. Mereka total melakukan 66 percobaan ke gawang, saat lawan Brunei Darussalam, Mongolia, dan Kyrgyztan.
Namun demikian, nyatanya hanya 27 tembakan tepat sasaran, dan cuma berbuah tujuh gol. Fakta tersebut semakin diperkuat saat lawan Brunei.
Pasukan Luis Milla kala itu total catatkan 25 percobaan, tapi ironisnya cuma delapan yang tepat sasaran. Hal ini harus digarisbawahi Luis Milla dengan tinta merah.
Spasojevic Belum Klop
Spaso sebenarnya diharapkan menjadi jawaban kebutuhan Indonesia akan striker bertipikal goal getter. Sayangnya, Spaso belum terlalu nyetel dengan permainan Evan Dimas dkk.
Penyerang naturalisasi asal Montenegro itu memang sudah kemas tiga gol. Namun, patut diingat, dua di antaranya berbuah melalui sepakan penalti.
Dengan catatan tersebut, Luis Milla tampaknya harus mengadaptasi dan analisis apa kebutuhan Spaso untuk jadi mesin gol Indonesia. Entah itu mengubah pakem, atau mencari pemain yang bisa dukung Spaso di depan.
Berputar di Tengah
Timnas Indonesia selalu unggul dalam penguasaan bola dalam tiga pertandingan terakhir. Termasuk, saat lawan Kyrgyztan, Indonesia memenangi 55 persen bola.
Namun demikian, bola sayangya cuma berputar di tengah saja. Garuda hanya memainkan tempo sambil menunggu lawan keluar dengan butki rata-rata akurasi passing 66%.
Indonesia harus lebih agresif mengambil inisiatif maju menyerang. Hal ini untuk membuat lawan sedikit demi sedikit buka pertahannya dan celah itu bisa dimanfaatkan Indonesia.
Masih Emosional
Ini poin terpentingnya. Indonesia acap emosional ketika permainan keras berlangsung. Bahkan, dua laga terakhir terjadi friksi di tengah laga.
Indonesia tercatat 17 kali dikasari saat lawan Mongolia. Sedang saat kontra Kyrgyztanm Indonesia dilanggar 27 kali. Sebenarnya ini positif yang menandakan permainan Indonesia membuat lawan kelimpungan.
Sayangnya, beberapa pemain melakukan reaksinya dengan cara kurang baik. Emosi justru membuat konsentrasi permainan berantakan.
Hilang Fokus
Lawan Brunei, bek Indonesia terlihat aman. Tapi, saat kontra Mongolia, tanda-tanda hilang fokus di belakang mulai kentara.
Buktinya, Garuda dua kali dihukum penalti dalam laga melawan Mongolia. Demikian pula lawan Kyrgyztan, Indonesia harus kecolongan karena bola liar menit 20.
Sebenarnya, pertahanan Indonesia sudah solid dengan duet Fachruddin Aryanto-Hansamu Yama. Namun, chemistry keduanya harus terus dibangun karena baru beberapa bulan terakhir dipasangkan. (Eka Setiawan)