Bola.com, Jakarta - Dari acara reuni yang sayangnya tak bisa saya hadiri, satu sahabat menyampaikan salam dari seorang teman kami: katakan padanya (saya) pangkatku sekarang letnan kolonel.
Baca Juga
Adakah nilai kesombongan di balik pesan itu? Justru sebaliknya. Ini sebentuk penghormatan dia kepada mendiang ayah saya. Sejak kecil, ia (dan saya) mengagumi profesi beliau sebagai tentara angkatan laut. Untuk sampai ke jenjang itu (masih di atas pencapaian teman saya sampai saat ini), diperlukan disiplin, dedikasi, dan totalitas, di mana dalam pandangan kami saat itu terasa sulit direalisasikan. Tetapi nyatanya kawan ini menjadikan ayah saya sebagai inspirasi dan memilih penghidupan serupa.
Bukan Lagi Senna dengan Hamilton
Mungkin terlalu jauh mengambil contoh, tetapi sukses Lewis Hamilton dalam meraih gelar juara dunia F1 empat kali bisa dijadikan analogi.
Ia yang dibesarkan bersama video-video rekaman balap Ayrton Senna, menjadikan driver Brasil itu sebagai idola yang dekat di hati (terlebih karena Senna berlaga dengan tim Inggris dan bermukim di Inggris, negerinya Hamilton), meluangkan waktu sebelum GP Brasil untuk ziarah ke Morumbi Cemetery Sao Paulo. Dia juga pernah merasakan menyetir jet darat Senna, tiba-tiba sudah sampai di titik prestasi yang mengungguli sang idola.
Tahun ini, Hamilton bukan lagi sejajar Senna sebagai penyandang gelar juara dunia tiga kali, melainkan di atasnya. Empat kali. Sebuah reputasi di F1 yang tadinya hanya milik Alain Prost dan Sebastian Vettel.
Kebanggaan, keharuan, dan kebahagiaan menyeruak dari reputasi yang berhasil direngkuh Hamilton. Begitulah dirasakan fansnya, serta warga Britania Raya pada umumnya. Setelah era Sir Jackie Stewart (tiga kali juara dunia), Graham Hill dan Jim Clark (masing-masing dua kali), kini negara yang melahirkan balap GP (Grand Prix) F1 kembali mencetak seorang driver legendaris.
Peraih juara dunia F1 terbanyak dari Britania Raya sekarang, dan hanya diungguli dua driver dari negara lain: Juan Manuel Fangio (Argentina, 5 kali) dan Michael Schumacher (Jerman, 7 kali).
Pada Porsinya Masing-masing
Sebagai seorang fans Senna, “terbangnya” Hamilton sebagai juara dunia yang lebih tinggi membuat saya sadar: waktu tiada pernah berhenti seiring pencapaian prestasi. Kita berada di jaman now, seperti istilah anak-anak sekarang.
Dahulu para jurnalis mendeskripsikan Senna sebatas driver dengan rambut acak-acakan, kini secara visual kita dimanjakan oleh rajah tubuh para driver yang personal. Contohnya Kimi Raikkonen yang mengabadikan wajah putranya, Robin di atas pergelangan tangan. Atau Hamilton, yang desainnya memenuhi punggung sampai leher, ditambah sepasang giwang permata di telinga.
Ada pendapat menyebutkan: sekarang adalah sekarang, dahulu tetaplah dahulu. Namun bukankah sejatinya tiada kini bila tanpa masa lalu? Saat meraih gelar juara dunia ketiga kalinya pun Hamilton mengakui: tak percaya bisa berada di posisi sejajar Senna sang idola, apalagi (bila kelak) melampauinya (dan kini terjadi).
Beberapa waktu lalu, salah satu agensi saya memberikan tugas untuk menuliskan profil Prost dalam 250 kata. Mungkin maksudnya Senna? Karena mereka tahu driver F1 pujaan saya. Ternyata bukan, ordernya memang Prost, sehubungan dilansirnya arloji edisi terbatas yang terinspirasi kiprahnya sebagai atlet balap jet darat dan sepeda.
Saya dibuat tersentuh, saat berselancar menambah perbendaharaan literatur dan menemui tulisan Prost sendiri di sebuah laman menyoal Senna: kalian penggemarnya? Bagus, namun tolong jangan membenci saya. Saat ia berpulang, separuh diri saya juga pergi, karena semangat kompetisi kami bertautan erat satu sama lain.
Di masa sebelumnya, hal itu muncul antara Niki Lauda dengan James Hunt, sementara dalam kekinian terasa pada Nico Rosberg dan Lewis Hamilton. Lalu untuk putaran tahun depan, yang tak lama lagi, tentunya kita berharap kompetisi ketat bakal menjadi magnet bagi seluruh penonton.
Apakah itu kembalinya taring Vettel untuk menundukkan Hamilton sebagai sesama penyandang gelar juara dunia F1 empat kali, ataukah semakin melejitnya meteor Valtteri Bottas.
Sementara di sisi lain, F1 Group berusia satu tahun setelah dibeli Liberty Media Corporation. Salah satu janjinya adalah menjadikan balap jet darat lebih bisa dinikmati dan dicerna, serta semakin dekat dengan penggemarnya.
Akankah sajian di sirkuit, tayangan live di televisi maupun streaming di internet akan semakin menghangatkan antusiasme kita? Mari tunggu bersama, sembari bernostalgia balap F1 klasik. Semua jawara menempati porsi masing-masing di hati penggemar pada zamannya sendiri.
Hal yang menjadikan mereka unik dan berbeda dibandingkan generasi sebelum atau sesudahnya. Senantiasa dikagumi, mesti sang pengagum juga telah beranjak prestasinya. Termasuk yang terjadi atas kawan saya.
Ukirsari Manggalani
Content and copywriter yang menyukai F1, saat ini bermukim di London bersama pasangan hidupnya. Tulisan kali ini dibingkiskan bagi belahan jiwa, Nicholas yang purna tugas 25 tahun berkarya di dunia otomotif. Sukses untuk tugas baru!