Bola.com, Jakarta - Gema dentuman bola yang dihentak Francesco Marino membuat jiwa sang putri, Sitha Dewi Marino, bergetar. Hatinya berguncang setiap kali memantulkan bola, perasaan tersebut bagai candu yang selalu memaksa gadis kelahiran Denpasar itu kembali ke lapangan.
Sitha sudah mengenal basket sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Dalam perjalanannya, dara berusia 18 tahun tersebut menemui banyak hambatan, satu di antaranya adalah pandangan skeptis dari orang-orang di sekitar.
Baca Juga
Bakatnya tak pernah menjadi yang paling menonjol di dalam tim, tetapi tekad Sitha untuk membuktikan diri tak pernah padam. Berawal dari pemain yang dipandang sebelah mata, Sitha kini bisa membusungkan dada karena berhasil menembus level profesional bersama klub Sahabat Semarang.
"Dulu ada sesorang yang pernah berkata kalau saya tidak akan mungkin bisa berkembang di basket. Bakat saya ada, tetapi tidak akan pernah bisa menonjol," ujar Sitha kepada Bola.com.
"Ucapan itu selalu saya ingat sampai saat ini. Bukan sebuah perkataan yang membuat saya jatuh, tetapi justru menjadi motivasi," sambung pebasket yang juga hobi memasak tersebut.
Basket bukan hanya sekedar olahraga bagi Sitha. Lebih dari itu, basket menjadi wadah Sitha menemukan jati diri.
Perilaku Sitha yang tergolong bandel membuatnya dijauhi teman sebayanya kala itu. Namun, setelah mengenal basket, Sitha justru jadi lebih mudah bergaul.
"Basket itu seperti sudah menjadi hidup saya. Kalau tidak bermain basket justru malah jadi bingung karena olahraga ini banyak mengajarkan hal penting dalam hidup seperti kedisiplinan," tutur Sitha Dewi Marino.
Terjun ke Profesional
Titik balik perjalanan karier Sitha terjadi saat dirinya terpilih masuk dalam skuat DBL All-Star 2016 yang berangkat ke Amerika Serikat. Sebelumnya tak pernah terpikir dalam hidup alumnus SMA Soverdi Turban tersebut bahwa basket bisa membawanya menginjakkan kaki di Negeri Paman Sam.
Lewat DBL All-Star 2016 juga bakat Sitha Marino tercium Universitas Pelita Harapan yang memberinya beasiswa. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Sitha memutuskan pindah dari Bali ke Jakarta dan hidup mandiri tanpa orang tua demi mengejar impian di dunia basket.
Tak hanya beasiswa, Sitha juga dilirik beberapa klub profesional Indonesia. Akan tetapi, penggemar berat LeBron James itu tak ingin gegabah mengambil keputusan.
Pertimbangan Sitha tak lepas dari kondisi liga basket putri yang belum jelas di Indonesia. Menurut gadis kelahiran 1999 itu, masa depan pebasket putri di Indonesia masih jauh dari kata menjanjikan.
"Sebetulnya bukan tidak ingin memiliki karier sebagai pebasket profesional. Saya cinta basket, tetapi tidak ingin menjadikan olahraga ini sebagai pegangan hidup," kata Sitha.
Keputusan Sitha mulai berubah saat Dewi Putri Sungging, seniornya di Universita Pelita Harapan, mengajaknya bermain di klub Sahabat Semarang. Sosok Sungging juga yang membuat Sitha yakin memilih Sahabat Semarang sebagai klub profesional pertamanya.
"Sungging sudah seperti kakak bagi saya yang jauh dari orang tua. Ketika dia mengajak bermain di Sahabat Semarang, awalnya sempat ragu, tetapi setelah dipikir, tidak ada salahnya dicoba," tutur Sitha.
"Pertama-tama sempat canggung karena kebanyakan mereka berbicara bahasa Jawa. Namun, lama kelamaan saya bisa menyatu dengan tim dan chemistrynya mulai terbentuk," sambungnya.
Sitha memulai debutnya bersama Sahabat Semarang pada seri pertama Srikandi Cup 2017-2018 di Makassar. Proses bergabungnya Sitha ke Sahabat juga terbilang mendadak dan cepat karena putri bungsu dari tiga bersaudara itu masuk ke tim di pertengahan kompetisi.
Tak Ingin Mengikuti Jejak Kakak
Jika mendengar nama Marino, mungkin kebanyakan orang bakal langsung teringat dengan aktris peran, Putri Marino. Ya, Sitha merupakan adik dari pemenang Piala Citra 2017 tersebut.
Kecantikan paras Sitha tentu tidak kalah dari Putri. Namun, dunia hiburan sama sekali tak menarik minat Sitha.
"Dunia hiburan sepertinya bukan tempat di mana saya bisa berkembang. Sama sekali tidak ingin mengarah ke sana," ujar Sitha.
"Kehidupan artis itu selalu sibuk. Membayangkannya saja sudah lelah apalagi terjun di dalamnya," keluh anak ketiga dari pasangan Francesco Marino dan Made Rupadmi tersebut.
Sitha sudah memiliki impian lain setelah lulus kuliah dan tidak aktif di basket. Pebasket bernomor punggung tiga itu ingin memulai sebuah bisnis.
"Ada rencana membuka usaha yang bergerak di bidang makanan. Idenya simpel saja karena semua orang butuh makan dan bisnis ini bakal terus ada sampai kapanpun," ujar mahasiswi jurusan Manajemen tersebut.
Tak Pernah Bisa Membela Tim Nasional Indonesia
Di balik semua prestasi yang berhasil diraih Sitha sejauh ini, tersimpan sebuah impian yang mungkin bakal sulit diwujudkan. Membela tim nasional Indonesia tak akan mungkin bisa dilakukan Sitha.
Jauh di dalam lubuk hatinya, Sitha mencintai Indonesia. Namun, status kewarganegaraan membuatnya tak mungkin bisa membela tim Garuda. Saat ini, Sitha berstatus sebagai warga negara Italia mengikuti sang ayah, Francesco Marino.
Kondisi tersebut pula yang membuat Sitha tidak pernah bisa bermain di level nasional seperti PON, POPNAS, dan POMNAS. Semua kejuaraan tersebut mengharuskan pesertanya memiliki kewarganegaraan Indonesia.
"Jika ditanya tentang membela tim nasional, siapa yang tidak ingin? Namun, keadaan membuat saya tidak bisa melakukan itu," ujar Sitha.
"Apalagi sejak dulu selalu iri melihat teman-teman bisa bermain untuk daerah. Seandainya bisa tetap ikut dengan syarat dan ketentuan khusus tentu tidak akan saya tolak," tutur Sitha Dewi Marino.