Rudy Hartono, Hoax, dan Prestasi Indonesia di All England

oleh Erwin Fitriansyah diperbarui 15 Mar 2018, 07:30 WIB
Kolom Erwin Fitriansyah Kevin Marcus (Bola.com/Adreanus Titus)

Bola.com, Jakarta - Sebuah berita duka yang mengejutkan datang pada Sabtu (10/3/2018), akhir pekan lalu. Berita itu mengabarkan Rudy Hartono meninggal dunia.

Untunglah, setelah dikonfirmasi ternyata kabar tersebut hanyalah hoax. Rudy yang kini berusia 68 tahun itu berada dalam kondisi sehat. Pria kelahiran Surabaya itu sempat memasang status "Im ok. Thanks for asking" pada layanan pesan whatsapp miliknya, sebagai penegas bahwa dirinya baik-baik saja.

Advertisement

Buat dunia olah raga Indonesia atau bahkan dunia, khususnya bulutangkis, Rudy merupakan sosok legenda. Ia tercatat menjadi juara turnamen All England sebanyak delapan kali. Tujuh diantaranya diraih berturut-turut pada periode 1968-1974.

Rudy kehilangan gelar All England pada 1975 karena kalah dari musuh bebuyutannya asal Denmark, Svend Pri. Namun dia kembali menjadi juara untuk terakhir kalinya pada 1976 usai menang atas juniornya, Liem Swie King.

Hingga kini, prestasi Rudy di nomor tunggal putra All England tersebut belum bisa disamai oleh siapapun. Dari deretan pemain yang masih aktif bermain hingga saat ini, hanya Lin Dan yang koleksi gelarnya mendekati milik Rudy, yaitu sebanyak enam medali juara tunggal putra.

Buat pemain bulutangkis manapun, All England selalu spesial. Turnamen yang digelar sejak tahun 1900 ini adalah ajang tertua di cabang bulutangkis. Status sebagai turnamen tertua ini menjadi salah satu faktor All England punya nilai lebih prestisius dibanding turnamen lain. Tak heran kalau turnamen ini selalu diikuti oleh setiap pebulutangkis terbaik.

"Pada jaman saya bermain dulu, All England bisa dianggap sebagai kejuaraan dunia tidak resmi. Seorang pemain belum merasa lengkap sebagai juara kalau belum pernah menjadi juara di All England. Rasanya hal itu masih berlaku hingga kini," kata Christian Hadinata, legenda nomor ganda Indonesia yang pernah meraih tiga gelar All England di era tahun 70-an.

2 dari 3 halaman

Kering di Tiga Nomor

Kemenangan Susy Susanti jadi titik balik perjuangan Indonesia di final Piala Sudirman 1989. (AFP)

Hingga sekarang, pebulutangkis Indonesia masih menjadi salah satu langganan juara di All England. Nomor ganda putra menjadi penyumbang juara terbanyak dengan jumlah 19 gelar, disusul tunggal putra (15), ganda campuran (5), tunggal putri (4) dan ganda putri (2).

Belakangan ini, nomor ganda putra dan ganda campuran yang sering menjadi penyelamat Indonesia di All England. Ganda putra Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon menjadi penyumbang gelar terakhir di All England 2017. Sementara ganda campuran Praveen Jordan/Debby Susanto menjadi juara di 2016.

Sementara di tiga nomor lain, wakil Indonesia sudah lama mengalami puasa juara. Pada nomor ganda putri, Verawaty Fajrin/Imelda Wiguna yang terakhir kali menjadi juara pada 1979. Sementara di nomor tunggal putra dan putri, terakhir kali wakil Indonesia menjadi juara adalah pada tahun 1994 kala Hariyanto Arbi dan Susy Susanti naik podium tertinggi.

Keringnya prestasi di tiga nomor tersebut memang mencerminkan kekuatan Indonesia yang sesungguhnya. Pada nomor tunggal putra dan putri, Indonesia belum memiliki pemain yang benar-benar bisa diandalkan untuk bersaing secara konsisten di level papan atas dunia.

Pengecualian mungkin bisa diberikan pada nomor ganda putri. Pasangan Greysia Polii/Apriyani Rahayu kini sudah mulai bisa diandalkan dan beberapa kali merebut gelar juara di turnamen Super Series dan level Grand Prix.

Sementara itu, setelah era Hariyanto Arbi, Taufik Hidayat sempat menjadi andalan Indonesia di nomor tunggal putra dan meraih emas Olimpiade Athena 2004. Namun di kancah All England, Taufik tak pernah menjadi juara.

Pada era tersebut, Taufik sempat dilapis oleh Sony Dwi Kuncoro dan Simon Santoso. Namun prestasi Sony dan Simon tak pernah benar-benar berkilau, sehingga Taufik terkesan bertarung sendirian di level papan atas dunia. Usai Taufik pensiun pada 2013, belum ada lagi pebulutangkis tunggal putra Indonesia yang bisa konsisten bersaing di percaturan elite dunia hingga sekarang.

Kondisi ini cukup memprihatinkan. Pasalnya Indonesia pernah memiliki sederet pemain tunggal putra tangguh yang disegani lawan. Pada satu masa di tahun 90-an, Indonesia bahkan punya Ardy Wiranata, Joko Supriyanto, Alan Budi Kusuma, Hermawan Susanto, Fung Permadi dan Hariyanto Arbi yang bergantian menguasai podium tertinggi di turnamen papan atas.

Ironis jika saat ini Indonesia masih kesulitan menghasilkan pemain tunggal putra yang hebat setelah Taufik Hidayat gantung raket. Jangankan meraih delapan gelar seperti Rudy Hartono di All England, mencari satu juara di nomor tunggal putra saja kini sulitnya minta ampun buat Indonesia. 

Sedangkan di nomor tunggal putri, sepeninggal Susy Susanti yang pensiun 1998, Indonesia tak lagi punya pemain yang bisa diandalkan seperti Taufik di nomor tunggal putra. Bahkan hingga saat ini, nomor tunggal putri menjadi sektor yang paling tertinggal dibanding nomor lain.

 

3 dari 3 halaman

Ganda Putra dan Ganda Campuran Masih Andalan

Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon jadi kampiun di India Terbuka 2018, Minggu (4/2/2018). (PBSI)

"Harus diakui, kami masih punya banyak PR di nomor tunggal putri. Nomor ini ada di bawah sektor lain," kata Susy yang sekarang menjabat sebagai Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI.

Menurut Susy, butuh waktu setidaknya tiga hingga empat tahun buat para pemain pelatnas PBSI di nomor tunggal putra dan terutama putri, untuk kembali ke percaturan elit dunia secara konsisten. Nomor tunggal putra kini menumpukan harapan pada generasi Jonatan Christie dan Anthony Ginting. Sedangkan di nomor tunggal putri ada Fitriani, Hana Ramadini, atau Gregoria Mariska Tunjung yang menjadi harapan menuai prestasi di masa depan.

"Semua butuh proses. Setiap pemain punya waktu yang berbeda untuk mencapai puncak penampilan. Ada yang cepat sebelum umur 20 tahun sudah bisa berprestasi seperti Taufik Hidayat. Ada juga yang mencapai level terbaik di pertengahan usia 20 ke 30 seperti Joko Supriyanto. Kami harus sabar dan terus bekerja," kata Susy yang meraih empat gelar juara di All England.

Soal prestasi yang kering di nomor tunggal ini, PBSI memang memiliki PR besar. Pada ajang beregu seperti Piala Thomas dan Piala Uber, nomor tunggal yang mempertandingkan tiga pemain menjadi salah satu kunci buat menang. Jika tak punya pemain andalan yang kekuatannya merata, sulit buat menang di ajang ini.

"Untuk bisa menjadi juara di turnamen beregu, kita harus punya banyak pemain yang bisa diandalkan. Tak bisa hanya mengandalkan satu atau dua peluru saja yang tajam. Kalau satu peluru gagal,  peluru lainnya harus bisa menebusnya," kata Christian Hadinata yang pernah menjadi pelatih nomor ganda putra di pelatnas PBSI.

Saat ini, turnamen All England sedang dimainkan di Birmingham Arena, Inggris dan Indonesia mengirimkan 24 wakil. PBSI, menurut Susy, tak membebani nomor tertentu untuk merebut gelar juara.

"Setiap pemain pasti ingin menang di All England. Kami tak mau membebani sektor tertentu saja untuk menjadi juara," kata Susy lagi.

Di atas kertas, nomor ganda putra dan ganda campuran masih menjadi andalan untuk meraih gelar. Tanpa bermaksud mengecilkan, harus diakui peluang di tiga nomor lain masih berat.

Kerja keras mutlak harus dilakukan sehingga nomor tunggal putra, tunggal putri, dan ganda putri dapat bangun dari mati suri. Sehingga berita soal kemenangan di tiga nomor itu menjadi suatu kepastian, bukan sekedar kabar hoax.

Berita Terkait