Musim Dingin Islandia dan Labirin Sepak Bola Indonesia

oleh Aning Jati diperbarui 19 Mar 2018, 12:30 WIB
Islandia dan Indonesia, serupa tapi tak sama. (Bola.com/Grafis: Dody Iryawan)

Bola.com, Jakarta - Van yang membawa saya dan beberapa wisatawan lain melaju pelan di jalanan utama kawasan Snaefelness, Islandia. Jalanan cukup mulus kendati di beberapa bagian tidak lebar sehingga terkadang bila berpapasan dengan kendaraan lain, satu di antaranya harus mengurangi kecepatan. Di pengujung musim dingin ini, salju masih menutupi sejumlah ruas jalan sehingga diperlukan keahlian khusus bagi pengemudi.

Di kalangan pelancong, Snaefellsnes yang berada kawasan barat Islandia cukup populer karena menawarkan lanskap dramatik terutama di musim dingin. Bukit, gunung, tanah lapang dengan batu-batuan lava tertutup salju menghampar sepanjang mata memandang. Ada glacier dan lautan. Dingin dan menimbulkan sensasi tersendiri.

Advertisement

Orang Islandia kerap menjuluki kawasan yang membentang sepanjang 90 km itu sebagai area mistis. Pemandangan yang ditawarkan Snaefellsnes menurut mereka sangat ajaib, dan saya setuju.

Lanskap di Snaefellsnes, Islandia, pada musim dingin Maret 2018. (Bola.com/Aning Jati)

Di bagian lain Islandia, di area tenggara, ada kawasan ajaib lainnya, yakni Vatnajokull. Lokasi Vatnajokull dari Reykjavik, ibu kota Islandia, lebih jauh ketimbang Snaefelness, sekitar 4-5 jam perjalanan. Vatnajokull merupakan kawasan glacier terbesar di Eropa, memakan hingga delapan persen total luas wilayah Islandia yang mencapai 103 ribu km2.

Buat saya, perjalanan ke Snaefellness dan Vatnajokull terasa seperti ke ujung dunia. Sejak meninggalkan Reykjavik menuju dua kawasan itu dalam durasi hari yang berbeda, saya menangkap hal sama: dingin, damai tetapi terasa sepi.

Sebagai negara berpenduduk paling jarang di Eropa, konsentrasi penduduk Islandia hanya terpusat di Reykjavik. Warga yang bermukim di sana mencapai dua pertiga dari total keseluruhan 349 ribu jiwa penduduk. Sisanya tersebar di beberapa kota kecil lain seperti Kopavogur (34 ribu jiwa), Hafnarfjordur (28 ribu jiwa), dan Akureyri (18 ribu jiwa).

Sepanjang jalan sejak meninggalkan Reykjavik, saya lebih sering bertemu hamparan tanah luas yang menguning bekas tertutup salju, bebatuan lava berserakan, bukit-bukit bersalju, kuda dan domba yang dibiarkan bebas menghiasi tanah lapang itu. Kadang, satu-dua rumah dengan gudang pertanian tampak di kejauhan. Jarak satu rumah dengan yang lain bisa mencapai sekian kilometer. Sepi. Benar-benar sepi, terasa tak ada tanda-tanda "kehidupan".

2 dari 4 halaman

Serupa tapi Tak Sama

Dalam van yang melaju itu di antah berantah itu, saya menerawang. Entah kenapa tiba-tiba pikiran saya tertuju pada sepak bola Indonesia. Mungkin sudah kebiasaan. Sebagai seorang yang sehari-hari menggeluti sepak bola Indonesia, setidaknya selama 13 tahun terakhir, bal-balan selalu membayangi ke mana pun saya pergi.

Sebelum saya menyambangi Islandia, saya termasuk satu di antara yang terpana dengan keberhasilan negara berjulukan Es dan Api ini jadi finalis Piala Dunia 2018. Sudah banyak yang mengulas hal apa saja yang membuat prestasi Islandia lolos ke Piala Dunia 2018 terasa begitu istimewa, saya hanya akan menyinggung beberapa di antaranya saja.

Pemain timnas Islandia bertepuk tangan usai laga Grup I Kualifikasi Piala Dunia 2018 melawan Kosovo di Laugardalsvollur, Senin (9/10). Islandia mencatat sejarah sebagai negara terkecil yang lolos ke Piala Dunia setelah menang 2-0. (AP/Brynjar Gunnarsson)

Jumlah penduduk yang sedikit (Islandia merupakan negara terkecil sepanjang sejarah yang lolos ke Piala Dunia) membuat sumber daya manusia di negara ini sangat terbatas.

Kondisi alam termasuk cuaca dan geografis memengaruhi produksi sumber daya alam sehingga pemerintah harus mengimpor hampir semua kebutuhan warganya, semisal untuk bahan pangan maupun kebutuhan sehari-hari lainnya. Imbasnya, biaya hidup di Islandia melambung tinggi terutama untuk pelancong dari negara dengan pendapatan per kapita golongan Indonesia.

Saya semakin kagum dengan keberhasilan sepak bola Islandia ke Piala Dunia 2018 setelah melihat dan merasakan sendiri kondisi alam serta cuaca di sana. Sebagian kecil dan sebentar saja sih, tetapi sudah cukup membuat saya semakin salut. Ini yang membuat saya teringat Indonesia.

Dalam beberapa hal, Indonesia yang saya cintai punya kemiripan dengan Islandia. Indonesia punya tantangan geografis karena berupa negara kepulauan. Indonesia juga banyak memiliki lokasi-lokasi pemukiman nun jauh di pelosok yang butuh upaya ekstra untuk menjangkaunya.

Tantangan alam yang harus dihadapi juga tak gampang. Saat hujan, banjir bisa datang. Saat musim kemarau, kekeringan bisa menerpa. Indonesia terletak di area ring of fire, jadi gempa bumi bukan hal asing.

3 dari 4 halaman

Melawan Keterbatasan

Islandia sama. Mereka tinggal di antara gunung-gunung berapi yang masih aktif. Kondisi alam didominasi glacier, geyser, dan hot spring. Saat musim dingin memuncak, aktivitas warga khususnya di pedesaan-pedesaan Islandia nyaris terhenti. Tanah pertanian tertutup salju. Tak banyak aktivitas yang bisa dilakukan.

Sepak bola jadi satu di antara hal yang nyaris mustahil dilakukan di luar ruangan saat musim dingin tiba. Tak hanya dingin, angin yang berembus menusuk hingga ke tulang-tulang. Bahkan, nyamuk pun enggan hidup di Islandia saking dinginnya.

Sebagai gambaran kecil, stadion utama Islandia, Laugardalsvollur, tampak terbengkalai begitu saja saat saya menyambangi pada musim dingin, pekan lalu. Rumput di stadion yang berkapasitas total 15 ribu dan hanya memiliki tribune di dua sisi, tampak menguning. Kondisi di sekitaran stadion juga terlihat kurang terawat.

Stadion Laugardalsvollur, markas Timnas Islandia, pada saat musim dingin Maret 2018. (Bola.com/Aning Jati)

Mungkin sudah banyak yang tahu, liga domestik di Islandia hanya bergulir selama musim semi atau panas yang berdurasi empat bulan (Mei-September). Jangan dipikir musim panas di sana sama seperti di Indonesia, karena meski musim panas, suhu berkisar 10-15 derajat. Masih tetap dingin untuk ukuran orang Indonesia. Tapi, mereka tak menyerah dengan keadaan itu. Mereka memetakan kekurangan dan mencari solusi paling pas.

Agar pembinaan tetap berjalan sepanjang tahun, PSSI-nya Islandia yang bernama KSI, membangun banyak lapangan sepak bola dalam ruangan. Satu yang terkenal di antaranya bernama Soccer Houses. Anak mulai usia empat tahun bisa bermain di situ. Saat usia mereka menginjak tujuh tahun, bocah-bocah Islandia bisa rutin latihan tiga kali dalam satu pekan. KSI juga menyiapkan tenaga pelatih.

Sebuah catatan menyebut, pada 2016, Islandia sudah memiliki 600 elite coaches. Satu pelatih bertanggung jawab atas 550 orang. Angka yang luar biasa karena di Inggris saja, satu pelatih menangani 11 ribu warga. Indonesia? Belum ada catatan pasti untuk hal ini. Namun, saya tahu PSSI belakangan ini mulai giat menggelar kursus kepelatihan, mulai C AFC hingga lisensi A Pro.

4 dari 4 halaman

Yakin tapi Realistis

Belum terlambat buat Indonesia untuk mulai berbenah. Momentum untuk itu ada di depan mata. PSSI sebagai penggerak utama, akan merayakan HUT ke-88 pada 19 April 2018. Kemudian, akan ada Asian Games 2018. PSSI sudah mengapungkan target, Timnas Indonesia U-23 wajib jadi semifinalis pada hajatan akbar itu.

Memang semua butuh proses karena tak ada yang instan dalam pencapaian sebuah prestasi. Islandia juga tak ujug-ujug lolos ke Piala Dunia. Satu yang pasti, Indonesia punya modal besar untuk kembali mengibarkan panji-panji sepak bola, paling tidak seperti ketika julukan Macan Asia mengaum beberapa dekade lalu.

Timnas Indonesia U-16 meraih gelar juara turnamen Jenesys di Jepang. Di babak final, Timnas Indonesia U-16 mengalahkan Vietnam U-16 dengan skor 1-0, Senin (12/3/2018) di Kirishima Yamazakura Miyazaki Prefectural Comprehensive Sports Park. (Dok: PSSI)

Tim nasional, khususnya di kelompok usia, mulai menjanjikan. Pekan lalu, Timnas Indonesia U-16 mampu menjuarai Turnamen Jenesys di Jepang yang diikuti negara-negara di Asia Tenggara plus tuan rumah. Penampilan Timnas U-23 sejauh ini juga kerap mengundang pujian.

Indonesia bangsa besar, gairah sepak bola di negara ini luar biasa melebihi Islandia. Hasil riset Nielsen Sports pada 2014 menyebut Indonesia ada di urutan kedua negara yang penduduknya tertarik dengan sepak bola, mencapai 77 persen, atau hanya di bawah Nigeria di urutan pertama yang mencapai 83 persen.

Islandia bahkan tak masuk 30 besar, atau persentase ketertarikan penduduknya terhadap sepak bola kurang dari 27 persen. Namun, Islandia berlangkah-langkah di depan Indonesia dalam hal sepak bola.

Dalam van di antah berantah itu, saya ngenes, "mengapa sepak bola Indonesia semrawut seperti sekarang?" Mau mencari siapa yang salah, bukan hal bijak. Ibarat mencari jalan keluar dari sebuah labirin. Bakal ada ujungnya, tetapi butuh upaya keras. Bagi saya penting adalah kenali masalah, cari jalan keluar, dan menjalankan solusi itu dengan semangat membangun yang tulus dan berkesinambungan.

Sama seperti salju yang segera mencair dan hijau daun kembali terlihat, saya optimistis tetapi realistis, sepak bola Indonesia bakal bersinar lagi. Islandia yang populasi dombanya jauh melebihi orang dan senantiasa diselimuti hawa dingin kutub utara saja bisa ke Piala Dunia, Indonesia yang selalu "hangat" pasti juga bisa, namun entah kapan…