Pilkada 2018 dan Kembalinya Trio Legendaris ke Liga 1

oleh Darojatun diperbarui 19 Mar 2018, 13:01 WIB
Ilustrasi kolom bola.com mengenai dampak kehadiran PSMS, PSIS, dan Persebaya pada Pilkada 2018.

ROMANSA SEPAK BOLA yang menyejukkan hati kembali terbit di kuartal keempat tahun silam kala trio legendaris perserikatan, yaitu PSMS Medan, PSIS Semarang, dan Persebaya Surabaya didaulat kembali ke kasta tertinggi kompetisi sepak bola Tanah Air. Saya tidak terlalu peduli dengan suara sumbang yang belum-belum menyatakan ketiganya tidak akan bertahan lama di Liga 1, yang sudah mapan dihuni raksasa-raksasa baru Indonesia dengan disokong cukong berkocek tebal.

Ketika PSMS, PSIS dan Persebaya mengukir periode keemasannya di akhir 80-an, nama-nama yang sekarang kondang semodel, misalnya, Bali United, Mitra Kukar dan Madura United, bahkan tidak terbayangkan akan ada. Namun, jangan salah, bila kita bicara soal konteks proximity klub dengan pendukung di level grass roots belum tentu trio legendaris di atas kalah dibanding kibaran panji-panji segar di belantara bola domestik saat ini.

Masih lekat dalam ingatan penulis bagaimana final kompetisi perserikatan di 1985 antara PSMS dan Persib Bandung telah membuat Stadion Utama Senayan terasa kecil lantaran dipaksa menampung luberan 150 ribu pasang mata hingga memenuhi lintasan lari atletik di pinggir lapangan. Jumlah itu hampir sama dengan dua kali lipat daya tampung SUGBK saat ini, yang hanya tinggal terisi 76 ribu tempat duduk saja.

Advertisement

Nah, mari kita berhitung matematika sederhana. Ketika pada bulan lalu kedua klub yang sama berjumpa di fase grup Piala Presiden 2018, Stadion Gelora Bandung Lautan Api dipadati 79 ribu bobotoh. Saya mengasumsikan bahwa seluruh penonton saat itu adalah pendukung Persib karena seluruh curva tribun penonton berwarna biru dan bukan hijau.

Dari asumsi yang simpel bahwa kisaran jumlah maksimal pendukung Persib yang masuk ke stadion tidak banyak berubah dari masa ke masa, bisa kita tarik estimasi bahwa setengah dari penonton yang memadati Senayan di 1985 juga adalah “orang Medan”. Sekarang menjadi masuk akal akhirnya kenapa senandung lagu batak “A Sing Sing So” bergema nyaring di beberapa momen krusial pada final yang sangat seru tersebut. Akan sangatlah salah bila ada yang mengatakan bahwa rekor penonton yang tercipta di kisaran tiga dekade silam itu hanya terjadi karena peran bobotoh semata.

2 dari 3 halaman

Bagian Penting Massa Mengambang

Dalam ranah politik, jumlah besar pendukung klub-klub dengan tradisi kuat seperti PSMS, PSIS dan Persebaya adalah sebuah aset. Mereka masuk dalam kategori massa mengambang yang arah politiknya masih bisa berubah-ubah tergantung pada pilihan rasional dalam periode tertentu. Kelompok orang yang dalam bahasa kerennya disebut swing voter ini menjadi unik dalam sepak bola karena faktor penyatu mereka adalah dukungan kepada klub, sehingga apapun yang terkait dengan Persebaya, misalnya, menjadi urusan penting buat para bonek.

Menjelang digelarnya Liga 1 di Maret ini, bonek akan jadi entitas krusial karena pada saat yang bersamaan Pilkada Jawa Timur pun digulirkan. Calon gubernur Jatim yang bisa memastikan tersedianya fasilitas stadion yang lebih baik sebagai kandang Persebaya, dan juga Arema, jelas akan mendapatkan sumbangan suara dari bonek dan aremania.

Apakah kita dalam koneks swing voter ini kemudian hanya berbicara soal kisaran 50 ribu orang yang biasa memenuhi Stadion Bung Tomo (kandang Persebaya) dan 40 ribu-an massa yang rajin memadati Stadion Kanjuruhan (markas Arema)? Jelas tidak, karena angka itu bahkan kurang dari 1% jumlah total massa mengambang Jatim yang diprediksi setara dengan 10 juta orang alias 30% dari jumlah suara yang diperebutkan dalam Pilkada Jawa Timur tahun ini.

Well, seorang kawan saya yang bersatus sebagai penulis berita olah raga yang sangat senior di sebuah surat kabar nasional sempat mengeluhkan bahwa massa sepak bola kerap hanya jadi currency alias mata uang yang berharga di mata politisi Indonesia hanya di periode pemilihan kepala daerah saja.

Dalam sebuah diskusi santai yang diwarnai kepulan asap rokok dan beberapa cangkir kopi hitam dengan beberapa tokoh pers senior Tanah Air minggu lalu, ia juga menilai pemakaian stadion sebagai medium kampanye ---sehingga membuat beberapa laga Liga 1 harus diliburkan--- kelak akan menjadi sebuah langkah blunder beberapa politisi karena justru akan menumbuhkan bibit-bibit kebencian dari para penikmat sepak bola daerah.

3 dari 3 halaman

Peran Televisi dan Social Media

Dalam diskusi tersebut muncul juga pendapat lain yang berbekalkan data  statistik paparan saya di atas. Menurut rekan kami yang lain suara 100 ribuan orang pecinta sepak bola di Jatim, misalnya, tidak akan berdampak besar pada komposisi ayunan jumlah pemilih yang beralih ke politisi atau partai tertentu.

Pada sisi lain, saya menilai sebenarnya kini para tokoh kunci di komunitas pecinta olah raga seperti para key opinion leader (KOL) dalam aset social media klub, punya posisi tawar yang besar dalam pemilihan kepala daerah dan lebih jauh lagi dalam penentuan kebijakan publik. Para KOL itu punya follower berkisar dari ratusan ribu hingga jutaan orang.

Ingatlah selalu bahwa kita tidak hanya bicara soal mereka yang aktif datang mengisi bangku stadion, tapi juga mereka yang mengikut pertandingan sepak bola di layar kaca. Data share terbaik siaran televisi laga Persebaya salah satunya datang dari duel mereka dengan Persib pada Piala Presiden tiga tahun silam yang mencapai 20% alias menjangkau sekitar 8,4 juta pasang mata penikmat layar kaca.

Bila kita berasumsi bahwa setengahnya adalah penggemar Bajul Ijo, artinya sekitar 4,2 juta orang atau hampir 50% dari massa mengambang di Jawa Timur akan sangat memperhatikan janji-janji surga para politisi terkait rencana kebijakan publik mereka di masa depan yang bersentuhan langsung dengan Persebaya. Konstelasi politik olah raga yang sama juga bisa kita hitung dengan cara yang setali tiga uang di Sumatera Utara dan Jawa Tengah bila kita menakar pengaruh dahsyat kembalinya PSMS dan PSIS ke Liga 1 tahun ini.

Singkat kata, menurut penulis mereka yang ingin maju bertarung dalam Pilkada 2018 harus cermat berhitung karena sekian persen dari swing voter di wilayahnya masing-masing adalah penggemar sepak bola yang sangat militan. KOL yang kecewa dan kemudian curhat soal dampak buruk dari sebuah langkah politik yang salah untuk klub yang mereka cintai akan berakibat fatal pada calon kepala daerah.

Bayangkan sebuah status seperti ini diangkat seorang KOL pecinta Persebaya di social media: “Rumput Stadion Bung Tomo rusak setelah diinjak-injak puluhan ribu masa pendukung Cagub A dari Partai B. Rek, bakal batal bermain kandang nih Persebaya di lanjutan Liga 1 minggu depan.”

Silakan imajinasikan akan seperti apa pengaruh status singkat itu pada isi kepala dan isi hati jutaan calon pemilih dalam Pilkada Jatim nanti. Pada titik ini akhirnya saya teringat sebuah pepatah lama yang berbunyi vox populi vox dei alias “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Sebagai orang beriman, saya meyakini bahwa berkat Tuhan pulalah PSMS, PSIS dan Persebaya kembali ke Liga 1 pekan ini, mari kita nikmati aksi mereka bersama-sama. 

#