Bola.com, Jakarta "Mana oleh-oleh dari negeri seberang, kosong-kosong aja,". Kalimat bernada sapaan tersebut 'menghampiri' ketika saya baru saja masuk ruangan kerja, beberapa waktu lalu. Namun, kondisi itu menjadi hal biasa bagi saya.
Maklum, semua itu sebuah tradisi. Satu yang membedakan, kali ini sapaan tersebut membuat saya sejenak terpaku, mengingat sesuatu dan akhirnya terbersit hal yang baru saja saya alami.
Tentu, bukan karena ada atau tidaknya oleh-oleh, yang biasanya berupa kudapan khas kota / negara tujuan peliputan, melainkan sesuatu yang membuat saya tersadar tentang banyak hal penting dan menarik beberapa jam sebelumnya.
Yup, perjumpaan dengan sosok bernama Javier Tebas, ternyata menjadi 'oleh-oleh' yang sangat berharga. Ibarat kopi, bersua Javier Tebas membuat saya membayangkan tengah menikmati seteguk demi seteguk Carajillo. Nama terakhir bukan sebuah daerah, melainkan satu di antara nama khas minuman kopi di Spanyol.
Carajillo bentuknya sederhana, namun jika tak terkontrol bisa membuat kita terlena. Dalam bentuk fisiknya yang hanya secangkir kecil, terdapat campuran rum alias sesuatu yang bisa membuat Anda 'pusing' jika tak tahu berapa kadar yang sesuai dengan kapasitas tubuh.
Ibarat bersanding dengan Carajillo, saya mendapatkan banyak pelajaran berharga, sesuatu yang saya kira sangat pas, tak berlebih, sehingga tak membuat saya sampai terlena. Cerita bersua Javier Tebas, sosok yang kini menjadi Presiden La Liga, kompetisi kasta tertinggi di sepak bola Spanyol, terjadi tak terduga.
Saat itu, saya 'ketiban tugas berat sekaligus rejeki' terbang ke negeri tetangga guna bersua Javier Tebas. Awalnya saya ragu, karena menjadi perwakilan dari pemegang hak siar La Liga Spanyol, SCTV. Namun, nama besar sekaligus rasa penasaran tentang seorang Javier Tebas, memberi saya semangat '45' untuk terbang ke Singapura.
Apalagi terasa istimewa, karena jadwal bersua Javier Tebas, ternyata hanya 10 menit. Tak heran jika kesempatan yang mungkin akan lama terulang lagi, memberi energi tambahan. Berbekal beberapa referensi pribadi tentang Javier Tebas, saya membayangkan pertemuan akan berjalan membosankan.
Bayangan saya hampir saja menjadi kenyataan. Maklum pria kelahiran San Jose, Kosta Rika tersebut berwajah dingin dengan sorot mata tajam, tak banyak bergerak, namun kesan pertama adalah ketegasan. Beruntung, hal itu tak berlangsung lama.
Saat mendapat kesempatan berdiskusi dengan Javier Tebas, barulah saya sadar ternyata pria yang menjabat Presiden La Liga sejak 26 April 2013 tersebut sangat humoris, senang bercerita dan punya ekspresi wajah yang cerah.
Tak ayal, selama mendengarkan dan berdiskusi dengan Javier Tebas, banyak hal yang selama ini tak terlihat, langsung begitu nyata ada di depan mata. Bocoran-bocoran terkait rencana penggunaan teknologi alat bantu wasit alias VAR yang akan dipakai mulai musim depan, sampai usaha memerangi pelanggaran siaran langsung via YouTube dan platform media sosial, menjadi pengetahuan berharga bagi saya.
Satu di antara pelajaran berharga dari seorang Javier Tebas adalah usahanya untuk mengubah banyak hal terkait La Liga. Ia membuat program pembagian hak siar yang lebih merata, sehingga tim-tim kecil bisa mendapat porsi menguntungkan, dan tidak terpusat hanya ke kantong Barcelona, Real Madrid dan Atletico Madrid.
Ia juga menjelaskan langkah-langkah guna menggaungkan nama La Liga, termasuk arah perubahan kecil yang kini sedang dilakukannya. Kini, La Liga sudah menggunakan tagline baru yang tergolong sangat eye catching alias mudah tertanam dalam pikiran, yakni It's not Football, It's La Liga.
Slogan baru tersebut mencerminkan perubahan signifikan dari sepak bola di Spanyol. Bagi Javier Tebas, dunia sepak bola modern harus bersanding dengan situasi terkini juga. Satu pelajaran berharga adalah langkah La Liga menggunakan platform digital di setiap aspek, mulai dari cara berkomunikasi sampai metode mengonsumsi tayangan pertandingan.
Kini, La Liga memiliki tim khusus yang berurusan dengan layanan memanjakan via dunia digital, yang tentunya menyasar deretan kaum muda. Uniknya, La Liga tak ingin menyebut langkah tersebut sebagai bagian dari usaha bersaing atau ingin mengalahkan Premier League Inggris.
Satu di antara pesan La Liga melalui tagline teranyar adalah berkonsentrasi ke unsur dunia hiburan sebagai bagian utama dari sebuah tayangan sepak bola. Tak heran jika sensasi baru dalam menonton tayangan La Liga menjadi senjata andalan. Saya mendapat kesempatan melibat bagaimana mereka menyajikan pertandingan tiga dimensi, dengan satu di antara partner kerja La Liga, merasakan sensasi yang berbeda. Sayang, satu yang terasa kurang, setidaknya menurut pendapat saya pribadi, adalah kualitas komentator pertandingan yang masih kurang 'sreg' dalam menggunakan aksen bahasa Inggris.
Terobosan lain yang membuat saya mendapat pelajaran adalah kemampuan dalam bidang memasarkan produk. Sadar masih kalah tenar dibanding Premier League Inggris, La Liga membuat banyak jalan. Satu di antaranya adalah membuka banyak kantor perwakilan di beberapa negara dan atau kota yang berpenduduk padat.
La Liga tak main-main, karena pada musim berjalan usaha keras mereka sudah membuahkan hasil. Dalam kontrak terbaru terkait hak siar, La Liga sudah mengumpulan 2,3 miliar euro atau sekitar Rp 39,1 triliun. Angka tersebut melonjak hampir dua kali lipat dibanding periode dua tahun lalu.
Terobosan lain yang terungkap dari hasil diskusi bersama Javier Tebas adalah keinginan La Liga melakukan pendampingan terhadap klub-klub 'kecil' agar bisa berubah menjadi lebih modern, sehingga bisa mendapatkan banyak pemasukan.
Sebenarnya, langkah ini adalah hal biasa dari sebuah pengelola kompetisi di Eropa. Namun, La Liga memberi pembeda. Sayang, hal itu tak boleh dibagikan ke khalayak umum. Namun, saya membayangkan jika saja di Indonesia bisa berlaku seperti itu, klub-klub bisa saja semakin sehat dan tak lagi berhadapan dengan masalah dana setiap musim baru.
Pada akhirnya, bagi saya yang belum terlalu familiar dengan La Liga, bersua Javier Tebas memberi induksi hal baru. Apalagi secara pribadi, La Liga adalah kompetisi kedua di Eropa yang saya kenal, setelah Liga Italia Serie A.
Saya masih ingat sosok di era '90-an seperti Manolo (Atlético Madrid), bek produktif asal Real Madrid, Fernando Hierro dan Barcelona, Ronald Koeman, lalu bomber Barcelona Hristo Stoichkov dan masih banyak yang lain.
Begitu juga dengan perkenalan pertama saya dengan klub asal Spanyol, yakni Barcelona. Masih melekat dalam ingatan bagaimana sepak terjang Johan Cruyff yang memimpin Andoni Zubizarreta, Albert Ferrer, Ronald Koeman, Juan Carlos, José Mari Bakero, duet striker Julio Salinas dan Hristo Stoichkov, gelandang elegan Michael Laudrup, Josep Guardiola, Carles Busquets, Txiki Begiristain, dan bek Miguel Ángel Nadal.
Kini, menarik untuk menunggu bentuk anyar La Liga pada awal musim depan. Namun, seperti yang dijanjikan Javier Tebas kepada saya, perubahan itu tak akan terasa pada 3-4 tahun mendatang, setidaknya butuh 7 tahun. Gracias Sr Javier!