Bola.com, Jakarta - Sosok Rudy Hartono dan bulutangkis begitu melekat alias tak bisa dipisahkan. Berderet gelar bergengsi dan status legenda diraihnya dari kancah olahraga tepok bulu tersebut.
Prestasi paling fenomemal Rudy adalah mengoleksi delapan gelar All England di sektor tunggal putra. Belum ada pemain lain yang mampu menyaingi prestasi gemilang tersebut. Pria kelahiran 18 Agustus 1949 tersebut juga pernah mencicipi titel juara dunia, empat kali gelar Piala Thomas, dan satu medali emas Asian Games.
Baca Juga
Sayangnya, Rudy belum pernah merengkuh medali emas Olimpiade. Dia telah gantung raket jauh sebelum bulutangkis resmi dipertandingkan di Olimpiade pada 1992.
Siapa menyangka, saat berbicara tentang satu di antara ambisi besarnya saat ini, pria yang kini jadi Ketua Umum PB Jaya Raya tersebut justru tak merujuk ke bulutangkis. Rudy justru punya impian besar di kancah tenis.
Tentu saja, bukan dia yang ingin berkiprah di tenis. Rudy menyatakan ingin mengantar sang cucu, Gwen Kurniawan, menjadi petenis dunia. Apa yang melecut motivasi Rudy untuk mencetak sang cucu jadi petenis dunia tersebut?
"Saya sebenarnya mau bereksperimen. Pada saat Gwen berusia empat tahun, saya suruh mulai latihan. Sekarang dia sudah berusia tujuh tahun," kata Rudy memulai cerita kepada Bola.com, dalam perbincangan di GOR Jaya Raya, Tangerang, Jumat (23/3/2018).
Gwen yang merupakan putri pasangan Christopher Kurniawan dan Vini Budiono tersebut saat ini berlatih di Yayuk Basuki Camp, di Bulungan, Jakarta. Sang cucu tak dibiarkannya berjuang sendirian. Rudy mengaku berusaha terus mendampingi sang cucu berlatih.
Dia menyebut seorang atlet pada awal-awal harus terus diarahkan, tak bisa dilepas begitu saja. Sang pemain harus diajarkan kedisiplinan, keuletan, dan bagaimana menjaga fokus dalam berkarier.
"Saya memang mengawasi langsung. Minta dia memukul bola 1.000 kali per hari, kemudian naik terus. Saya bilang kalau itu tidak dilakukan, dia akan kalah. Beri motivasi terus. Orang tuanya juga ikut menegur kalau ada yang tidak sesuai," urai Rudy Hartono.
Kembangkan Senjata
Pilihan Rudy mengarahkan sang cucu berkiprah di kancah tenis tentu mengundang pertanyaan. Melihat rekam jejak Rudy di kancah bulutangkis, kemungkinan sang cucu mengikuti kesuksesannya diprediksi lebih terbuka lebar.
Apalagi Indonesia masih menjadi satu di antara kekuatan utama bulutangkis dunia. Pemain-pemain Indonesia masih rutin merengkuh berbagai gelar di kancah bulutangkis, mulai level rendah hingga yang bergengsi seperti Indonesia Open, All England, SEA Games, Asian Games, hingga Olimpiade.
Apa yang membuat Rudy begitu yakin mendukung Gwen berkiprah di ajang tenis?
"Semua olahraga pada dasarnya sama saja. Kalau di olahraga permainan seperti bulutangkis atau tenis mesti punya senjata dan kembangkan senjatanya itu selama 10 tahun. Kalau sudah matang senjata itu, kembangkan terus," papar Rudy.
"Kalau di bulutangkis kan senjatanya gampang, kalau tidak smes, ya netting, atau defense juga bisa. Kalau di tenis, misal senjatanya groundstroke yang forehand, ya sudah itu dilatih saja terus. Namun, ada faktor lain yang tak boleh dilupakan, ya pemain itu sendiri," sambung Rudy.
Gwen Kurniawan kini sudah tiga tahun serius berlatih tenis. Rudy menilai permainan sang cucu menunjukkan tanda-tanda positif untuk terus dikembangkan. Gwen menunjukkan adaptasi yang bagus dan bisa menerapkan instruksi-intruksi yang diberikan sang pelatih. Pukulannya juga sudah terarah.
Terinspirasi Li Na
Namun, sesuai dengan program yang disusunnya sejak awal, dia mengevaluasi serius perkembangan sang cucu setelah genap 10 tahun meniti karier di tenis. Jika tak ada perkembangan signifikan, Rudy tak akan memaksakan diri.
"Kalau 10 tahun tidak bisa berkembang, berarti memang tidak bisa," tegas Rudy.
Saat ditanya seberapa tinggi batas impiannya untuk sang cucu, Rudy memberikan jawaban realistis. "Paling tidak dia bisa mewakili Indonesia di kancah tenis dunia. Saya yakin dia bisa melakukannya, asal dididik dengan benar," kata Rudy Hartono.
Impian Rudy mencetak Gwen Kurniawan menjadi petenis dunia, rupanya juga termotivasi oleh sosok Li Na. Perempuan asal China tersebut merupakan satu di antara petenis Asia yang mampu berbicara banyak di pentas elite tenis dunia.
Li Na, yang kini telah pensiun, mengoleksi dua gelar grand slam di sepanjang kariernya, yaitu juara Wimbledon pada 2011 dan kampiun Australia Terbuka pada 2014.
"Li Na saja bisa juara. Padahal dia dulu pernah bermain bulutangkis, orang tuanya juga meminta dia berkarier di bulutangkis karena peluang juara dunia lebih terbuka. China kan salah satu kekuatan bulutangkis dunia. Tapi dia ngotot pilih tenis dan ternyata bisa juara," kata Rudy Hartono.