HAL-HAL KLASIK TIDAK AKAN PERNAH USANG dan karena itulah pulalah sesuatu yang dianggap klasik dapat hidup di berbagai rentang zaman. Arloji atau jam tangan mekanik yang melingkari pergelangan tangan James Bond sejak film Live and Let Die (1954) hingga Spectre (2015) bahkan belum tergantikan dengan sebuah smartwatch yang kian mungil dan semakin terhubung dengan dunia cyber.
Konon sutradara brilian kebanggaan Inggris, Danny Boyle, bahkan menghujat habis kicauan fandom yang merajuk meminta agar film Bond 25 mulai mengikuti tren kekinian dengan menggunakan jam tangan pintar nonmekanik. Hal ini cukup mengejutkan karena Bond 25 yang tengah dirancang Boyle untuk dirilis pada 2019 dianggap akan lebih berwarna retro-klasik dengan sentuhan kontemporer modern layaknya warna pembukaan Olimpiade London 2012 yang juga diotaki sang maestro.
Akan tetapi, pada akhirnya Boyle bisa menjelaskan dengan gamblang kenapa ia lebih menyukai pendekatan tradisional dalam mendalangi Bond.
“Sudah menjadi hal yang wajar bila orang menyukai jalan yang mudah. Sebagai pembuat film saya harus melakukan pendekatan yang berbeda untuk mewujudkan hal yang benar-benar saya sukai. Kita harus menempa diri kita dengan sangat kuat untuk menempuh jalan yang sulit sehingga menghasilkan hal-hal yang berbeda. Filosofi ini ada di belakang alasan kenapa saya memilih James Bond untuk tetap menggunakan jam mekanik ketimbang arloji pintar elektronik,” ---Danny Boyle, sutradara.
Senada dengan aroma lawas yang merasuk menjadi sebuah keabadian di dunia sinematik, sepak bola juga punya kisahnya sendiri dalam menjaga kesakralan nilai-nilai lama yang dianggap old-school. Nomor punggung, misalnya, ternyata memiliki sejarah dinamika yang tidak esensial namun tetap menarik dan mengasyikkan untuk dijejalkan pada kepala anak-anak millenials, yang ketika lahir sudah disodori fakta bahwa nomor-nomor tertentu di klub dan tim nasional sudah dilengkapi nama panggilan pemain pemakainya.
Well, saya ingat betul bagaimana di medio 80-an, kala TVRI menayangkan cuplikan pertandingan-pertandingan Serie A, selalu muncul nomor 1 hingga nomor 11 di barisan awal pemain kedua tim yang berhadapan di lapangan hijau. Pemain Napoli dan AC Milan, dan seluruh klub Italia di semua level divisi mereka, selalu masuk ke lapangan dengan sebelas nomor awal yang berurutan itu meski pemain yang diturunkan berganti-ganti tergantung strategi sang allenatore sebagai peracik taktik, serta kebugaran dan kondisi mental pemain menjelang laga.
Baca Juga
Pada masa itu centrocampista Milan, Roberto Donadoni, bila tengah bermain di posisi sayap kiri bisa menggunakan nomor 7 dan tiba-tiba di dua pekan berikutnya menjadi bernomor 8 karena digeser pelatih ke posisi yang sedikit lebih dalam sebagai gelandang kiri.
Alhasil situasi ini membuat pembelian fenomenal Ruud Gullit dari klub Belanda, PSV Eindhoven, ke Milan yang memecahkan rekor dunia di 1987 (6 juta pound, yang bila menimbang laju inflasi kini nilainya setara dengan Rp 300 miliar) ditandai dengan presentasi pertama dirinya kepada pers hanya dengan jersey I Rossoneri yang benar-benar polos tanpa nomor punggung.
Formasi Dasar dari 1928: 3-2-4-1
Seorang kolega saya, seorang milanisti sejati, tengah menjabat sebagai VP Sales di sebuah startup digital yang tengah naik daun di Jakarta. Dia menyebut kedatangan Gullit ke Milano dulu seharusnya bisa menghasilkan uang lebih banyak bila personal branding dirinya disertai pemberian nomor punggung abadi. Ia benar, bayangkan saja berapa keuntungan yang diperoleh klub bila AC Milan Megastore menjual kaus Gullit dengan nomor permanen miliknya.
Sejarah membukukan bahwa kemudian pemain Belanda berdarah Suriname memakai tiga nomor, 10, 15, dan 4, selama mengusung panji Merah-Hitam. Posisinya tidak berubah, tetap sebagai gelandang serang, tapi dalam praktiknya nomor 10 kemudian tidak lagi menjadi milik Gullit karena ia terlempar ke bangku cadangan lantaran gangguan lutut kronis yang mendera di 1993-’94.
Menariknya, situasi yang memaksa sosok yang tidak pernah bisa menikmati olah raga golf ini untuk hengkang sementara ke Sampdoria justru menjadi sebuah awal era baru pernomoran punggung pemain. Dalam Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat yang paralel dengan periode transisi hidup Gullit ini, untuk pertama kalinya FIFA menerapkan aturan mengenai nomor tetap milik pemain yang disertai penulisan nama panggilan yang bersangkutan di bagian punggung.
Perubahan ini tidak disukai Danny Boyle, yang dengan sinis menilai Sekjen FIFA kala itu, Sepp Blatter, telah termakan buaian bujuk rayu kaum kapitalis Amerika. Ya, penomoran abadi disertai nama punggung ini memang diadopsi dari olah raga basket dan american football yang sudah dalam mengakar di AS dan menghasilkan banyak fulus dari penjualan jersey pemain-pemain beken di kedua cabang itu.
Boyle, yang rupanya masih aktif mendukung Leicester City hingga saat ini, pernah menyebut seharusnya FIFA menghargai tradisi dengan mematok sistem penomoran awal pemain tetap berbasis pada posisi 3-2-4-1. Sistem yang dimaksud Boyle adalah yang dilahirkan oleh Association Football pada 1928 dengan menerapkan nomor pemain sesuai posisinya di lapangan:
Nomor Posisi
1 Kiper
2 Bek Sayap Kanan
3 Bek Sayap Kiri
4 Gelandang Bertahan Kanan
5 Bek Tengah
6 Gelandang Bertahan Kiri
7 Sayap Kanan
8 Gelandang Kanan
9 Striker
10 Gelandang Kiri
11 Sayap Kiri
Kali ini kiblat klasik Boyle menurut saya sudah berada di luar konteks lantaran sutradara pemenang Oscar di 2018 (Slumdog Milionaire) ini seharusnya tahu bahwa formasi 3-2-4-1 tidaklah lagi banyak diaplikasikan dalam sepak bola sesudah Perang Dunia II. Ia jelas juga mahfum bahwa skuat Leicester City saat didaulat sebagai kampiun Inggris pada 2015-2016 pun menerapkan 4-3-3 yang asimetris alih-alih dengan 4-4-2 klasik ala Britania, apalagi dengan formasi jadul 3-2-4-1.
Faktor Sentimentil Kontra Bisnis Pasca-Brexit
Sudahlah, dalam bisnis yang berorientasi pada hasil ketimbang pada proses seperti di sepak bola profesional pada akhirnya dinamika perubahan tren taktik akan menentukan pilihan formasi praktis oleh pelatih, daripada pengaruh faktor sentimentil yang nyeleneh bergaya seniman. Tanpa penerapan kaku dalam pernomoran pemain, sepak bola justru jadi tidak mudah ditebak, kian beragam warna karakter permainannya, dan secara finansial dan bisnis terbukti “lebih bisa dijual”.
Eh, tahukah Anda pembaca bahwa Boyle sebenarnya jauh sebelum jatuh cinta pada The Foxes adalah seorang pendukung Manchester City? Ya, ini terjadi lantaran kedekatan kota Radcliffe, yang jadi tempat dirinya dilahirkan pada 62 tahun lampau, dengan pusat komunitas City. Uniknya, ia justru memilih berpihak pada Leicester karena (lagi-lagi) alasan kapitalisme yang merona di Man City sejak kedatangan hartawan Thailand, Thaksin Shinawatra, pada 2007 sebagai pembeli klub berkelir biru laut tersebut dengan harga 81,6 juta pound (sekarang setara Rp 1,6 triliun).
Dominasi Manchester City di Premier League musim ini bahkan tetap banyak membuat kaum anti-kapitalis seperti Boyle bergeming dan terus berharap sepak bola kembali ke proses pengembangan naturalnya ketika United Kingdom secara penuh keluar dari Uni Eropa (British Exit, alias Brexit) di 2019 dan mempengaruhi izin kerja dan regulasi status pemain “asing” dan “lokal” di Inggris.
Hmmm.. bila City menang dalam derby Manchester di akhir pekan ini, Pep Guardiola akan memastikan meraih gelar juara Premier League untuk pertama kalinya, tapi bila ia kalah ---bahkan sebuah kemenangan di Tottenham sepekan berikutnya tidak akan serta merta membuat mereka langsung meraih mahkota Inggris.
Menurut kenalan saya di London yang juga kolomnis London Evening Standard, Rob Maul, situasi yang kompleks bila The Citizens gagal menang minggu ini akan bertambah hangat ketika dibumbui isu hitung mundur Brexit, yang ujung-ujungnya akan berdampak mempersulit klub-klub tajir untuk menumpuk pemain dengan banderol mahal mulai musim depan.
Ya, kapan lagi situasi akan semudah sekarang untuk klub-klub raksasa Inggris guna meraih trofi jika deadline menuju Brexit sudah di depan mata?
Saya suka tersenyum-senyum sendiri sambil menatap langit-langit ruangan bila mengingat bagaimana evolusi penomoran pemain dihela semangat berbisnis dan transisi modernisme strategi sepak sepak bola. Sementara itu, pada sisi lain kasus di Manchester City dengan gamblang menggambarkan bahwa hanya pengembangan klub dan pemain yang alamiah non kapitalis sajalah yang benar-benar mendapatkan respek dari pendukung tim yang sejati, yang idealis, dan ---tentunya--- yang juga sportif.
Kalau kata Boyle fenomena ini ibaratnya sebuah keindahan dari “jalan yang sulit untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda”. Awesome!
#