BANYAK orang menilai, goyang Tango dan tarian Samba layak menghiasi laga puncak Piala Dunia 2018. "ISTRIKU mendadak menangis, yang membuatku kaget. Ternyata, setelah kembali melihat ke layar televisi, lututku terasa lemas. Saat itu juga saya berucap 'selesai sudah', sesuatu yang sebenarnya kuharapkan,"
Penuturan tersebut keluar dari Adenor Leonardo Bacchi. Ia mengaku selalu teringat kejadian tersebut. Saat itu, ia baru saja kembali dari dapur, sekadar mengambil camilan dan minuman, setelah gol ketiga.
Baca Juga
Namun apa daya, keputusan tersebut justru membuat Adenar Leonardo Bacchi melewatkan satu gol lagi. Kembali ke ruang keluarga, tangan kanannya membawa segelar jus, sementara pada sisi lain ada 'tentengan' plastik berisi kentang kering.
Belum sempat duduk, ia sudah kaget dengan reaksi sang istri. "Itulah sepak bola. Dan tentu saja kami sangat sedih di tengah harapan tingigi berjaya di negeri sendiri," ucap Leo Bacchi.
Kini, empat tahun kemudian nama Adenar Leonardo Bacchi hadir pada perhelatan akbar; Piala Dunia 2018. Bukan sekadar datang ke Rusia untuk menonton, ia justru menjadi pemimpin tertinggi negara asalnya: Brasil!
"Andai mengingat empat tahun lalu, dada masih sesak. Namun kini saya akan menghadapi kondisi apa yang bisa membuat ratusan juta fans, dan jutaan masyarakat Brasil, bisa menangis atau tertawa," sebut Adenar Leonardo Bacchi, yang akrab disapa Tite.
Bukan isapan jempol semata, atau aksen bernada kekhawatiran. Empat tahun lalu, Brasil 'dilumat' armada panser Jerman. Mereka hancur lebur di Belo Horizonte kala dibekap dengan skor 1-7.
Seperti gambaran situasi yang diceritakan Tite di atas, hanya dalam rentang 15 menit, gawang Brasil sudah kebobolan empat kali. Dibuka Thomas Muller pada menit ke-11, gol Miro Klose sekaligus mencetak sejarah (23'), dan dua sepakan Toni Kroos (24', 26'). Reaksi pasrah kiper Brasil, Julio Cesar, menandai gol kelima Sami Khedira (29').
Tragedi terburuk sejak tahun 1920 tersebut bertambah setelah dua kali sepakan Andre Schurrle membuat seluruh warga Brasil menangis, tak percaya timnya takluk. Tak syak, peristiwa 8 Juli 2014 tersebut membuat skuat Luis Felipe Scolari menjadi bulan-bulanan.
Kalangan media menjadi yang paling keras menghujat. O Globo misalnya, memberi sematan peristiwa tragis tersebut 'Mineiratzen'. Nama itu merujuk pada kekalahan dari Uruguay, 68 tahun silam, yang disebut Maracanazo.
Ironisnya, O Globo dan EXTRA, memberi evaluasi menyakitkan pada setiap pemain. Kiper Julio Cesar disebut 'terkubur', Maicon (hancur), Dante (kalah), David Luiz (mengkhawatirkan), Oscar (lemah), Hulk (simbol memalukan), Ramires (tak relevan), Fred (tragis), dan Felipao (tewas).
Latar Membalas
Rasa hancur dan kecewa seluruh fans Brasil, menular ke negara raksasa lain di sepak bola Amerika Latin; Argentina. Fans tim Tango sempat mengibarkan bendera optimistis ketika Lionel Messi dkk melaju ke final. Bersua Jerman, Argentina membawa kekuatan yang dianggap seimbang dari segala lini, terutama setelah menyingkirkan tim kuat, Belanda, di area semifinal Piala Dunai 2014.
Sejak awal, asa itu nyaris menjadi kenyataan. Maklum, Argentina dominan dalam alur permainan di laga final tersebut. Sayang, Estadio de Maracana tak bersahabat. Satu kelengahan di area kanan pertahanan, membuat sosok Mario Gotze membawa duka. Gol Gotze pada menit ke-113 tak sanggup dibalas, yang membuat impian warga Argentina, menguap begitu saja.
"Kami punya kesempatan, dan betapa kecewanya ketika seluruh usaha gagal. Kami menutup hari dengan kesedihan, namun itulah titik terbaik kami," kata Oma De Felippe, sosok yang saat itu menjadi pelatih klub Argentina, Independiente.
Sama seperti Tite, Omar mendapati sanak keluarganya menangis. Tapi, tangisan itu tak mengandung rasa malu. "Bangga itu pasti, karena saat itu Argentina sempat tak mendapat atensi," ucap pria yang kini menjadi pelatih Newell's Old Boy ini.
Pembuktian 2 Raksasa
Setengah windu kemudian, ajang pembuktian bagi Brasil dan Argentina datang. Usaha menghapus rasa malu bagi Brasil akan berbarengan dengan misi menuntaskan kerinduan dari rombongan Argentina. Dua kepentingan tersebut menjadi sajian menarik bagi fans sepak bola, di tengah ketiadaan beberapa tim 'berkelas' seperti Belanda, Italia dan Cile.
Bagi Tite misalnya, jauh-jauh hari dirinya sudah meyakinkan publik Brasil terkait performa anak asuh mereka. Sempat mendapat hujatan kalah ditahan imbang tanpa gol oleh Inggris pada medio November tahun lalu, Tite merealisasikan janjinya mengubah penampilan.
Satu yang pasti, Neymardependencia alias ketergantungan terhadap seorang Neymar, mulai dihilangkan meski kadarnya tak bisa sampai 80 persen. "Setidaknya kami memiliki variasi yang lebih banyak ketika Neymar turun atau absen," jelas Tite, di O Globo, akhir tahun lalu.
Kondisi tersebut menjadi gambaran kekuatan Brasil di Rusia. Artinya, modal atraktif di fase kualifikasi, baik dari sisi menjebol jala lawan atau hanya kebobolan 11 gol, bakal seiring sejalan dengan penampilan Seleccao.
Bukti awal sudah tersaji pada dua laga persahabatan sebelum berjibaku di Rusia 2018. Brasil membekap Kroasia, dan akhir pekan lalu menang 0-3 atas tuan rumah, Austria. Publik Brasil mengakui, terutama kalangan pers yang dulu sempat mengecam 'abis', kekuatan armada Tite adalah keseimbangan.
Faktor Neymar
Hal itu menjadi 'pengejawantahan' terhadap evaluasi apa yang terjadi empat tahun silam. Philippe Coutinho, Paulinho, Willian dan Douglas Costa, bakal menjadi permutasi hebat di area tengah Brasil.
Deretan penggempur menjadi lebih segar. Sosok Neymar masih menjadi patron utama, namun publik tak boleh meremehkan kelas Gabriel Jesus dan Roberto Firmino. Dua nama tersebut menjadi bintang bagi klubnya masing-masing di pentas Premier League Inggris. Meski tergolong tipis, jangan lupakan juga Taison, striker senior asal Shakhtar Donetsk, yang bisa saja menjadi penyublim tepat.
Namun, persiapan ideal Tite bukan tanpa kritik. Mantan striker Timnas Brasil, Romario Faria mengungkap titik lemah goyangan Samba. "Formula Tite tak akan cocok untuk tanah Rusia. Justru lini tengah yang bermasalah, dan itu butuh atensi ekstra," katanya, seperti dirilis Jornal Extra, beberapa waktu lalu.
Terlepas dari ragam kritikan, Brasil dinilai bakal melenggang jauh. Kolumnis BBC, Alan Shearer menganggap, Brasil akan gagal jika tak sanggup beradaptasi dengan lingkungan Rusia. "Siapapun tahu, berada di Rusia adalah perjuangan berat bagi para pemain yang terbiasa di daratan Inggris, Spanyol, Prancis dan Jerman," sebut sang legenda Timnas Inggris tersebut.
Usaha Argentina
Perjuangan itu pula yang bakal dilakoni Timnas Argentina. Tarian Tango mereka akan menghadapi dua tantangan, yakni menuntaskan tarian sampai 'gerak kaki terakhir' atau dimulai dari nol.
Dua frasa berbeda tersebut merujuk pada kondisi skuat yang masih mengandalkan Lionel Messi. Diksi 'penuntasan' bisa berarti kans terakhir Lionel Messi memberi trofi juara duniaa. Sementara mulai dari titik nadir berlatar kapanlagi mendapatkan pemain sehebat ikon Barcelona tersebut.
Tak heran jika Sang Messiah bakal menjadi dirijen penting setiap gerak tarian Tango rekan-rekannya. Mantan senior Lionel Messi di Newell's Old Boys, Sergio Almirón, yakin sang 'adik kelas' akan mendapatkan mimpinya mengangkat trofi Piala Dunia 2018.
"Dia orang yang pantang menyerah, meski sedikit emosional. Dia punya segalanya, dan tahun ini menjadi momen tepat baginya. Dia berada di zona emas," kata Almiron.
Perjuangan
Entah jujur atau sekadar basa-basi, komentar Almiron tersebut bisa jadi benar dari sisi skuat, tapi tidak dari area persiapan. Punya Lionel Messi, Gonzalo Higuain, Paulo Dybala, Sergio Aguero sampai Cristian Pavon, sebenarnya tak ada cerita kalau Argentina akan gagal lagi.
Belum lagi ada sosok bernama Jorge Sampaoli. Pria yang sukses membawa Cile dan menangani Sevilla tersebut dianggap sebagai kepingan puzzle. Media besar Argentina, La Nacion menganggap perpaduan Sampaoli dan Lionel Messi menjadi jaminan Tim Tango akan menapak jejak sejarah di tanah Beruang Merah.
"Sampaoli punya keajaiban, dan dia punya sentuhan hebat sejak saya kecil. Dia istimewa, dan saya berharap kami bisa melihatnya berada di pinggir lapangan saat final Piala Dunia 2018," kata Tomás Bence, jurnalis La Nacion, teman dekat sang entrenador yang sama-sama berasal dari tempat kelahiran Sampaoli, Casilda, Santa Fe.
Kini, publik sejagad bakal menunggu apakah goyang Samba dan tari Tango bisa menaklukkan kandang Beruang Merah. Tentu saja bukan sekadang memenangkan, namun memberi sajian menawan, sebagaimana prediksi ESPN yang menyebut keduanya, bersama Jerman, adalah favorit juara Piala Dunia 2018.
Sumber: Berbagai sumber
Baca Juga
Kejutan, Kode Keras Erick Thohir Tegaskan Rela Mundur dari Ketum PSSI, jika...
Panas Usai Dihajar Jepang, Ini 5 Hot News Timnas Indonesia yang Bikin Perasaan Fans Campur Aduk : Curhat Kevin Diks sampai Ancaman Evaluasi
Bikin Geger, Pengakuan Shin Tae-yong dan Sindiran Keras Malaysia Setelah Timnas Indonesia Disikat Jepang, Ini 5 Hot News Tim Garuda