Belajar Menangani Kekerasan Suporter dari Sepak Bola Inggris

oleh Yus Mei Sawitri diperbarui 28 Sep 2018, 20:30 WIB
Tragedi Stadion Heysel saat Final Piala Eropa antara Juventus vs Liverpool, 29 Mei 1985. (Bola.com/Dody Iryawan)

Bola.com, Jakarta - Persepakbolaan Indonesia tengah mengalami periode kelam. Sepak bola yang seharusnya menjadi momen penuh kegembiraan, malah memicu duka dengan hilangnya nyawa suporter. 

Suporter Persija Jakarta, Haringga Sirila, tewas saat hendang mendukung tim kesayangannya bertanding melawan Persib Bandung di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Minggu (23/9/2018). Dia tewas dikeroyok di tempat parkir GBLA oleh suporter Persib, sekitar enam jam sebelum pertandingan.  

Advertisement

Dia menjadi korban kesekian dari permusuhan antarsuporter. Imbasnya, Liga 1 dihentikan sampai batas waktu yang ditentukan. Otoritas pengelola liga, PSSI, akan mencari solusi untuk mencegah cerita pilu tersebut kembali terulang. Apa langkah terbaik untuk menghentikan kekerasan dalam sepak bola Indonesia? 

Sepak bola Indonesia mungkin bisa belajar dari cara Inggris mengatasi hooligan. Kasus hooliganisme di Inggris memang cukup berbeda dengan Indonesia, baik dari latar belakangnya maupun karakternya. Namun, tak ada salahnya mengambil hal positif dari cara hooliganisme di Inggris. 

Sekitar tiga dekade silam, sepak bola Inggris juga pernah mengalami periode kelam. Pada era 1980-an, bisa dibilang sepak bola Inggris sedang berada di titik nadir. Mereka dipusingkan dengan problem hooligan yang telah merenggut banyak nyawa. 

Tapi, lihatlah sekarang. Wajah sepak bola Inggris telah berubah drastis. Premier League menjadi liga paling bergengsi dan glamor. Bintang-bintang sepak bola dunia berdatangan ke Inggris. Penonton juga tertib. Sekitar 30 tahun silam mungkin kejayaan ini tak terbayangkan. 

Pada era 1980-an, kasus hooliganisme membayangi sepak bola Inggris. Menonton sepak bola terasa mengancam dan jadi pengalaman yang kurang menyenangkan. Stadion-stadion di Inggris juga tampak menyedihkan, dan butuh suntikan dana investor untuk perbaikan. 

Saat itu, tak ada langkah signifikan dari Football Association untuk memperbaiki semuanya. Orotitas di Inggris baru bergerak setelah muncul berbagai rangkaian tragedi. 

Pada 11 Mei 1985, terjadi tragedi tragis di Bradford City. Stadion milik Bradford City terbakar. Sebanyak 56 penonton meninggal dunia dan 265 orang lainnya mengalami luka-luka. Saat itu, stadion disesaki penonton karena ingin merayakan keberhasilan Bradford City menjadi juara Divisi Tiga Liga Inggris yang dipastikan lima hari sebelumnya. 

Dua minggu berselang, terjadilah tragedi Heysel yang tersohor itu, saat Liverpool bertemu Juventus di final Piala Champions 1984-85, di Stadion Heysel, Belgia. Sebanyak 39 fans tewas pada tragedi itu. Fans Liverpool dinyatakan bersalah. Buntutnya, klub-klub Inggris dijatuhi sanksi tak boleh berkompetisi di Eropa selama lima tahun. 

Puncaknya, empat tahun berselang terjadi tragedi Hillsborrough pada 15 April 1989, yang kembali melibatkan pendukung Liverpool.  Sebanyak 96 meninggal dan 766 orang lainnya mengalami luka-luka. Tragedi ini dianggap sebagai insiden terburuk dalam sejarah olahraga di Inggris dan di dunia.

Perdana Menteri Inggris saat itu, Margareth Thatcher, menyalahkan fans Liverpool sebagai penyebab tragedi Hillsborrough. Namun, bertahun-tahun berselang pemerintah Inggris meminta maaf karena tuduhan itu keliru. Berdasarkan hasil kerja tim pencari fakta, tragedi tersebut justru dipicu karena kesalahan penanganan situasi oleh pihak kepolisian. 

Ratusan nyawa melayang dan dikucilkan dari pergaulan sepak bola Eropa tentu menjadi mimpi buruk bagi Inggris. Langkah besar diambil Thatcher untuk memulihkan citra sepak bola Inggris. 

"Kami harus membersihkan sepak bola dari hooligan di rumah. Maka, setelah itu kami baru bisa berkompetisi di luar negeri lagi," ujar Thatcher saat itu, seperti dilansir BBC

 

 

2 dari 3 halaman

Berbenah Besar-besaran

Stadion-stadion di Inggris mulai berbenah sejak awal 1990-an. (AFP/Lindsey Parnaby)

Thatcher bukan sosok populer di sepak bola Inggris. Bisa dibilang, Thatcher dan sepak bola selalu berdiri di sisi yang berbeda. Politisi berjuluk Iron Lady tersebut dikenal benci sepak bola. Dia menyebut penggemar sepak bola sebagai gerombolan perusuh. Suporter sepak bola disebutnya harus diawasi dan diatur dengan keras. 

Para suporter Inggris yang kebanyakan kelas pekerja juga membenci Thatcher karena kebijakan ekonominya membuat hidup mereka tertekan dan terpuruk. Bahkan, dengan ekstrem mereka menuding hooligan muncul gara-gara Thatcher, sebagai pelampiasan rasa frustrasi para pekerja akibat kebijakan ekonmi di era Thatcher. Rasa frutrasi itu dilampiaskan melalui sepak bola. Intinya, saat itu sulit melihat Thatcher dan sepak bola bersanding dengan rukun. 

Tak heran, Thatcher sama sekali tak protes ketika klub-klub Inggris dihukum tak boleh berkompetisi di Eropa selama lima tahun akibat tragedi Heysel. Dia juga langsung berbenah besar-besaran.  

Apa kebijakan yang dilakukan Inggris di bawah pemerintahan Thatcher untuk memerangi hooligan?  

Berdasarkan laporan Social Issues Research Centre, langkah signifikan yang dilakukan antara lain dengan mengubah perlakuan terhadap suporter, membuat regulasi untuk pendukung sepak bola, hingga perbaikan pengamanan di stadion. 

Perbaikan pengamanan di stadion dilakukan dengan penggunaan steward untuk menggantikan peran polisi sejak 1990-an. Steward, yang independen dari lembaga kepolisian Inggris, punya wewenang mengeluarkan suporter yang melanggar aturan.  Mereka juga ditempatkan sebagai pagar betis di antara suporter kedua kubu. 

Standar keamanan di stadion juga ditingkatkan. Tribune-tribune di stadion diubah. Tribune berdiri tak lagi diizinkan, sehingga semua stadion harus menggunakan single seat yang dinilai jauh lebih aman. Keberadaan pagar pembatas tinggi juga dihilangkan karena justru dianggap memicu efek psikologis yang tak sehat untuk para suporter. Menonton pertandingan di Inggris menjadi lebih nyaman dan aman. 

Asosiasi Sepakbola Inggris juga pernah merekomendasikan aparat yang menyusup ke tengah-tengah suporter untuk mencari provokator. Langkah ini disebut berefek positif mencegah aksi beringas suporter. 

Regulasi yang tak kalah penting dikeluarkan pada 1989, yaitu Football Spectators Act (FSA). Seluruh suporter di Inggris wajib memiliki kartu keanggotaan dari klub yang mereka dukung.

Kartu itu tak sekadar untuk memastikan seluruh penonton yang datang terdata. Tapi, juga untuk mencegah ada provokator masuk ke stadion saat pertandingan. Selain itu, jika ada insiden akan sangat mudah melacak pelakunya. Hukuman berat juga disiapkan, salah satunya dilarang menonton pertandingan seumur hidup. 

Pengamanan di luar stadion juga jadi perhatian penting. Petugas pengamanan ditempatkan di titik-titik yang bisa memecah masa, sekaligus menangkap jika ada provokator. 

 

3 dari 3 halaman

Lahirnya Premier League

Thatcher tak berhenti sampai di sana. Dia melonggarkan birokrasi, mendorong investasi, dan melakukan terobosan lain di sepak bola. Hasilnya, terbuka lah jalan lahirnya kompetisi Liga Inggris era baru: Premier Legue pada 1992. 

Gagasan kompetisi era baru ini dimotori oleh Manchester United, Liverpool, Tottenham Hotspur, Arsenal, dan Everton. Klub-klub ini muak dengan kebijakan birokrasi FA. Mereka juga merasa pembagian keuntungan untuk klub tak adil.

FA tak mampu berbuat banyak mencegah lahirnya "kompetisi baru" ini. Apalagi klub-klub itu berhasil menggandeng taipan pemilik Sky, Rupert Murdock. Klub-klub kecil juga tergiur. Sisanya adalah sejarah. Premier League kini telah menjelma menjadi kompetisi paling glamor sejagat. 

Bagi pelaku sepak bola Inggris, Margaret Thatcher, mungkin jadi sebuah ironi. Sosok yang paling dibenci, tapi juga punya banyak jasa. 

Dari cerita panjang perjalanan kelam sepak bola Inggris, Indonesia bisa belajar banyak. Butuh langkah serius dan signifikan jika ingin mengubah wajah sepak bola Indonesia.  Jika tidak, cerita kekerasan suporter berpeluang terus terulang dan sepak bola Indonesia tak akan bisa melangkah maju.