Bola.com, Jakarta - Timnas Indonesia ada di ujung tanduk, terancam gagal lolos ke semifinal Piala AFF 2018. Di tiga laga awal penyisihan Grup B anak-asuh Bima Sakti hanya meraih satu kemenangan.
Timnas Indonesia meraih poin absolut saat menjamu Timor Leste dengan skor 3-1. Sementara itu di dua laga tandang, Tim Merah-Putih terkapar ditekuk Thailand (2-4) dan Singapura (0-1).
Nasib Hansamu Yama dkk. ditentukan hasil pertandingan Grup B yang dihelat Rabu (21/11/2018). Jika Filipina bisa menahan imbang Thailand, dapat dipastikan Timnas Indonesia terlempar dari pesaingan menuju semifinal.
Kegagalan ini terasa pahit, karena di Piala AFF edisi 2016 Timnas Indonesia berstatus runner-up.
Stigma kalau Tim Garuda selalu sial di perhelatan akbar sepak bola kawasan Asia Tenggara makin terasa kuat. Sejak turnamen ini digelar pada 1996 dengan nama Piala Tiger, pencapaian tertinggi Timnas Indonesia hanya sebagai runner-up.
Timnas Indonesia tercatat lima kali jadi tim nomor dua, yakni pada edisi 2000, 2002, 2004, 2010, dan 2016.
Bima Sakti bukan sosok pelatih pertama yang gagal mengantarkan Timnas Indonesia melaju ke semifinal Piala AFF. Sebelumnya ada tiga figur pelatih yang bernasib sial serupa. Simak detail ceritanya di bawah ini:
Piala AFF 2007: Tak Kalah tapi Gagal
Piala AFF 2007 menjadi cerita memalukan buat Timnas Indonesia. Bagaimana tidak, Tim Merah-Putih untuk pertama kali gagal lolos ke semifinal alias terhenti di fase penyisihan grup pada turnamen sepak bola terbesar di Asia Tenggara ini.
Padahal, asa mengangkat trofi juara untuk kali pertama begitu tinggi. Dalam lima penyelenggaraan terakhir, Indonesia selalu berhasil melaju ke semifinal.
Bahkan dalam tiga edisi terakhir sebelum Piala AFF 2007, Indonesia tidak pernah absen di partai final dan mengakhiri turnamen dengan status runner-up secara beruntun.
Secara khusus, keinginan memenangi Piala AFF tahun 2007 makin tinggi setelah kegagalan di turnamen Merdeka Cup (Agustus 2006) di Malaysia dan BV Cup yang digelar di Vietnam pada November 2006.
Dengan latar belakang itu, Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid, langsung memberi target juara kepada Peter Withe sebagai pelatih kepala Timnas Indonesia di Piala AFF 2007.
"Kalau Peter Withe gagal, posisinya langsung dievaluasi," ucap Nurdin Halid ketika itu.
Tetapi, apa daya. Pada Piala AFF 2007 Indonesia bak dinaungi kesialan. Pasalnya, Indonesia sebenarnya mengumpulkan poin lima, poin yang sama dengan dua tim yang lolos semifinal dari Grup B, yaitu Singapura dan Vietnam. Tim Merah-Putih terjegal karena selisih gol kalah jauh dari dua negara itu.
Vietnam dan Singapura punya selisih gol masing-masing 11 dan sembilan, sementara Tim Merah-Putih hanya surplus dua gol saja.
Penyebab semua itu, kendati Indonesia tidak terkalahkan di tiga pertandingan penyisihan grup, Tim Garuda tidak mampu menang banyak atas tim yang dianggap terlemah di Grup B, yaitu Laos. Di Grup B, Indonesia tergabung bersama Laos, Vietnam, dan tuan rumah Singapura.
Bermain di National Stadium, Kallang, Singapura, Timnas Indonesia hanya bisa menang 3-1 atas Laos. Sebaliknya para pesaing, Vietnam mengalahkan Laos dengan skor 4-0, dan Singapura lebih gila lagi karena menang 11-0 atas Laos.
Padahal, di Piala AFF 2007, Peter Withe biasa memainkan pola 4-4-2. Tiga pertandingan penyisihan grup seluruhnya memakai pola itu. Pola sama yang diterapkan pelatih asal Inggris itu saat membawa Tim Garuda ke final Piala AFF 2004.
Hal ini tidak lepas dari kiblat pelatih Eropa yang lebih menekankan keseimbangan permainan dengan sistem serangan yang sistemis.
Di samping itu, untuk mengisi skuat Indonesia di Piala AFF 2007, Peter Withe mempertahankan setidaknya 11 pemain yang turun di Piala AFF 2004. Nama-nama seperti Hendro Kartiko, Ismed Sofyan, Ilham Jaya Kesuma, Jendri Pitoy, Ponaryo Astaman, Firmansyah, Elie Aiboy, Saktiawan Sinaga, Syamsul Chaeruddin, Mahyadi Panggabean, Agus Indra Kurniawan masih ada di tim.
Mereka dipadukan dengan pemain muda semisal Atep, Ricardo Salampessy, Eka Ramdani, Ledi Utomo, dan Supardi Nasir. Hanya, rupanya racikan Peter Withe tidak lagi menggigit.
Pemanggilan pemain ke timnas di Piala AFF itu sekaligus dipakai PSSI untuk menyeleksi pemain yang sekiranya pantas tampil di putaran final Piala Asia 2007. "Para pemain yang ikut turnamen ini merupakan bagian dari seleksi pemain untuk tim Piala Asia 2007," kata Nurdin Halid.
Tetapi, lantaran gagal lolos ke semifinal, tidak ada pemain timnas yang mampu menyita perhatian. Mencetak enam gol dari tiga pertandingan fase grup juga menjadi catatan paling buruk sepanjang sejarah keikutsertaan di Piala AFF hingga saat itu.
Sebagai catatan, selain tampil di final dalam tiga edisi terakhir, bersama itu Timnas Indonesia juga menempatkan pemainnya jadi peraih gelar Golden Boot alias pencetak gol terbanyak.
Pada Piala AFF 2000 ada nama Gendut Doni Christiawan dengan lima gol, kemudian Piala AFF 2002 ada Bambang Pamungkas dengan delapan gol, serta Ilham Jaya Kesuma dengan tujuh gol pada Piala AFF 2004.
Keenam gol timnas Indonesia di Piala AFF 2007 dicetak Atep (2 gol), Saktiawan Sinaga (2 gol), serta masing-masing satu gol dari Ilham Jayakesuma dan Zaenal Arief. Bahkan bek timnas, Supardi Nasir, mencetak gol bunuh diri ketika menghadapi Vietnam.
Kabar tak sedap perpecahan di dalam internal Timnas Indonesia sempat mencuat ke permukaan. Sejumlah pemain merasa Peter Withe kerap tak fair dalam memilih pemain inti. Ia cenderung memaksakan sejumlah pemain 'kesayangannya' bermain sekalipun performanya tidak memuaskan.
Salah satu pemain senior, Budi Sudarsono sempat naik pitam ke pelatih asal Inggris tersebut yang ia nilai terlalu menganak emaskan Ilham Jaya Kesuma di sektor depan Tim Garuda.
Kegagalan Indonesia lolos ke semifinal langsung direspons manajemen timnas dan PSSI. Timnas yang saat dimanajeri Andi Darussalam Tabusala dan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid, mengeluarkan keputusan penting: memecat Peter Withe!
Keputusan cepat itu diambil karena enam bulan setelah Piala AFF 2007 (12 Januari-4 Februari), Timnas Indonesia akan berkiprah di Piala Asia 2007, di mana Jakarta menjadi salah satu kota tuan rumah selain Kuala Lumpur, Hanoi, dan Bangkok.
Piala AFF 2012: Hancur Karena Dualisme
Timnas Indonesia berada di dalam masa-masa kelam saat Piala AFF 2012 berlangsung. Dualisme kepengurusan PSSI berimbas besar kepada Tim Garuda, yang sempat mengalami perpecahan.
Hasilnya cukup buruk, Tim Merah-Putih yang tidak dibentuk dari pemain-pemain terbaik hanya berkiprah di babak penyisihan grup di Malaysia.
Tim Garuda yang berangkat ke Malaysia dipimpin oleh pelatih Nilmaizar, diisi oleh mayoritas dari klub-klub Indonesia Premier League (IPL).
Pemain-pemain asal klub Indonesia Super League (ISL) melakukan aksi boikot karena diancam diputus kontrak oleh klubnya. Hanya Bambang Pamungkas (Persija Jakarta) dan Oktovianus Maniani (Persiram Raja Ampat) yang datang memenuhi panggilan membela negara.
Saat itu klub-klub ISL tengah melakukan pemberontakan ke PSSI, yang merubah sistem kompetisi profesional dengan mengabaikan statuta. Disokong sejumlah anggota Komite Eksekutif PSSI, mereka kemudian membuat organisasi tandingan, Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).
Jelang Piala AFF 2012, KPSI sempat membentuk timnas sendiri dengan asuhan Alfred Riedl, yang belakangan eksistensinya tidak diakui AFF.
Alhasil Nil Maizar hanya memberdayakan pemain alakadarnya. Ia bahkan sampai harus memasukkan nama Elie Aiboy, pemain gaek yang sejatinya tidak lagi cukup pantas membela Tim Merah-Putih.
Untuk menambal skuat Timnas Indonesia, PSSI mendatangkan pemain naturalisasi, Raphael Maitimo, Tonnie Cussel, dan Jhon van Beukering, yang sayangnya performanya ternyata di bawah ekspetasi.
Dampaknya compang-campingnya skuat Timnas Indonesia langsung terlihat di pertandingan pertama yang digelar di Stadion Nasional Bukit Jalil, Kuala Lumpur.
Tim Garuda hanya mampu bermain imbang 2-2 saat berhadapan dengan Laos, tim yang di edisi-edisi sebelumnya selalu takluk dengan skor besar saat berhadapan dengan Indonesia.
Khampheng Sayavutthi membuat Indonesia tertinggal lebih dulu melalui eksekusi penalti pada menit ke-30. Raphael Maitimo pun membuktikan bahwa dirinya adalah pemain naturalisasi yang tepat untuk Indonesia dengan gol penyeimbang yang dicetaknya dua menit sebelum babak pertama usai.
Namun, pertandingan berakhir dengan hasil imbang 2-2 setelah Keoviengpeth Liththideth membawa Laos kembali unggul sebelum akhirnya disamakan kembali oleh Vendry Mofu.
Hasil pertandingan perdana itu pun sangat mengecewakan tapi memang sudah bisa diprediksi sebelumnya karena Timnas Indonesia memang dinilai berangkat tanpa komposisi yang terbaik.
Hasil itu membuat banyak publik penggemar sepak bola Indonesia pesimistis di pertandingan kedua, di mana Timnas Indonesia menghadapi Singapura, tim yang sudah dua kali menjadi juara Piala AFF, yaitu pada 2004 dan 2007.
Namun, di pertandingan inilah Timnas Indonesia mampu memperlihatkan sebuah titik balik yang bagus walau hanya menang tipis 1-0.
Tiga poin penting diamankan tim asuhan Nilmaizar berkat sebuah gol cantik yang dicetak oleh Andik Vermansah. Tendangan bebas dari jarak jauh dilepaskan Andik dan langsung mengoyak jala gawang Timnas Singapura melalui sudut atas gawang. Satu gol tersebut menjadi motivasi yang sangat baik untuk menghadapi tuan rumah Malaysia di pertandingan terakhir.
Persaingan menuju semifinal dari Grup B Piala AFF 2012 memang sangat menarik. Indonesia memiliki empat poin dari hasil imbang kontra Laos dan kemenangan atas Singapura. Sementara itu, Malaysia dan Singapura sama-sama memiliki tiga poin dari satu kemenangan yang mereka raih dalam dua pertandingan pertama.
Singapura yang menghadapi Laos di pertandingan terakhir pun diprediksi akan mengamankan satu tempat di semifinal. Sementara itu, Timnas Indonesia dan Malaysia harus bertarung keras untuk bisa mengamankan jatah satu tempat lainnya.
Dua pertandingan terakhir digelar dalam waktu yang sama. Singapura sempat tertinggal dari Laos pada menit ke-21. Namun, di pertandingan lain Malaysia pun mencetak gol ke gawang Indonesia pada menit ke-27 melalui Azamuddin Akil.
Timnas Indonesia pun dalam kondisi yang sangat sulit begitu tertinggal satu gol. Dua menit berselang, giliran Mahali Jasuli yang menjebol gawang Timnas Indonesia yang dikawal Wahyu Tri Nugroho.
Dua gol yang bersarang di gawang Indonesia itu tak mampu dibalas oleh Andik Vermansah dkk. Sementara di pertandingan lain Singapura akhirnya menang 4-3 atas Laos.Irfan Bachdim dkk. pun tersingkir.
Singapura dan Malaysia menjadi dua tim yang lolos dari Grup B dengan sama-sama mengumpulkan enam poin, unggul dua poin dari Timnas Indonesia.
Perjalanan Timnas Indonesia di Piala AFF 2012 menjadi cermin dari permasalahan dualisme PSSI yang berimbas kepada dualisme liga, dan akhirnya menjadi dualisme Timnas Indonesia, sehingga tim yang beraksi di level internasional pun harus diakui bukan yang terbaik.
Piala AFF 2014: Kekelahan dan Antiklimaks
Piala AFF 2014 jadi kisah tidak menyenangkan lainnya bagi Tim Merah-Putih. Pada Piala AFF edisi ke-10, dimulai pada 22 November 2014, Timnas Indonesia gagal lolos ke semifinal untuk ketiga kalinya sepanjang sejarah keikutsertaan di turnamen sepak bola terakbar di Asia Tenggara ini.
Secara khusus, hasil tersingkir di penyisihan grup ini jadi yang beruntun buat Indonesia karena hasil sama dicatatkan pada penyelenggaraan edisi sebelumnya (Piala AFF 2012). Padahal, Indonesia berangkat ke Hanoi, Vietnam, dengan target tertinggi: jadi juara untuk kali pertama!
Salah satu cara mewujudkan ambisi itu, PSSI melalui BTN (Badan Tim Nasional) yang kala itu dipimpin La Nyalla Mattalitti, pada medio November 2013 kembali menunjuk Alfred Riedl untuk jadi pelatih Timnas Indonesia. Alfred menggantikan posisi Jacksen F. Tiago yang diminta kembali ke Persipura Jayapura.
Kembalinya Alfred ke kursi panas pelatih Timnas Indonesia jadi yang ketiga kalinya, setelah pada momen pertama di Piala AFF 2010 (membawa Indonesia jadi runner-up). Alfred ditunjuk Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) pada awal September 2012 untuk menangani Tim Garuda di Piala AFF 2012.
Namun, ketika itu Federasi Sepak Bola Indonesia itu tengah dilanda dualisme sehingga KPSI yang merupakan PSSI versi KLB Ancol pimpinan La Nyalla Mattalitti, tidak bisa mengirimkan skuat ke Piala AFF 2012 karena AFF memutuskan tim versi PSSI yang dilatih Nilmaizar, yang berhak jadi peserta. Alhasil, Alfred Riedl batal mendampingi tim di Piala AFF 2012.
Selang setahun kemudian, pelatih asal Austria itu kembali ke Indonesia untuk mempersiapkan tim di Piala AFF 2014. Meski kesepakatan dengan BTN terjalin sejak November 2013, setelah pertandingan melawan Arab Saudi di kualifikasi Piala Asia 2015 (5/3/2014), Alfred Riedl tetap tidak memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan timnas di Piala AFF 2014.
Jadwal kompetisi yang padat serta adanya momen kampanye jelang Pemilihan Umum Presiden, membuat tim pelatih timnas kesulitan menyusun jadwal pemusatan latihan.
Imbasnya, seluruh pemain baru bisa berkumpul satu pekan jelang keberangkatan ke Hanoi atau tiga hari sebelum kick-off penyisihan Grup A yang dihuni Indonesia bersama Filipina, Laos, dan tim tuan rumah Vietnam. Hal itu dikarenakan kompetisi reguler baru berakhir pada 7 November 2014.
Minimnya waktu berlatih bersama dalam pemusatan latihan jadi salah satu faktor utama kegagalan Timnas Indonesia di Piala AFF 2014. Satu lagi adalah buruknya kondisi fisik dan stamina (kebugaran) pemain untuk bermain dalam turnamen dengan jadwal ketat seperti Piala AFF. Hal itu karena pemain sudah bertarung habis-habisan bersama klub masing-masing dan tidak memiliki waktu jeda ideal.
Dengan stamina tidak mendukung, Alfred Riedl mengaku kesulitan menerapkan strategi permainan yang diinginkannya. Alih-alih memainkan permainan bola-bola pendek, timnas jadi memainkan umpan-umpan lambung karena strategi awal tidak berjalan baik lantaran stamina pemain yang tidak bugar.
Pada pertandingan pertama di penyisihan Grup A, 22 November 2014 di Stadion My Dinh, Timnas Indonesia sudah harus menghadapi lawan yang dianggap terberat: Vietnam.
Bayang-bayang kekalahan sempat menghinggapi mengingat menit ke-11, gawang yang dijaga Kurnia Meiga sudah kebobolan. Tim Garuda akhirnya mampu memaksakan hasil imbang 2-2 dengan tim tuan rumah lewat gol Samsul Arif pada menit ke-84. Indonesia selamat dari kekalahan dan bersiap menghadapi lawan selanjutnya, Filipina (25/11/2015).
Di atas kertas, Filipina semestinya bukan lawan yang sulit ditundukkan. Kendati, dalam dua edisi Piala AFF sebelumnya, The Azkals berstatus sebagai semifinalis. Namun, di lapangan yang terjadi sebaliknya. Indonesia di luar dugaan justru dihajar empat gol tanpa balas.
Penalti Philip Younghusband pada menit ke-16 jadi awal mimpi buruk Tim Garuda. Saat tertinggal 0-3, Indonesia harus kehilangan Rizky Pora yang mendapat kartu merah pada menit ke-73. Bermain dengan 10 pemain, membuat Filipina mampu menjebol gawang Indonesia lagi pada menit ke-79.
Kekalahan itu pantas jadi mimpi buruk karena pada Piala AFF 2002, Tim Merah-Putih mampu menggulung The Azkals dengan skor fantastis: 13-1. Bak putaran nasib, 12 tahun berselang giliran Filipina yang membobol Indonesia dengan skor telak.
Kekalahan itu jadi salah satu catatan buruk Timnas Indonesia. Secara khusus, kekalahan Indonesia dari Filipina itu jadi yang pertama sepanjang 56 tahun dalam 22 laga terakhir di pentas internasional antar kedua negara.
"Anda lihat, pertandingan itu (Filipina vs Indonesia) adalah duel tim fit melawan tim dengan stamina tak fit. Saya terkejut dengan hasilnya. Saya pikir kami bisa menantang tim ini," kata Alfred Riedl seusai laga melawan Filipina.
Gara-gara kalah dari Filipina, posisi Indonesia di Piala AFF 2014 pun di ujung tanduk. Partai terakhir menghadapi Laos (28/11/2014) harus dimenangi dengan marjin gol besar bila ingin lolos ke semifinal. Pasalnya, nasib Indonesia juga ditentukan partai Vietnam versus Filipina.
Timnas Indonesia mengamuk saat melawan Laos. Kendati bermain hanya dengan 10 pemain sejak menit ke-30, Tim Merah-Putih mampu melibas Laos dengan skor 5-1, sekaligus meraih kemenangan pertama dan terakhir Indonesia di penyisihan grup.
Namun, apa daya, kemenangan itu sia-sia karena Vietnam mampu mengalahkan Filipina dengan skor 3-1. Vietnam pun memimpin klasemen Grup A dengan poin tujuh, disusul Filipina (6 poin), dan Indonesia di peringkat ketiga (empat poin).
Sepulang dari Vietnam, tepatnya pada awal Desember 2014, PSSI resmi memutus kontrak Alfred Riedl karena dianggap gagal memenuhi target. Sebenarnya, Alfred dikontrak dengan durasi tiga tahun, namun kontraknya otomatis terputus bila gagal membawa Indonesia jadi juara Piala AFF 2014 di tahun pertama kontraknya.
Baca Juga
3 Penggawa PSBS yang Menonjol dalam Kebangkitan Mereka di BRI Liga 1: Semakin Nyaman Berkreasi
Deretan Pemain Naturalisasi Timnas Indonesia yang Sebaiknya Main di Piala AFF 2024: Ngeri-ngeri Sedap Kalau Gabung
Mengulas Rapor Buruk Shin Tae-yong di Piala AFF: Belum Bisa Bawa Timnas Indonesia Juara, Edisi Terdekat Bagaimana Peluangnya?