Bola.com, Jakarta - Final nomor ganda campuran turnamen Indonesia Masters 2019 yang digelar di Istora Gelora Bung Karno, Minggu (27/1/2019), menjadi panggung terakhir buat Liliyana Natsir di pentas bulutangkis. Butet, sapaannya, yang akhirnya menjadi runner up bersama sang partner, Tontowi Ahmad, mengucapkan salam perpisahan dan dilepas dengan seremoni spesial sebelum lima laga final digelar.
Baca Juga
Butet, yang kini berusia 33 tahun, pantas disebut sebagai legenda. Dunia olah raga Indonesia, khususnya bulutangkis, patut bangga dan bersyukur pernah memilikinya sebagai atlet. Butet menekuni bulutangkis selama 24 tahun, 17 tahun diantaranya berpredikat sebagai pemain pelatnas. Selama rentang waktu tersebut, sudah banyak gelar yang disumbangkan Butet buat Indonesia.
Satu medali emas Olimpiade Rio 2016, dua gelar juara dunia bersama Nova Widianto (2005, 2007), dua gelar juara dunia bersama Tontowi Ahmad (2013, 2017), serta tiga gelar beruntun di All England bersama Tontowi (2012, 2013, 2014) adalah gelar paling membanggakan Butet. Total, ia mengoleksi 51 gelar internasional di sepanjang kariernya.
Butet mencapai prestasi itu dengan pengorbanan yang luar biasa. Ia mengawali karier di usia sembilan tahun kala bergabung dengan klub PB Pisok di Manado, kota kelahirannya. Pada usia 12 tahun, ia merantau ke Jakarta dan bergabung dengan PB Tangkas. Ia mulai masuk ke pelatnas PBSI di Cipayung pada 2002 dan kariernya yang gilang gemilang pun dimulai hingga berakhir pada tahun 2019.
Pada pertengahan tahun 2000-an, Butet masih bermain rangkap, di nomor ganda putri dan ganda campuran. Bersama Vita Marissa, ia sempat meraih beberapa gelar. Pada saat yang bersamaan ia dipasangkan di nomor ganda campuran dengan pemain yang lebih senior, Nova Widianto.
Namun setelah meraih gelar Indonesia Terbuka 2008, Butet harus memilih. Ia akhirnya memilih untuk menekuni nomor ganda campuran bersama Nova.
“Dengan level persaingan seperti sekarang, berat kalau tetap bermain rangkap. Daripada nggak fokus dan tidak maksimal di dua nomor, saya harus realistis dan memilih salah satu,” kata Butet saat meninggalkan nomor ganda putri.
Namun pilihan tersebut tak langsung berbuah manis. Bersama Nova, Butet memang sudah meraih predikat juara dunia sebanyak dua kali. Tapi justru di level Olimpiade yang merupakan altar tertinggi, Butet gagal. Pasangan Nova/Butet kalah kalah di final Olimpiade Beijing 2008 dari ganda Korsel, Lee Yong-dae/Lee Hyo-jung dengan skor 17-21, 17-21.
Pada turnamen tertua dan paling prestisius, All England, Nova/Butet dua kali kalah di final, pada 2008 (vs Zheng Bo/Gao Ling 21-18, 14-21, 9-21) dan 2010 (vs Zhang Nan/Zhao Yunlei 18-21, 25-23, 18-21). Setelah itu, pada 2010 tanda tanya menyelimuti karier Butet yang kala itu berusia 25 tahun.
Koleksi Gelar Hampir Sempurna
Secara mengejutkan Nova memilih untuk mundur dari pelatnas. Padahal kala itu Nova/Butet masih bertengger di peringkat satu BWF. Meski memang pada beberapa turnamen Nova mengakui dirinya, yang kala itu berumur 33 tahun, mulai keteteran dan kalah power jika berhadapan dengan lawan yang lebih muda.
“Biar Butet mendapat partner yang lebih muda dari saya. Berat kalau sama saya terus karena saya sudah tua,” kata Nova yang akhirnya baru pensiun bermain pada 2013.
Setelah Nova mundur dari pelatnas, pelatih ganda campuran pelatnas PBSI, Richard Mainaky, pun sempat pusing. Ia harus mencari pasangan baru buat Butet yang berada dalam usia emas.
Bongkar pasang terjadi dan Butet pernah dicoba bermain bersama M. Rijal serta Devin Lahardi. Pasangan Devin/Butet sempat menjuarai Malaysia Masters 2010, namun jodoh Butet rupanya bukan bersama Devin.
Richard kemudian memasangkan Butet dengan Tontowi Ahmad, yang kala itu masih berpartner dengan Richi Puspita Dili.
Pilihan tersebut rupanya tepat. Bersama Tontowi, Butet meraih prestasi yang lebih tinggi. Koleksi gelarnya makin mengilap dan bergengsi, meskipun ia juga masih merasakan pahitnya kekalahan.
Setelah meraih gelar All England 2012, harapan tinggi disematkan ke pasangan Owi/Butet di ajang Olimpiade London 2012. Nyatanya, mereka malah gagal total dan tak mampu meraih medali. Tradisi emas Indonesia yang sudah dirajut sejak Olimpiade Barcelona 1992 pun terhenti bersamaan dengan kegagalan cabang bulutangkis menyumbang emas.
Namun Butet menunjukkan karakter pantang menyerah. Ia juga bertransformasi. Ia pernah menjadi partner yang dibimbing saat masih berpasangan dengan Nova. Ketika bersama Tontowi, Butet sukses menjadi pembimbing dan mentor buat Tontowi. Istilahnya dalam dunia ganda bulutangkis, dari yang digendong menjadi yang menggendong.
Ia menjelma menjadi salah satu pemain terbaik di nomor ganda campuran. Permainan net yang halus, kemampuan membaca permainan, dan mengatur ritme menjadi kelebihan yang dikagumi dan disegani kawan ataupun lawan.
Hasilnya, sederet gelar diraih. Hattrick gelar juara All England, tambahan dua gelar juara dunia, dan tentu saja yang paling bergengsi, medali emas Olimpiade Rio 2016.
Sebagai pemain ganda, koleksi trofi dan medali Liliyana Natsir terbilang hampir sempurna. Satu-satunya gelar yang lolos adalah medali emas Asian Games. Namun hal itu tak mengurangi status Butet sebagai pemain spesialis ganda campuran terbaik yang pernah dipunyai Indonesia.
Tugas Berat PBSI
Kerja keras, dedikasi, semangat pantang menyerah, disiplin serta banyak hal positif lain dari Butet pantas diteladani oleh pemain manapun. Sejumlah testimoni dari kawan maupun lawan menjadi bukti kehebatan Butet serta rasa kehilangan mereka kala ia memutuskan pensiun.
Sebagai pelatih, Richard Mainaky melihat Butet sebetulnya masih bisa bersaing di level atas persaingan dunia. Saat ini saja ia dan Tontowi masih bertengger di peringkat empat BWF. Meski merasa sangat kehilangan, Richard menghormati keputusan Butet yang sudah bulat untuk pensiun.
"Kalau dilihat dari kemampuan, saya lihat Butet masih mampu bersaing. Tapi masalahnya bukan teknis, karena saya lihat dia juga sudah jenuh. Setelah apa yang dia raih dan pengorbanannya, dia pantas untuk pensiun," kata Richard.
Sepeninggal Butet, kini pekerjaan rumah besar menanti PBSI dan jajaran kepelatihan pelatnas. Tahun depan, Olimpiade 2020 Tokyo sudah menanti. Tradisi emas tentu harus dipertahankan Indonesia.
Bulutangkis adalah satu-satunya cabang penyumbang emas Olimpiade buat Indonesia sejak 1992. Namun saat ini baru terlihat Kevin Sanjaya/Marcus Fernaldi Gideon, kini berada di peringkat satu ganda putra BWF, yang bisa diandalkan untuk meraih emas Olimpiade Tokyo 2020.
Tentu tak mudah menemukan atau mencetak pebulutangkis dengan kaliber seperti Butet. Tontowi yang ditinggalkan Butet pun belum memiliki pasangan klop. Ia pernah dipasangkan dengan Gloria Emanuelle Widjadja dan Della Destiara Haris, namun sepertinya belum memenuhi harapan pelatih Richard Mainaky. Tontowi kini coba dipasangkan dengan Winny Oktavina Kandaw.
Sebetulnya nomor ganda campuran pernah memiliki harapan sebagai penerus Tontowi/Butet. Pasangan Praveen Jordan/Debby Susanto sempat menjadi pelapis dan meraih gelar juara All England 2016. Sayang mereka telah berpisah dan Debby yang kini berusia 29 tahun juga memutuskan pensiun, usai tampil di Indonesia Masters 2019 bersama Ronald Alexander.
Pasangan lain, Hafiz Faizal/Gloria Emanuelle (peringkat 14 BWF) dan Praveen Jordan/Melati Daeva (peringkat 15) masih harus membuktikan diri kalau mampu menggantikan peran dari para seniornya.
Richard Mainaky dan Nova Widianto ikut menjadi saksi saat Liliyana Natsir dan Debby Susanto mengakhiri karier sebagai pemain di Indonesia Masters 2019. Kini mereka bertugas untuk menyiapkan penggantinya. Semoga berhasil.