Bola.com, Jakarta - Klub-klub Liga Inggris pernah berjaya di persaingan elite Eropa. Uniknya memasuki era Premier League, yang secara bisnis jadi kompetisi dengan pemasukan terbesar, kiprah klub-klub Inggris seperti tenggelam.
Hanya Liverpool, Manchester United, dan Chelsea, yang bisa menembus dominasi duo Spanyol, Real Madrid dan Barcelona sebagai kampiun Liga Champions.
Publik sepak bola dunia beberapa tahun belakangan dibuat bosan karena juara dua kompetisi Liga Champions dan Europa League dikuasai klub-klub asal Spanyol.
Sebuah komentar menarik dilontarkan Pep Guardiola, pelatih Manchester City, klub kaya asal Inggris yang membangun kekuatan tim dengan pemain-pemain berlabel wah, di fase penyisihan Liga Champions.
“Mereka adalah salah satu tim terkuat yang pernah saya hadapi. Mereka mengandalkan fisik, kuat, dan serangan balik mereka sangat luar biasa hebat. Orang-orang berkata Liga Prancis (Ligue 1) hanya PSG (Paris Saint-Germain), tapi mereka sangatlah salah.”
Pep Guardiola melontarkan pujian itu setelah hasil imbang 2-2 antara Olympique Lyonnais kontra Manchester City di lanjutan laga Grup F Champions League. Dapatkan Anda membayangkannya, Lyon disebut dan diakui secara langsung oleh Guardiola sebagai lawan terkuat mereka.
Bukan tanpa bermaksud meremehkan atau tidak respek kepada Lyon, Les Gones sekarang ini bukanlah Lyon yang pernah menjuarai Ligue 1 tujuh kali beruntun dari tahun 2001-2008.
Musim lalu saja Lyon hanya menempati peringkat tiga di bawah PSG dan AS Monaco. Bagaimana bisa, Guardiola, dengan timnya yang begitu superior dan mengerikan di Premier League, mengakui Lyon sebagai lawan terhebat mereka.
Logikanya, jika Guardiola mengatakannya, itu berarti Chelsea, Liverpool, Arsenal, Manchester United, dan lawan-lawan yang sudah dilawan Man City di Premier League, ada di bawah Lyon. Begitu turunnya standar permainan sepak bola Inggris, yang ironisnya punya liga terbaik dunia, Premier League.
Faktanya demikian. Terlepas dari keberhasilan Manchester United meraih titel Europa League 2017 dan pencapaian final Liverpool di Champions League 2017-2018, klub-klub Inggris yang dahulu pernah mendominasi Eropa, jadi melempem dalam beberapa musim terakhir.
Kira-kira, apa ya penyebabnya? Berikut ini analisisnya yang disarikan dari situs 90min.
Jadwal terlalu padat
Sudah bukan rahasia lagi jika kompetisi sepak bola di Inggris itu begitu ‘kejam’. Masyarakat di sana memang santai-santai saja menyaksikan laga di Hari Natal atau Tahun Baru, tapi, bagi pemain dan klub dampaknya begitu besar ketika musim sudah memasuki paruh kedua.
Dalam turnamen besar Timnas Inggris punya kecenderungan keletihan hingga tak bisa tampil optimal. Begitu juga di level klub. Paruh musim kedua turnamen antarklub Eropa, baik itu Champions League atau Europa League, biasanya sedang memasuki fase krusial di fase gugur.
Motivasi untuk bermain mungkin ada untuk meraih kesuksesan. Tapi, motivasi saja kadang tidak cukup di saat badan sedang tidak bugar alias keletihan. Oleh karenanya, lawan dari tim-tim Inggris yang berasal dari bagian negara Eropa lainnya bisa memaksimalkan itu dengan baik dan menyingkirkan mereka.
Beruntungnya, ‘mata’ FA sudah mulai terbuka dan mereka akan mulai menerapkan jeda musim dingin per Februari 2020 atau di musim 2019-2020.
Arogansi liga terbaik dunia
Menyandang status liga terbaik dunia tampaknya menjadi buah simalakama untuk klub-klub Premier League yang bermain di Europa League atau Champions League.
Disadari atau tidak, tekanan bagi tim-tim Inggris karena status itu cukup tinggi. Ironis melihat Premier League sebagai liga – yang disebut – terbaik dunia, tapi pada kenyataannya perwakilan mereka di turnamen antarklub Eropa melempem.
Sejauh ini, hal yang bagus dari Premier League adalah pembagian hak siar yang adil kepada tim-tim kontestan dan punya marketing yang bagus, hingga menjadi liga terbaik dunia. Bisa disimpulkan: Premier League overrated (berlanjut ke poin tiga).
Menilai kualitas pemain bintang berlebihan
Harga, gaji, dan kualitas pemain yang ada di Inggris seyogyanya tidak setimpal dengan kontribusi mereka ketika bermain. Klub-klub Premier League cenderung menggaji atau membeli pemain dengan nominal yang fantastis, tapi faktanya penampilan mereka tidak sejalan dengannya (beberapa di antaranya).
Contoh sederhana: gaji Alexis Sanchez di Manchester United mencapai 500.000 poundsterling per pekannya, nyaris setara dengan Lionel Messi , tapi apakah keduanya punya kontribusi yang sama? Tidak. Overrated.
Romelu Lukaku dibeli dari Everton setahun lalu seharga 90 juta poundsterling oleh Man United. Tapi faktanya saat ini di Champions League, top skor sementara adalah Dusan Tadic yang dibeli Ajax Amsterdam seharga 13,7 juta euro dari Southampton musim panas ini.
Bahkan, jika dilihat secara garis besar atau umum, soal pemain-pemain terbaik dunia di posisinya masing-masing, hanya segelintir yang berasal dari Premier League seperti Eden Hazard, Mohamed Salah, dan David De Gea. Sisanya? Terbagi di liga-liga top Eropa lainnya.
Semua fakta itu memperlihatkan bahwa apa yang terlihat belum tentu sesuai kenyataan. Gemerlap pemberitaan besar klub-klub Inggris tidak serta merta membuat mereka tiba-tiba jago di Eropa.
"Saya menyukai Liga Inggris. Saya melihatnya sebagai liga yang sangat menarik. Liga itu banyak mendapatkan perhatian meski saya merasa kualitas yang ada sedikit terlalu dibesar-besarkan, baik itu kualitas individu maupun teknik,” ucap Zlatan Ibrahimovic, yang pernah jadi top skor Man United ketika usianya sudah berusia 36 tahun.
"Seperti yang saya katakan ketika saya di Inggris, kalian beruntung saya tidak datang 10 tahun lalu karena bila saya bisa melakukan apa yang saya tunjukkan di usia 35 tahun, bayangkan bila usia saya masih 25 tahun. Tentu akan jadi cerita yang berbeda."
Pembinaan pemain muda yang tersendat
Tahun lalu Timnas Inggris di level muda menyabet trofi prestisius di turnamen besar seperti Euro dan Piala Dunia. Timnas Inggris senior juga menapaki semifinal di Piala Dunia 2018 dan Gareth Southgate, pelatih Inggris, baru mulai lebih banyak mengandalkan pemain muda.
Proses itu sayangnya dimulai baru-baru ini. Inggris telah tertinggal selangkah-dua langkah dari Bundesliga dan La Liga dari sisi itu. Ditambah fakta klub-klub besar Premier League jarang memainkan pemain muda mereka, maka semakin sulit saja mereka bersaing di pentas Eropa.
Selain itu pemandu bakat klub-klub di Inggris juga tidak sebagus liga lainnya. Acapkali ditemui pembelian pemain dengan harga mahal, tapi kontribusi dan kualitas yang diberikannya tidak sejalan dengannya.
Pengaruh generasi Y dan Z
Simak pernyataan menarik dari Jose Mourinho ini:
"Saya sempat harus beradaptasi dengan dunia baru. Dengan seperti apa para pemain muda sekarang ini.”
"Saya saat itu harus memahami perbedaan antara bekerja dengan anak seperti Frank Lampard, yang di usia 23 tahun sudah menjadi pria, yang memikirkan sepak bola, bekerja, profesionalisme, dan dengan anak-anak baru yang di usia 23 tahun masih bocah."
"Sekarang ini saya memanggil mereka 'bocah' bukan 'pria'. Karena saya rasa bahwa mereka adalah anak-anak nakal dan semua yang melingkupi mereka tidak membantu mereka dalam kehidupan mereka juga di pekerjaan saya."
"Saya harus menyesuaikan dengan itu semua. 10 tahun lalu, tidak ada pemain punya telepon genggam di ruang ganti. Itu bukan lagi yang terjadi. Tapi Anda harus menerimanya, karena kalau menentangnya, Anda mendatangkan konflik dan menempatkan diri Anda di zaman batu."
Secara tidak langsung Mourinho menyindir generasi di era milenial ini dengan pengaruh teknologi dan sosial media yang sangat besar. Dampaknya pun berpengaruh kepada kekuatan mental dan perkembangan pemain dari segi gaya main mereka.
Dahulu kala, ketika klub-klub Premier League ‘banyak berbicara’ di Eropa, masih ada pemain-pemain yang mendedikasikan hidupnya kepada sepak bola seperti Lampard, John Terry, Paul Scholes, Ryan Giggs, Steven Gerrard, Thierry Henry, Patrick Vieira. Sekarang? Sulit membayangkan pemain yang setidaknya mendekati level bermain mereka.
Terlalu fokus di kompetisi sendiri
Bertahan di empat besar Premier League dan bermain rutin di Champions League seakan jadi hal yang lebih penting ketimbang berusaha menjuarainya. Ini bukan sekedar opini, melainkan fakta.
Arsene Wenger bisa bertahan lama di Arsenal selama beberapa musim terakhir karena The Gunners konsisten ada di empat besar dan bermain di Champions League, meski prestasi mereka minim di Champions League .
Belum lagi fakta lain bahwa klub-klub Premier League lebih fokus mengejar kompetisi lokal ketimbang Champions League. Praktis, hanya ada Man United dengan Mourinho yang selalu membanggakan trofinya, yang benar-benar serius menatap Europa League ketika menjuarainya tahun lalu.
Itu juga karena mereka tak mampu masuk di empat besar Premier League dan memilih jalur pintas dengan menjuarainya.
Baca Juga
Ruben Amorim Buka Suara Setelah Wawancara After Match Perdananya Diganggu Ed Sheeran: Enggak Penting
Terungkap! Biaya Besar Digelontorkan MU saat Melepas Erik ten Hag dan Merekrut Ruben Amorim: Memengaruhi Dana Belanja Januari 2025?
Usai Tinggalkan MU, Ruud van Nistelrooy OTW Jadi Pelatih Leicester City