Bola.com, Jakarta - Piala Presiden sebagai ajang pramusim sebelum kompetisi Liga 1 berputar sudah digelar sebanyak tiga kali. Pada Piala Presiden 2015 yang merupakan gelaran pertama, Persib menjadi juara usai menang 2-0 atas Sriwijaya FC di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Pada edisi 2017, Arema unggul telak 5-1 dari Borneo FC di Stadion Pakansari, Kabupaten Bogor. Sementara tahun lalu, giliran Persija yang menang 3-0 dari Bali United di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.
Laga final Piala Presiden 2019 kali ini memanggungkan pertandingan Persebaya kontra Arema. Sepanjang sejarah Piala Presiden, belum pernah ada partai final yang diselimuti aroma persaingan, tradisi, dan gengsi seperti laga Persebaya vs Arema.
Pertandingan ini merupakan derby Jawa Timur, salah satu provinsi yang menjadi barometer sepak bola Indonesia. Dari sejumlah laga derby yang pernah ada dalam kancah sepak bola Indonesia, bisa jadi derby Jatim antara Persebaya vs Arema ini adalah yang paling menarik karena dibumbui banyak hal.
Derby yang selalu berjalan panas ini sebetulnya cukup unik, karena kedua tim awalnya tidak berkompetisi di ajang yang sama. Persebaya yang lahir sejak tahun 1927 bermain di ajang Divisi Utama Perserikatan yang merupakan kompetisi amatir. Sementara Arema yang lahir pada 1987, berlaga di kompetisi Galatama (Liga Sepak Bola Utama), wadah buat klub profesional.
Secara tradisi, pesaing Persebaya adalah Persema yang merupakan sesama klub Perserikatan. Sementara kompetitor Arema adalah Niac Mitra, yang kemudian bertransformasi menjadi Mitra Surabaya di ajang Galatama.
Dilihat dari sejarah tersebut, jelas tampak bahwa Persebaya dan Arema lahir dari kompetisi yang berbeda. Tak cuma itu, selisih usia yang mencapai 60 tahun membuat kedua tim tumbuh dalam masa yang berbeda pula.
Dilebur ke Liga Indonesia
Kondisi tersebut berubah sejak kompetisi Divisi Utama Perserikatan dan Galatama dilebur menjadi kompetisi Liga Indonesia pada tahun 1994. Pada masa itu, masih ada Persema dan Mitra Surabaya (setelah Niac Mitra bubar). Namun basis pendukung yang lebih banyak di Persebaya dan Arema membuat persaingan akhirnya mengerucut ke kedua tim tersebut.
Saat prestasi Persema kalah mentereng ketimbang Arema dan Mitra Surabaya menyusul Niac Mitra yang bubar, suporter Malang dan Surabaya makin fokus mendukung Arema dan Persebaya. Saking panasnya aroma persaingan, kala kompetisi masih terbagi dalam dua wilayah Timur dan Barat, Arema dan Persebaya sengaja dipisahkan ke wilayah yang berbeda.
Tujuannya tentu guna menghindari laga rawan gesekan suporter jika terjadi derby Jatim. Ketika kompetisi tak lagi memakai sistem dua wilayah, derby Jatim tak terelakkan. Guna menghindari gesekan suporter, hingga kini ada aturan tak tertulis, suporter Persebaya dilarang datang ke Malang saat timnya bertanding lawan Arema, begitu juga sebaliknya.
Uniknya, meski persaingan begitu kental, ada sejumlah pemain yang pernah memperkuat Persebaya dan Arema. Sebut saja nama eks pemain timnas seperti Aji Santoso, I Putu Gede Swisantoso, Hendro Kartiko, Hamka Hamzah, hingga pemain yang bukan kelas timnas seperti Ranu Tri Sasongko, Ahmad Junaidi, Erik Setiawan, Sutaji, Suroso, Arif Ariyanto, hingga yang terkini adalah Riky Kayame, yang musim lalu memperkuat Persebaya dan kini berkostum Arema.
Kehebohan Aji Santoso
Dari sederet nama tersebut, Aji Santoso adalah yang paling fenomenal. Aji adalah pemain asal Kepanjen, Malang yang memperkuat Arema pada tahun 1987-1995. Ia ikut mengantar Arema menjadi juara kompetisi Galatama pada 1993. Saat masih bersama Arema, Aji juga memperkuat Timnas Indonesia yang meraih medali emas di SEA Games Manila 1991. Prestasi yang hingga kini belum bisa diulangi oleh Timnas Indonesia.
Saat berusia 25 tahun, usia emas pesepak bola, Aji membuat keputusan yang menghebohkan. Ia pindah ke Persebaya yang merupakan rival bebuyutan Arema. “Saya tak butuh waktu lama buat berpikir sebelum memutuskan pindah. Sebagai pemain profesional, pemain pindah klub itu hal yang wajar,” kata Aji yang kini melatih Persela.
Keputusan itu tentu memantik protes Aremania, suporter Arema. Maklum, Aji merupakan pemain idola. Mana ada suporter yang rela pemain idolanya pindah, apalagi ke klub rival utama.
“Tak lama setelah saya memutuskan pindah, saya menikah. Suporter Aremania melakukan demo di gedung tempat saya melakukan resepsi pernikahan. Setelah itu saya juga menerima banyak teror. Tapi saya anggap itu sebagai bentuk kecintaan Aremania ke saya,” lanjut Aji.
Aji mengaku tak pernah menyesali keputusan itu. Bersama Persebaya, ia merajut karier dan meraih prestasi. Ia menjadi kapten tim dan mengantar Persebaya menjadi juara kompetisi Liga Indonesia 1997.
“Keputusan saya pindah dari Arema ke Persebaya terbukti tepat. Saya meraih prestasi bersama Persebaya. Selain itu, uang transfer yang dikeluarkan Persebaya bisa untuk menggaji pemain Arema selama beberapa bulan. Ketika itu Arema sedang butuh uang untuk operasional,” kata Aji, yang kini menjadi pelatih Persela Lamongan.
Masuk akal. Saat menggaet Aji, Persebaya mengeluarkan uang Rp 50 juta. Jumlah yang saat itu bernilai besar karena gaji bulanan pemain masih berkisar di angka Rp 250-300 ribu.
Insiden Nurkiman
Persaingan keras dan gesekan di dalam lapangan ketika Persebaya berlaga lawan Arema tentu kerap terjadi. Boleh kalah dari tim lain, asal jangan dari Arema. Begitu yang ada di pikiran pemain Persebaya jika bertanding lawan Arema. Begitu juga sebaliknya.
“Persebaya dan Arema sama-sama ingin membuktikan diri sebagai tim terbaik di Jawa Timur. Selalu seperti itu yang saya rasakan. Beberapa hari sebelum pertandingan derby Jatim, semua pemain sudah sangat fokus. Rasanya pasti tak sabar ingin segera bertanding. Pertandingan selalu ketat dan keras. Tensi tinggi. Tapi setelah bertanding ya sudah, kami kembali berteman di luar lapangan,” kenang Aji.
Persaingan tersebut tentu dihiasi sejumlah insiden. Pihak yang terlibat tentu suporter Bonek pendukung Persebaya kontra Aremania suporter Arema. Pemain pun pasti tak luput dari teror yang dilakukan suporter masing-masing kubu saat bermain tandang. Meski bukan saat menghadapi Arema, insiden yang dialami Nurkiman menjadi salah satu cerita memilukan yang pernah terjadi dari persaingan suporter Surabaya dan Malang.
Pada lanjutan Liga 1995-1996, rombongan Persebaya dalam perjalanan pulang usai dijamu Persema di Stadion Gajayana, Malang. Bus yang ditumpangi pemain Persebaya tiba-tiba dilempari batu oleh suporter tuan rumah.
Nahas bagi Nurkiman. Lontaran batu dari ketapel yang dipakai suporter memecahkan kaca bus dan pecahannya melukai mata kiri Nurkiman. Peristiwa itu akhirnya membuat Nurkiman kehilangan penglihatan buat selamanya dan ia harus pensiun dini sebagai pemain.
Hingga kini, banyak dugaan dan analisis yang mencoba menelusuri akar persaingan Persebaya-Arema dan sudah barang tentu suporter Bonek-Aremania. Namun tak ada yang bisa menetapkan satu cerita tunggal yang menjadi awal muasal persaingan tersebut terjadi.
Akar Persaingan Dua Kota
Jika dilihat dari ciri-cirinya, Surabaya adalah kota pelabuhan dan industri, yang keras dan penuh persaingan. Hal itu yang membuat karakter orang Surabaya cenderung keras, berani, dan terbuka tanpa tedeng aling-aling. Sementara Malang yang terletak di kawasan pegunungan yang sejuk adalah kota wisata dan lebih nyeni. Seperti seniman, Kera Ngalam umumnya punya rasa kreativitas yang tinggi.
Surabaya berstatus sebagai ibukota provinsi Jawa Timur. Tapi Malang, yang letaknya hanya berjarak sekitar 100 km tentu tak mau kalah bersinar dalam hal apapun. Termasuk dalam sepak bola.
Persaingan dua kota tersebut akhirnya merembet dan merasuk ke sepak bola dan tentu suporter. Kebetulan, pada beberapa momen di masa lalu, Persebaya memiliki keuntungan finansial. Hal itu membuat tim berjuluk Bajul Ijo kerap diperkuat pemain berlabel bintang yang sudah pasti harga dan gajinya mahal.
Sementara di kubu Arema, persoalan finansial kerap menghadang. Tak jarang gaji pemain Arema tersendat, tapi mereka tetap tampil di lapangan bermodalkan militansi, fanatisme, dan semangat juang tinggi.
“Saya pernah mengalami masa ketika Arema diperkuat jumlah pemain yang pas-pasan. Kalau ada yang cedera atau terkena akumulasi kartu tentu sangat terasa. Saya akhirnya menjadi pemain serba bisa. Harus bisa main di banyak posisi. Pada masa itu cuma posisi kiper saja yang belum pernah saya jalani. Dengan kondisi seperti itu Arema tetap bisa bertahan. Itulah bukti kalau pemain berkostum Arema semangatnya bisa berlipat-lipat, meski gaji kadang tersendat,” kenang Aji, yang akhirnya dikenal sebagai bek sayap kiri terbaik yang pernah dipunyai Indonesia.
Perbedaan seperti itu yang membuat persaingan makin runcing. Ibaratnya, Persebaya adalah tim yang elit dan tercukupi, sementara Arema sebaliknya.
Persaingan tersebut sempat hilang kala Persebaya terdegradasi ke kasta kedua karena skenario kotor pada musim 2010. Setelah itu Persebaya malah terpecah. Persebaya yang dianggap asli bahkan menyeberang ke kompetisi LPI saat dualisme PSSI terjadi. Sementara Arema, meski juga terpecah, yang dianggap asli tetap ada di kompetisi Liga Indonesia.
Kala Persebaya akhirnya kembali diakui PSSI dan masuk ke Liga 2 pada 2017, kemudian lolos ke Liga 1 pada 2018, duel lama lawan Arema kembali tersaji. Musim lalu, kedua tim saling mengalahkan dengan skor identik 1-0 kala bertindak sebagai tuan rumah.
Panggung Bergengsi
Jelang kompetisi Liga 1 2019, duel itu kembali terjadi. Kali ini panggungnya adalah babak final turnamen Piala Presiden 2019. Kedua tim sebelumnya tak pernah bertemu dalam laga final dengan balutan gengsi seperti sekarang.
Meski berlabel turnamen pramusim, gengsi dan hadiah Piala Presiden memang top. Hadiah buat tim juara sebesar Rp 3,3 miliar membuat hampir semua tim bermain habis-habisan. Final turnamen kali ini menjadi berbeda karena memakai format kandang tandang.
Persebaya mendapat jatah kandang terlebih dahulu di Stadion Gelora Bung Tomo, Selasa (9/4/2019). Tuan rumah gagal memanfaatkan keuntungan tersebut. Tim Bajul Ijo sempat unggul dua kali lewat gol Irfan Jaya dan penalti Damian Lizio, namun tim Singo Edan menyamakan skor lewat Hendro Siswanto dan Makan Konate.
Kesalahan di lini pertahanan dan blunder kiper Miswar Saputra membuat Persebaya harus puas dengan hasil seri 2-2. Arema berada di atas angin karena mendapatkan jatah leg kedua di kandang, Stadion Kanjuruhan, Jumat (12/4/2019).
Puluhan ribu suporter Aremania tentu siap berpesta. Arema cukup meraih hasil seri 0-0 atau 1-1 untuk memastikan gelar juara. Namun kubu Persebaya yakin peluangnya belum habis. Apalagi jika mengingat Arema sempat kalah 0-1 dari Persela saat bermain pada fase grup di Kanjuruhan.
“Memainkan Derby Jatim di kandang Arema sudah pasti berat buat kami. Tapi bukan berarti kami tak punya kesempatan buat menang. Semua elemen tim meyakini hal itu,” kata Chandra Wahyudi, manajer tim Persebaya.
“Menang kalah, juara atau tidak, itu hal yang biasa dalam sepak bola. Harapan saya, pertandingan berjalan lancar dan tak ada keributan di dalam serta luar lapangan. Bagaimanapun kedua tim ini aset buat Indonesia,” harap Aji Santoso, sang legenda hidup Persebaya dan Arema.
Jumat malam di Stadion Kanjuruhan, apapun hasilnya, sejarah akan tercipta di pagelaran Piala Presiden 2019. Apakah Arema yang menorehkan sejarah dengan menjadi tim pertama yang menjuarai Piala Presiden sebanyak dua kali, atau Persebaya yang untuk kali pertama menjadi juara sekaligus menjadi juara baru? Menarik buat ditonton.
.