Bola.com, Jakarta - Menyedihkan melihat pencapaian Persipura Jayapura di Liga 1 dua musim terakhir. Tim Mutiara Hitam terseok-seok seperti kehilangan taji sebagai tim elite.
Di pentas Liga 1 2018, Persipura tak ikut cawe-cawe di persaingan juara. Boaz Solossa dkk. menutup musim dengan berada di posisi 12 klasemen.
Musim ini kondisi lebih parah lagi. Menjalani enam laga, Persipura tersudut di posisi kedua terbawah 17 klasemen sementara Shopee Liga 1 2019.
Persipura belum pernah menang di enam pertandingan. Mereka hanya meraih tiga hasil imbang.
Terakhir, Tim Bumi Cendrawasih dihajar Arema FC 1-3 di Stadion Gajayana, Malang, Kamis (4/7/2019). Sebelum pertandingan tersebut, pelatih kepala Persipura, Luciano Leandro, dipaksa lengser dari tim.
Kesabaran manajemen Persipura ke pelatih asal Brasil itu habis. Mereka kecewa berat saat Persipura hanya bisa bermain imbang 1-1 melawan klub promosi Semen Padang di Stadion Mandala, Jayapura.
"Keputusan ini dibuat atas kesadaran bersama dengan Luciano. Terimakasih atas kontribusinya selama ini, semoga Luciano sukses dengan karier ke depannya," ucap Tommy Mano, Presiden Persipura berdiplomasi.
Apa yang terjadi di Persipura amat mengenaskan. Pada musim 2016, mereka jadi jawara Torabika Soccer Championship (kompetisi kasta tertinggi yang diselenggarakan saat PSSI diban FIFA).
Persipura tercatat sebagai tim pengoleksi gelar terbanyak di era kompetisi Liga Indonesia (penggabungan Perserikatan dan Galatama), yakni pada musim: 2005, 2008-2009, 2010-2011, 2013. Ian Kabes dkk. juga tercatat empat kali menjadi runner-up kasta elite pada musim 2009-2010, 2012, 2014.
Ada apa dengan Persipura? Bola.com mencoba mengurai persoalan yang mendera Tim Mutiara Hitam, setidaknya dua musim terakhir sehingga mereka tampak oleng. Simak detailnya di bawah ini:
Gagal Regenerasi
Sukses Persipura di percaturan elite sepak bola Tanah Air tak lepas dari kontribusi generasi emas Papua usai menjadi juara PON 2004.
Tim Mutiara Hitam kebanjiran pemain-pemain bertalenta yang secara signifikan mengerek performa dan prestasi tim. Boaz Solossa, Ian Kabes, Immanuel Wanggai, Christian Worabay, Ricardo Salampessy, Gerald Pangkali, adalah pemain belia alumnus PON 2004.
Khusus Boaz, ia melejit jadi superstar. Ia menjelma jadi penyerang terbaik Indonesia pasca era Bambang Pamungkas.
Ia satu-satunya bomber lokal yang bisa eksis di persaingan perburuan sepatu emas yang selalu didominasi penyerang-penyerang asing.
Boaz tercatat menjadi pencetak gol terbanyak Indonesia Super League musim 2008-2009 (28 gol), 2010-2011 (22 gol), 2013 (25 gol). Berbarengan dengan itu ia juga didapuk sebagai pemain terbaik.
Pada musim 2016 ia juga jadi best player Torabica Soccer Championship.
Realitanya, pemain-pemain yang masuk generasi emas sudah mulai dimakan umur. Boaz kini sudah masuk usia 33 tahun (kelahiran 16 Maret 1986). Demikian pula Wanggai dan Kabes. Ricardo malah usianya lebih uzur lagi, 35 tahun.
Persipura masih mengandalkan tenaga mereka, yang masuk periode pengujung karier.
Manajemen Persipura bisa dibilang gagal melakukan regenerasi tim. Agak ironis karena Papua dikenal sebagai provinsi yang produktif mencetak pemain-pemain bertalenta.
Persoalannya mereka tak pernah dapat porsi besar menjadi tulang punggung Tim Mutiara Hitam. Di sisi lain, pemain-pemain senior mereka satu per satu mulai kehilangan taji.
Ambil contoh Immanuel Wanggai, yang tiga musim terakhir lebih sering absen karena cedera lutut kambuhan. Padahal pada masa jayanya, ia termasuk gelandang jangkar terbaik yang dimiliki Indonesia.
Dua musim terakhir manajemen Persipura memberikan porsi besar pada darah muda. Sayangnya, mereka terlihat gagap menghadapi persaingan keras kompetisi. Butuh waktu bagi mereka untuk menjadi matang.
Terlalu Sering Ganti Pelatih
Manajemen Persipura dikenal kejam pada seorang pelatih. Ekspektasi mereka amat tinggi. Mulai dari prestasi hingga style bermain. Saat tak terpuaskan mereka tak segan-segan mendepak seorang pelatih.
Praktis hanya seorang Jacksen F. Tiago, yang bisa berkarier panjang di Persipura. Nakhoda asal Brasil itu sukses mempersembahkan tiga gelar juara pada musim 2005, 2008-2009, 2010-2011, 2013. Sang mentor menepi dari tim karena terlibat percekcokan dengan petinggi klub.
Apesnya, selepas Jacksen jarang ada pelatih berkarier panjang. Sejak musim 2014 Persipura ditukangi delapan pelatih!
Oswaldo Lessa, Jafri Sastra, Angel Alfredo Vera, Liestiadi, Wanderley Machoda da Silva, Peter James Butler, Amilton Silva de Oliviera, dan Luciano Leandro deretan arsitek yang berkarier pendek di Persipura.
Rata-rata mereka terpental karena prestasi. Namun, ada juga yang terpinggirkan sekalipun berprestasi, yakni Angel Alfredo Vera usai mempersembahkan gelar juara musim 2016.
"Persipura tim besar, manajemen ingin tim selalu berprestasi. Tak mudah melatih di sana karena tekanannya besar," ujar Peter Butler dalam sebuah kesempatan saat bercerita pengalamannya menukangi Persipura.
Ada anggapan bahwa untuk bisa berkarier panjang di Persipura, seorang pelatih harus bisa nyetel dengan pemainnya, bukan sebaliknya pelatih yang mengendalikan pelatih. Kondisi ini agak unik dan berimbas buruk bagi tim.
Gagal Memagari Pemain Potensial
Persipura sejatinya tidak kering pemain-pemain berkualitas. Di luar pemain-pemain jebolan PON 2004, Tim Mutiara Hitam punya stok pemain bagus didikan akademi atau hasil merekrut dari klub lain.
Marinus Wanewar (penyerang), Ferinando Pahabol (winger), Osvaldo Haay (winger), Ruben Sanadi (bek sayap), adalah deretan pilar kunci saat Persipura memenangi gelar liga 2016 lalu. Tiga nama pertama disebut disebut calon penerus generasi emas PON 2004.
Sayangnya, mereka tak lama bertahan di tim. Krisis keuangan yang dialami Persipura pasca mundurnya Freeport sebagai sponsor utama membuat bintang-bintang tim pergi mencari peruntungan di tim lain.
Alhasil, Persipura harus membangun ulang kekuatan tim. Hal yang tak mudah tentunya, karena pemain-pemain belia yang ada di tim belum siap memikul beban berat.
Di sisi lain, silih berganti Persipura juga kehilangan pemain-pemain asing motor permainan. Bio Pauline, Alberto Goncalves (belakangan jadi WNI), Robertino Pugliara, Otavio Dutra, Zah Rahan, merupakan deretan legiun asing keren yang dibajak klub pesaing. Kepergian mereka tak ditambal pemain dengan kualitas sepadan.
Terlalu Bergantung pada Boaz Solossa
Selama 15 tahun Persipura amat bergantung pada sosok Boaz Solossa. Hal yang wajar karena sang penyerang sosok pemain dengan karakter kuat yang menginspirasi tim.
Boaz secara alamiah dilahirkan sebagai pesepak bola bermental juara dan sosok pemimpin buat Persipura. Tiga kali dihantam cedera berat, ia selalu bisa bangkit dan jadi sosok kunci Persipura memenangi gelar juara.
Tapi dunia berputar. Boaz kini memasuki masa sejakala karier. Ia mulai kehilangan kecepatan dan taji mencetak gol. Belakangan pun pemain yang identik dengan nomor punggung 86 itu mulai sering diganggu cedera.
Saat Boaz performanya menurun, Persipura tidak punya figur pengganti sepadan. Titus Bonai, striker senior yang ada di tim terbukti tidak bisa memikul beban sebagai tukang gedor utama Tim Mutiara Hitam.
Demikian pula Marinus Wanewar, bomber muda yang didatangkan dari Bhayangkara FC.
Tak hanya urusan produktivitas saja jadi persoalan, tapi juga figur kepemimpinan. Selain Boaz, tak ada lagi pemain dengan mentalitas pemimpin yang kuat. Ricardo Salampessy dan Ian Kabes, pemain senior seangkatan Boaz bukan sosok motivator ulung.
Yang menjadi pertanyaan akan seperti apa jika Boaz Solossa pensiun dari tim, siapa yang akan melanjutkan tongkat estafet sebagai ikon tim?
Baca Juga