Bola.com, Jakarta - Menyaksikan Timnas Indonesia di bawah pelatih Simon McMenemy berlaga di dua pertandingan awal putaran kedua kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia, ada hal yang menurut saya perlu dilakukan, yakni sebaiknya Simon melakukan uji VO2 Max seluruh pemain yang dia dipanggil.
Dari sana keliatan, siapa yang VO2Max di atas rata-rata dan siapa yang di bawah rata-rata. Setahu saya, ada dua pemain Timnas Indonesia yang di atas rata-rata, yakni Evan Dimas dan Andik Vermansah, karena keduanya bisa bermain dengan konsentrasi penuh sepanjang 90 menit, baik saat melawan Malaysia (5/9/2019) maupun Thailand (10/9/2019).
Soal skill atau kemampuan, menurut saya tidak ada masalah. Masalahnya ada di kesiapan fisik tadi yang tercermin dari data VO2Max masing-masing pemain.
Sepak bola adalah cabang olahraga yang membutuhkan stamina sangat tinggi, apalagi dengan permainan yang membutuhkan waktu panjang (2X45 menit) waktu normal.
VO2Max adalah kemampuan paru maksimal untuk menghirup O2 (oksigen) di dalam tubuh sehingga di saat bermain yang membutuhkan stamina yang tinggi serta lama (daya tahan), maka dibutuhkan O2 (oksigen) yang banyak untuk kebutuhan otot dan otak dalam bermain.
Apabila kebutuhan O2 (oksigen) tidak cukup, otot pun tidak mampu bergerak maksimal terhadap kecepatan dan power menendang bola. Sementara otak tidak akan mampu berpikir dan mengambil keputusan tepat. Ujungnya, pemain tidak akan bisa konsentrasi karena kekurangan asupan O2 (oksigen).
Itulah yg terjadi bila VO2MAX pemain bola kita yang rata-rata di bawah standar kebutuhan pemain bola.
Pelatih Fisik di Level Usia Dini
Kita bisa melihat saat menghadapi Malaysia. Proses terjadinya gol ke kedua Malaysia, tampak jelas Stefano Lilipaly sudah tak kuasa membuang bola jauh ke depan, di saat yang sama Alberto Goncalves juga sudah berat, atau tak mampu menutup ruang pemain Malaysia. Demikian juga gola ketiga.
Dalam dua pertandingan melawan Malaysia dan Thailand, yang masing-masing berakhir dengan skor 2-3 dan 0-3 ini, Timnas Indonesia hanya bisa bermain baik dalam 45 menit pertama.
Sampai menit ke 60, menurut saya tidak ada masalah. Tapi, setelah itu, timnas bermasalah karena kekuatan fisik menurun jauh, yang berpengaruh pada konsentrasi pemain.
Memperbaiki fisik pemain tidak bisa dilakukan seketika, apalagi saat pemain dipanggil ke timnas, tapi harus dilakukan sejak usia dini. Pertanyaanya, apakah semua klub di level usia dini punya pelatih fisik? Apakah semua klub di liga 1, 2 dan 3 punya pelatih fisik dan atau program peningkatan fisik pemain?
Sedari awal saya menganggap naturalisasi bukan solusi, juga bukan jalan pintas yang tepat untuk meningkatkan kinerja timnas untuk menjadi sebuah tim yang kompetitif.
Pembinaan Berjenjang dan Berkualitas
Jadi ini bukan salah Simon McMenemi sebagai pelatih timnas semata. Tapii, semata-mata bahan bakunya memang sampai di sana bisanya. Tidak bisa dinaikkan lagi. Mau pakai taktik apa pun dan briefing seperti apa, kalau fisik sudah tak kuat, ya mubazir.
PSSI harus memikirkan soal pembinaan yang berjenjang dan berkualitas. PSSI harus melibatkan ahli-ahli sport science untuk menyusun program dan pemassalannya.
PSSI jangan berpikir ramainya kompetisi saja. Bahwa kompetisi perlu itu betul, tapi kalau output kompetisi seperti sekarang, ya rugi juga. Uang yang keluar buat kompetisi ini ratusan miliar dalam satu musim kompetisi. Tapi, hasilnya kan tidak ada bila dilihat timnas yang tidak kompetitif. Ya buat apa?
Terkait kompetisi, PSSI perlu mengambil kebijakan cukup tiga pemain asing, dua bermain dan satu cadangan. Sekarang dengan kebijakan seperti saat ini, lihat saja daftar top scorer, tak ada pemain lokal! Ini tidak baik bagi pembinaan dan timnas itu sendiri.
*Lalu Mara Satriawangsa, pemerhati sepak bola yang juga pembina Arema FC