Ditulis oleh: Amal Ganesha, Irman Jayawardhana, dan Rizka Safitri
Menarik, jika melihat jejak-jejak pos menpora di Indonesia, di mana sering berasal dari representasi partai politik, dan hampir selalu fokus kerjanya medali, medali, dan prestasi. Padahal, kebijakan olah raga tidak selalu soal medali, mengapa begitu?
Kami sangat berharap, menpora yang baru paham apa itu kebijakan olah raga, sebuah subjek yang unik dan baru di Indonesia. Seorang menpora harus mengerti bahwa ia bertanggung jawab terhadap penggunaan uang rakyat (APBN) di olah raga.
Ia juga harus bisa memberikan penjelasan mengapa pos anggaran selama ini lebih banyak ke prestasi olah raga, dibanding olah raga masyarakat, misalnya. Ia juga harus paham betul 'evidence-based policy' di olah raga. Ia juga semestinya paham apa itu industri olah raga profesional dan apa itu tata kelola olah raga.
Jabatan menteri itu bukan sembarang jabatan. Sebuah pos yang sangat elite, sangat terhormat, dan harus diemban dengan penuh tanggung jawab. Maklum, tidak semua negara di dunia punya 'political privilege' di olah raga.
Negara seperti Amerika Serikat yang sering jadi jawara di pentas Olimpiade ternyata tidak punya kementerian yang khusus mengurus olah raga, tidak juga punya badan pemerintah yang mengurus olah raga secara utuh. Untuk pemerintah Australia dan Belanda, olah raga hanyalah portfolio minor di kementerian kesehatan mereka.
Gambaran Kondisi
Tapi mengapa, negara seperti Amerika Serikat bisa punya prestasi olah raga yang maksimal dan punya industri olah raga terbesar di dunia dengan sedikit bantuan pemerintah? Ini yang harus kita renungkan, betapa beruntungnya Indonesia punya kementerian yang membidangi olah raga.
Bukankah harusnya, dengan perpanjangan tangan pemerintah melalui kementerian dengan 'mention khusus' olah raga, Indonesia punya pencapaian olah raga yang melebihi Australia, Belanda, dan Amerika Serikat?
Tapi mungkin Sahabat Bola.com dengan mudah bisa menjawab; ‘Itukan di Amerika, ini Indonesia, Bung!’ atau ‘Jangan samakan Indonesia dengan negara barat!’. Pada sisi lain, sambil diam-diam, selama berpuluh-puluh tahun kita sudah sering meniru mereka, dalam banyak hal.
Pencapaian medali Indonesia di Olimpiade tidak mentereng, pun dengan tingkat partisipasi olah raga masyarakat Indonesia yang kalah terus dengan negara tetangga. Industri olah raga profesional juga stagnan, justru malah impor hak siar liga sepak bola asing yang makin pesat.
Pada jendela yang lain, liga profesional sepak bola, sebagai olah raga paling populer di Indonesia, cenderung tidak profesional karena terlilit banyak kasus. Seperti kita ketahui dan juga beredar di media, dunia sepak bola Indonesia tercoreng karena kerusuhan, kematian suporter, pemain telat dibayar, sampai kasus pengaturan skor yang mencuat beberapa bulan lalu.
Tanggung Jawab
Kementerian yang membidangi olah raga punya tanggung jawab paling besar dalam masalah-masalah di atas, kenapa? Karena kementerian olah raga adalah perpanjangan tangan politik di olah raga. Rakyat memilih langsung presiden dan anggota parlemen, lalu presiden menunjuk menteri yang nantinya di awasi oleh parlemen. Jadi, seorang menteri punya tanggung jawab besar kepada publik.
Apakah kerusuhan di liga profesional sepak bola bukan kepentingan publik?Apakah rendahnya partisipasi masyarakat berolahraga bukan isu publik?Apakah kurangnya fasilitas olah raga publik bukan tanggung jawab menteri olah raga?
Mungkin banyak yang tidak tahu, sepak bola profesional di Inggris, sebagai industri sepak bola paling pesat di dunia, sudah berkali-kali diintervensi pemerintah Inggris, baik melalui parlemen maupun kementerian yang mengurus olah raga. Mungkin juga, banyak yang tidak tahu, bahwa kementerian olah raga Spanyol sering bersitegang dengan federasi sepak bolanya.
Kami berharap, Menpora yang baru benar-benar berperan menjadi menteri yang banyak melakukan manuver untuk membereskan sistem olah raga nasional, bukan cuma sekadar memberikan pernyataan normatif di media. Kami ingin mendengar Menpora banyak bicara tentang olah raga masyarakat, bukan hanya medali, medali, dan jadi tuan rumah event olahraga.
Sekadar berbagi, tahukah bahwa hanya segelintir negara yang berhasil memanfaatkan event olah raga sebagai pendongkrak ekonomi. Menurut para peneliti, menghelat sebuah 'mega sport event' menjadi satu di antra objektif dalam melakukan 'city branding' dan diharapkan memberikan dampak ekonomi.
Belajar dari Konferensi
Satu di antara kami sebagai penulis, baru saja menghadiri konferensi internasional olah raga di Amerika Serikat, yang dihadiri oleh pakar, praktisi dan pelaku olah raga di dunia. Satu isu yang muncul adalah tentang dampak menjadi tuan rumah penyelenggaraan yang sering tidak signifikan, alias banyak ruginya daripada untungnya.
Dalam konferensi bergengsi tersebut juga dibahas betapa seringnya pemerintah gagal mempertanggungjawabkan kebijakan olah raga yang diambil. Pada medio abad ke-20, banyak negara terbawa arus untuk menghamburkan uang demi prestasi / medali dan lebih mengabaikan hak-hak publik berolahraga. Fenomena tersebut sering disebut ‘the global sporting arms race.’
Saat ini, tren kebijakan olah raga sudah berubah. Saatnya bijak dalam menggunakan uang rakyat, dan mulai memikirkan olah raga masyarakat. Medali emas penting, tapi hak publik berolahraga juga penting, bahkan harusnya lebih penting olah raga masyarakat di mata Menpora.
Berdasar kalkulasi Ganesport Institute, di Olimpiade 2016, Indonesia menganggarkan Rp 1,1 triliun untuk satu medali, jauh lebih mahal dibanding Inggris yang hanya mengeluarkan Rp134 miliar per medali. Bahkan, menurut hitung-hitungan BBC, Inggris hanya keluar sekitar Rp60 miliar saja per medali.
Ini belum diukur lebih riil lagi dengan ukuran produk domestik bruto menurut disparitas daya beli, yang mengimplikasikan bahwa Inggris lebih efisien lagi dalam belanja medali di Olimpiade. Apakah Rp 1.1 triliun untuk satu buah medali merupakan angka yang bijak di tengah fakta bahwa Indonesia masih negara berkembang dengan pendapatan per kapita 4 ribu dolar AS?
Seringkali kita lihat apresiasi kepada atlet yang mendapatkan medali di kejuaraan bergengs imelalui bonus. Namun pada kenyataannya perkembangan karier seorang atlet tidaklah linear. Adakalanya atlet tersebut menurun prestasinya, dan sudah pasti ketika prestasi menurun, bonus atlet juga berkurang. Ketidakpastian finansial ini dapat mengganggu kestabilan hidup atlet.
Harapan Khusus
Oleh karena itu, kami juga berharap pemerintah tidak melulu mensejahterakan atlet berprestasi dari segi materi, namun perlu juga meningkatkan kapasitas intelektual dan skill non-atlet. Ibarat mensejahterakan nelayan, bukan diberikan ikan bila lapar, namun berikan tali pancing dan kail untuk hidup dan berkembang.
Menambah program beasiswa untuk atlet sehingga mereka wajib bersekolah menjadi penting. Mengembangkan program beasiswa tidak hanya jenjang perguruan tinggi, namun juga tingkat sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama.
Selain itu program magang bagi atlet di perusahaan BUMN atau perusahaan multinasional dapat menjadi salah satu program dari Kemenpora sebagai persiapan atlet pensiun. Sehingga, ketika pada saatnya atlet memilih untuk berhenti menjadi atlet, mereka pernah merasakan bagaimana dunia kerja perkantoran.
Kami juga berharap seorang menteri olah raga mulai mewajarkan diskusi mengenai kesehatan mental atlet. Walaupun arti dari kalimat 'men sana in corporesano' adalah di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat, bukan berarti seorang atlet tidak dapat mengalami gangguan mental.
Penelitian menunjukan, atlet rentan mengalami gangguan mental, dari gangguan yang ringan seperti stress dan kecemasan sebelum bertanding, sampai gangguan mental yang berat seperti depresi. Sebagai penutup, kami harap Menpora yang baru sering merenung, dan bertanya-tanya terus, seperti di awal yang kami katakan; Betapa beruntungnya Indonesia punya kementerian yang secara khusus mengurus olah raga.
*Amal Ganesha, Irman Jayawardhana, dan Rizka Safitri adalah akademisi dari Ganesport Institute, wadah pemikir manajemen dan kebijakan olah raga pertama di Indonesia.