Bola.com, Jakarta - Pengamat olahraga, Fritzs Simandjuntak, meminta manajemen Persis Solo lebih transparan dalam mengelola klub. Hal itu dilakukan agar klub kebangaan masyarakat Surakarta itu bisa meraih kesuksesan di kompetisi tertinggi Indonesia.
Persis Solo kembali harus menunggu kesempatan untuk bisa tampil di Liga 1. Hal itu terjadi setelah klub asuhan Salahudin itu gagal melaju ke babak 9 besar Liga 2 2019.
Persis finis di peringkat kelima klasemen akhir Grup Timur dengan raihan poin 30. Fritzs Simandjuntak menyebut, satu di antara penyebab Persis belum berkembang karena pengelolaan klub yang belum profesional dan transparan.
Selain itu, kepemilikan saham yang masih menjadi polemik diyakini juga sebagai alasan keterpurukan Persis.
"Di era terbuka seperti sekarang ini, di mana informasi bisa diakses siapa saja serta indikator keberhasilan dalam pengelolaan klub sepak bola bisa diukur dari berbagai faktor, seperti prestasi, kualitas pemain atau pelatih yang dikontrak, serta track record pemilik atau manajemen klub, maka klub sepak bola harus transparasi dalam pengelolaannya," kata Fritzs dalam rilis yang diterima Bola.com, Senin (28/10/2019)
"Jika tidak, yang muncul adalah ketidakpercayaan, hilangnya dukungan, dan akhirnya, penolakan atau boikot terhadap klub tersebut," ujar Fritzs.
Persis merupakan satu di antara klub tertua di Indonesia, yang lahir pada 1923. Klub yang bermarkas di Stadion Manahan, Surakarta, itu sudah sejak 2015 berbadan hukum dengan nama PT Persis Solo Saestu (PT PSS).
Setelah itu, pada 2016 PT PSS juga telah menggandeng PT Syahdana Property Nusantara (PT SPN) yang dimiliki Sigid Haryo Wibisono sebagai investor.
Namun, kenyataannya, Persis Solo sebagai klub berlabel juara Era Perserikatan sebanyak tujuh kali itu belum juga bangkit dari keterpurukan prestasi.
Lebih Transparan
Masalah yang saat ini dialami Persis Solo bermula dari penjualan 70 persen saham dari total 90 persen saham yang dimiliki Sigid Haryo Wibisono di PT PSS kepada Vijaya Fitriasa. Namun, penjualan saham itu dilakukan tanpa melalui mekanisme RUPS.
Hal itu berarti akuisisi tersebut dinilai tidak sah dan secara cacat hukum. Penyebabnya, karena dilakukan tanpa melibatkan Her Suprabu, sebagai perwakilan dari masyarakat Solo dan 26 klub internal Persis yang memiliki saham di situ.
Suporter dan Wali Kota Surakarta selaku pemangku wilayah dan pengelola Stadion Manahan, Solo, sampai saat ini masih menanti Vijaya dan Sigit Haryo Wibisono, pemilik saham terbesar kedua Persis juga untuk menjelaskan secara terbuka terkait polemik di klubnya.
Selain itu mereka juga dituntut supaya polemik perihal akuisisi saham segera diakhiri dengan membicarakan hal ini di RUPS.
"Saya menyarankan agar manajemen Persis lebih terbuka dan transparan dalam menjelaskan apa yang terjadi dan rencana jangka panjang klub tersebut. Termasuk soal akuisisi yang menjadi problem tersebut. Transparansi harus diambil klub tersebut karena hal itu bisa pula mengundang investor-investor lain yang memang ingin serius membangun Persis," tutur Fritz.