Bola.com, Jakarta Seusai Liverpool tertahan 1-1 oleh Napoli di Anfield pekan ini, seorang wartawan asal Italia bertanya kepada Jurgen Klopp tentang siapa yang kemungkinan bakal menang bila ia bertinju dengan bos Napoli, Carlo Ancelotti. Pelatih The Reds itu pun dengan entengnya menjawab, “Entahlah, saya lebih muda beberapa tahun dibanding Carlo dan mungkin karenanya saya bisa menang. Tapi tak ada yang tahu dengan pasti, ha ha ha..”
Well, perolehan satu angka di pengujung fase grup Liga Champions ini memang menempatkan Klopp cs. dalam situasi yang belum aman karena untuk memastikan lolos akhirnya mereka harus beroleh kemenangan di kandang Salzburg. Jadi, ternyata seperti biasa Klopp tidak menganggapnya sebagai akhir zaman dan ia pun masih bisa melontarkan guyonan di tengah tekanan yang luar biasa besar dengan statusnya sebagai juara bertahan di kancah Eropa.
Lelaki asal Jerman berusia 48 tahun itu praktis tidak pernah berubah dalam pengamatan penulis. Saya pertama kali mengenalnya ketika menatap layar televisi tayangan ZDF di Jerman pada 2005, tepat di tengah-tengah liputan piala konfederasi. Saat itu ia masih melatih Mainz yang menghuni papan tengah divisi 2 Jerman alias Bundesliga I.
Tak banyak uraiannya yang saya tangkap di televisi lantaran bahasa Jerman saya tidak terlalu bagus, tapi dari seorang kolega asal Indonesia di Koeln saya mendapatkan konfirmasi bahwa Klopp adalah seorang media darling baru. Energi positif dari lelaki berkaca mata tersebut memang sangat kontras dengan kebanyakan orang Jerman yang kaku dan formal. Klopp banyak tertawa dan membuat suasana menjadi sangat rileks.
Singkat cerita, kini hampir semua penggila bola di dunia mengenalnya sebagai pelatih bertangan dingin yang menorehkan banyak kesuksesan di Dortmund dan Liverpool dan akhirnya beroleh status sebagai pelatih terbaik versi FIFA 2019. Dari sekian banyak kisah yang melambungkan namanya, saya tidak pernah melupakan komentar Jose Mourinho soal Klopp setelah Liverpool musim lalu menyingkirkan Barcelona.
Spontan dalam Menularkan Pengaruh Positif
Mourinho menyebut bahwa penampilan Si Merah saat itu adalah mutlak sebuah cerminan mentalitas sang pelatih. “Bagaimana Liverpool bermain malam ini tidak hanya urusan teknis semata, tapi lebih condong karena kualitas visi dan empati Jurgen Klopp dapat diterjemahkan para pemain Liverpool di atas lapangan. Semua hal ini mutlak tentang Klopp dan Klopp seorang,” katanya seperti ditayangkan SNTV.
Mungkin Mourinho sedikit sentimentil karena ketika dirinya menjadi arsitek Real Madrid, dirinya pun pernah merasakan sentuhan magis Klopp. Ya, di 2012-2013 Madrid di bawah kendali Mourinho takluk di semifinal Liga Champions dari Dortmund yang ditangani pelatih kelahiran Blackforrest-Stuttgart tersebut. Tapi, Mourinho benar soal fakta bahwa Klopp memang piawai menularkan pengaruhnya pada sekitar.
Seperti ketika ia tampil sebagai debutan di televisi lokal Jerman dan menjadi media darling, ia pun kini menjadi fans darling dan sekaligus players darling. Apa rahasianya? “Tidak ada rahasia, dan tidak ada resep khusus untuk meramu sisi teknis, mental, dan strategi para pemain. Filosofi saya dalam kehidupan dan dalam sepak bola itu sama dan sederhana, nikmati tiap detik yang kita miliki dan bersikaplah spontan sesuai tuntutan keadaan,” jawab Klopp saat diwawancarai DW pada April silam.
Klopp juga mengaku cukup beruntung karena dipercaya menangani Dortmund dan Liverpool lantaran di kedua klub ini ia bisa fokus mengerjakan secara spesifik tugasnya sebagai manajer dibanding saat ia bekerja serabutan dan menangani segala hal di Mainz. Sebagai pemimpin di Liverpool, ia mengaku dikelilingi segudang talenta berbakat yang hanya butuh sedikit pengarahan saja untuk meraih keberhasilan kolektif.
Doyan Membicarakan Soal Kehidupan
Mereka disebutnya memiliki 80% potensi untuk menjadi pemain kelas dunia sedangkan Klopp hanya tinggal menambahkan 20% sisanya lewat pengetahuan teknis dan sebagian besar lewat pendekatan personal non-sepak-bola. “Memang kecil hanya 20% saja, tapi yang kecil itu menentukan apakah para pemain itu bakal berhasil atau tidak, baik sebagai individu atau sebagai bagian dari tim,” tegasnya dalam lanjutan sesi wawancara yang sama.
Sebagian besar waktu mengobrol dengan para pemain dihabiskan Klopp dengan membicarakan soal kehidupan ketimbang soal sepak bola. Ia pun mengaku beruntung karena semuanya berjalan natural tanpa dikondisikan sama sekali. Sama naturalnya dengan tawa dan seringai unik dirinya ketika pertama kali tampil di layar kaca bertahun-tahun lalu.
“Saya hanya sungguh beruntung memiliki bakat bawaan seperti ini karena bisa membuat saya memiliki banyak teman di kota Mainz, kota Dortmund, dan kota Liverpool, bahkan ketika nanti sudah berhenti melatih nanti dan kembali ke kota-kota itu,” tambahnya.
Pernyataan terakhirnya sungguh membuat penulis tersentuh. Banyak pelatih hebat yang saya kenal sangat piawai dalam ranah sepak bola tapi gagal dalam kehidupan sehari-hari. Jurgen Klopp memiliki kedua-duanya. Saya yakin ia akan tetap menikmati hidup meski mungkin kelak Salzburg mengganjal langkah Liverpool di Eropa sekalipun. Mari kita simak bersama.
*Penulis adalah wartawan, VP Operations dan Editor in Chief untuk Bola.com serta Bola.net, kolom ini berisi wawasan pribadi yang terlepas dari sikap kolektif insitusi.