Perjalanan Hakim Ziyech, Hadapi Hidup Keras hingga Berseragam Chelsea

oleh Marco Tampubolon diperbarui 15 Feb 2020, 10:45 WIB
Gelandang Ajax, Hakim Ziyech berebut bola dengan bek Real Madrid, Sergio Reguilon pada leg pertama 16 besar Liga Champions di Johan Cruijff ArenA, Rabu (13/2). Real Madrid harus bersusah payah menaklukkan Ajax dengan skor tipis 2-1. (JOHN THYS / AFP)

Jakarta - Jalur emas terbentang di hadapan Hakim Ziyech. Mulai musim panas nanti, pemain berdarah Belanda-Maroko tersebut akan merasakan panggung sepak bola paling megah di Eropa, yakni Premier League.

Kesempatan datang setelah Chelsea akhirnya mencapai kata sepakat dengan Ajax Amsterdam. Klub Eredivise itu akhirnya bersedia melepas Ziyech dengan mahar 40 juta euro (Rp 594 miliar). Bila performa Ziyech cukup meyakinkan, angka ini bisa berubah menjadi 44 juta euro (Rp 654 miliar). 

Advertisement

Berseragam Chelsea jadi lompatan tebesar dalam karier Ziyech yang dibangun dari nol. Buah dari kesabaran di saat orang-orang terdekatnya dipaksa menyerah oleh kerasnya hidup.

Seperti dilansir BBC, Ziyech merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara. Getirnya hidup telah dirasakannya sejak kecil saat ayahnya pergi pada usianya yang baru 10 tahun. Dengan penghasilan kelas menengah, ibunya harus pontang-panting membiayai keluarga besar mereka.

Di tengah kondisi seperti ini, sepak bola menjadi harapan Ziyech dan dua saudara lainnya. Mereka pun berlatih sepak bola dengan harapan bisa menjadi atlet profesional dan keluar dari kesusahan.

Namun tidak semudah yang dibayangkan. Kedua saudaranya memilih berhenti. Mereka putus asa. 

Sebaliknya Ziyech sekuat tenaga berusaha menjaga mimpinya tidak padam. Dia mengasah kemampuannya di jalan-jalan kota Dronten, Belanda. Kerja kerasnya tidak sia-sia.

Ziyech lolos ke akademi sepak bola lokal, Reeal and ASV. Bakatnya semakin berkembang dan mendapat kesempatan yang lebih besar bergabung dengan Heerenveen pada usia 14 tahun, 2007.

Ziyech tidak menyia-nyiakannya. Bakatnya terus berkembang dan mampu membius Abe Lenstra Stadium. Pada usia 19 tahun dia telah masuk tim utama yang bermain di liga Belanda, Eredivise. 

Dia kemudian pindah ke FC Twente pada 2014. Namun baru dua musim, Hakim Ziyech sudah pindah lagi. Krisis keuangan yang melanda FC Twente memaksa Ziyech pindah ke Ajax Amsterdam. 

 

 

   

 

 

Saksikan juga video menarik di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Bermental Baja

Liverpool santer disebut berada di baris terdepan untuk mendapatkan tanda tangan winger Ajax Amsterdam, Hakim Ziyech. (AFP/EMMANUEL DUNAND)

Pengamat sepak bola Belanda, Marcel van der Kraan, menganggap Ziyech sebagai sosok yang tangguh. Selain dari kehidupan, mental pemain berusia 26 tahun itu telah ditempa lewat perjalanan karier yang tidak mudah. "Dia sosok yang pantang menyerah," katanya dilansir BBC.

"Dia telah melalui banyak hal dalam kehidupan dan dan awal yang sulit bersama Ajax," bebernya. 

Menurut Marcel, legenda timnas Belanda, yang pernah menjadi pelatihnya di Heerenveen, Marco van Basten, pernah mengatakan masa depan Ziyech suram. Namun dia tidak memperdulikannya. 

Cobaan kembali mengadang langkah Ziyech saat FC Twente nyaris bangkrut. Sebagai kapten Ziyech setiap pekan selalu menghadiri  jumpa pers dan harus menjawab pertanyaan yang seharusnya ditujukan kepada manajemen. Di usia yang terbilang muda, Ziyech mampu melewati itu semua. 

"Dia menjawab lewat kakinya dan menangani semuanya dengan tenang. Itu yang menempa dia."

Tekanan yang dihadapi semakin besar manakala Ziyech pindah ke Ajax Asmterdam. Maklum saat tiba di Johan Cruyff Arena, suporter sedang resah karena Ajax sudah lima musim paceklik gelar. 

Kehadiran Ziyech tidak terlalu diterima. Puncaknya saat Ajax kalah 0-3 dari PSV Eindhoven pada April 2018 dan menjadikan tim rival sebagai juara Liga Belanda. Saat itu, suporter menghentikan bus Ajax yang hendak kembali ke Amsterdam. Mereka mengecam tim dan mengkritik Hakim Ziyech. 

Mereka bahkan meminta Ziyech berhenti membela Ajax. Namun sekali lagi, Ziyech tidak gentar.

Sebaliknya, musim lalu, dia mencetak 21 gol dan 24 assist. Dia juga berperan besar dalam mengantar Ajax merebut dua trofi domestik dan nyaris melaju ke final Liga Champions sebelum dihentikan Tottenham Hotspur.

Pada di babak penyisihan, Ziyech sempat mencetak gol ke gawang Chelsea saat ditahan imbang Ajax Amsterdam 4-4 di babak penyisihan grup Liga Champions, November tahun lalu. 

Sikap suporter Ajax pun berubah 180 derajat. Dari sebelumnya menghujat, kini berbalik memuja. Mereka semakin menyesal karena  menganggap nilai transfer Ziyech mencapai £100 juta. 

 

 

3 dari 3 halaman

Sosok yang Rendah Hati

Pemain Ajax, Hakim Ziyech (kiri) mencoba melewati pemain Lille, Domagoj Bradaric pada laga Grup H Liga Champions di Amsterdam, Belanda, Selasa (17/9/2019). Ajax memuncaki klasemen Grup H Liga Champions usai mengalahkan Lille 3-0. (AP Photo/Peter Dejong)

Bergabung dengan Chelsea semakin menambah jam terbang Ziyech di Eropa. Namun hal ini tidak membuat Ziyech besar kepala. Sebaliknya, pemain kelahiran 19 Maret 1993 itu tetap merendah. 

Menurut wartawan Maroko, Jalal Bounouar dia jauh dari kesan superstar di hadapan siapapun. Saat mengikuti pemusatan latihan bersama timnas Maroko, Ziyech tidak pernah membeda-bedakan pemain. Dia tetap menghormati dan bergaul dengan rekan-rekannya yang bermain di liga lokal Maroko. 

"Dia adalah sosok yang mudah bersosialisasi. Ketika dia mengikuti pemusatan latihan bersama timnas, Anda bisa melihat dia tertawa dan berbaur dengan pemain lainnya," kata Bounouar.

Ziyech sebenarnya sempat memperkuat timnas Belanda pada level U-19 dan U-20 tahun. Namun setelah itu, dia memutuskan untuk membela timnas Maroko di level senior. Ziyech bahkan ikut berperan besar membawa timnas Maroko lolos ke putaran final Piala Dunia Rusia 2020 lalu. 

Sebagian warga Maraoko sangat terkesan dengan pilihan Ziyech. Mereka menganggap Ziyech sosok yang nasionalis ketika memilih memperkuat timnas Maroko di level senior. 

Hanya saja Ziyech belum dianggap sebagai bintang di negaranya. Pamornya masih kalah dari pemain legendaris timnas Maroko seperti Mustapha Hadji dan Noureddine Naybet. 

"Suporter masih menunggu dia memimpin timnas meraih gelar. Orang-orang di sini masih melihat ke belakang saat Maroko memenangkan satu-satunya Piala Afrika pada 1976 lalu dan kami juga masih menyukai Mustapha Hadji dan Noureddine Naybet," kata Jalal Bounouar mengenai Ziyech. 

Seperti bakat sepak bolanya, kebaikan Ziyech juga alami. Saat karier salah seorang pemain asal Belanda, Leon de Kogel berakhir karena kecelakaan, Ziyech tidak ragu untuk membantu. Dia pernah menawarkan bantuan sejumlah uang untuk menopang keuangan pemain berusia 28 tahun itu. 

 

Sumber: BBC

Disadur dari: Liputan6.com (Marco Tampubolon/Edu Krisnadefa, published 15/2/2020)