Bola.com, Roma - Bek Lazio, Francesco Acerbi mengakui hidupnya berantakan pada awal kariernya. Ia mengatakan, "Saya sering datang ke latihan tim telat dan dalam kondisi nge-fly karena malam sebelumnya mabuk-mabukkan."
Dalam sebuah wawancara dengan L'Ultimo Uomo, Acerbi menceritakan perjalanan kariernya. Bek berusia 32 tahun itu tak canggung bercerita betapa gaya hidupnya semrawut dan melabeli dirinya 'tidak profesional'.
Acerbi menuturkan, keputusannya terjun di dunia sepak bola adalah karena sosok almarhum ayahnya. Ia juga mengakui jika ayahnya sering bertindak keras jika Acerbi muda tidak memperlihatkan grafik performa yang baik.
"Awalnya, saya bermain sepak bola karena ayah saya. Dia sosok yang perhatian, tapi mungkin terlalu berlebihan," buka Acerbi.
"Jelas sekali bahwa ayah saya sangat perhatian, bahkan melebihi diri saya sendiri. Terkadang dia begitu detail memperhatikan saya, sampai kalau dia mau saya meningkatkan performa, dia tak segan-segan melukai saya," katanya lagi menceritakan.
Acerbi tumbuh besar dalam didikan ayahnya yang keras. Soal sepak bola, ia memang menyukainya, namun secara tidak langsung, Acerbi merasa kalau menjadi profesional adalah keinginan ayahnya.
Tibalah ketika sang ayah meninggal dunia. Acerbi menjadi figur yang urakan dan tak tahu aturan. Ia mengakui dirinya bukanlah seorang profesional sebagaimana seharusnya.
"Ketika ayah saya tiada, saya tidak tahu untuk apa saya bermain sepak bola, jelas bukan buat saya sendiri. Saat itu, saya tidak ingin menjadi pemain profesional," katanya lagi.
"Saya tidak menghargai diri saya, saya tidak menghormati klub yang menggaji saya, saya sering datang telat ke latihan dalam kondisi lelah karena malamnya saya mabuk-mabukan."
"Secara fisik saya baik-baik saja, itu yang saya syukuri, saya memang selalu menjaga kondisi fisik saya agar tetap kuat. Saya kuat tidur selama beberapa jam saja, lalu langsung bertanding kemudian," ujarnya.
Video
Taubat karena Kanker
Menariknya, meski doyan minum-minuman keras hingga larut malam, karier Acerbi terbilang mulus. Tidak seperti beberapa pemain bintang dunia macam Adriano yang tiba-tiba meredup karena gaya hidup liarnya, Acerbi mampu menjaga konsistensi, terutama di atas lapangan.
"Saya bukan tipe pemain yang takut ketika berhadapan dengan tim besar, bukan karena pemberani, tapi lebih kepada tidak peduli dan saya hanya ingin bersenang-senang," katanya menyambungi.
"Ketika saya bergabung ke AC Milan, rekan saya bilang kalau manajemen klub tahu kebiasaan saya. Oleh karena itu, saya diberikan kediaman di Gallarate, bukan di pusat Kota Milan, tapi tetap saja saya bandel," ujarnya disertai tawa.
Gallarate merupakan kawasan yang relatif jauh dari keramaian kota. Dengan hanya berpenduduk 54.000, Gallarate adalah daerah yang damai, tenteram, dan lebih cocok dijadikan area menghabiskan masa tua.
Namun, seperti Acerbi ceritakan, ketidakprofesionalitasannya sulit disembuhkan. Ia tetap kerap melakukan tindakan indisipliner, bahkan Acerbi hanya bertahan di Milan tak sampai satu musim. Il Diavolo Rosso melepasnya ke Genoa pada pertengahan musim 2012-2013, lalu Acerbi dipinjamkan langsung ke Chievo Verona.
Selesai masa peminjaman, tepatnya pada akhir musim 2012-2013, Genoa menjualnya ke Sassuolo jelang pembukaan Serie A 2013-2014, mungkin karena tidak kuat dengan tindakannya. Nahas, pada 2013 ia divonis menderita kanker.
Vonis tersebut ia dapatkan saat baru saja hijrah menuju Sassuolo. Pada saat itulah hidupnya mulai berubah. Ia bersyukur Tuhan memberikannya penyakit mematikan tersebut karena dengan begitu ia kini lebih menghargai hidup.
"Kanker adalah penyelamat saya. Saya bersyukur mendapatkan kanker. Saya tahu saya menderita kanker pada Juli 2013, tepat sesaat setelah saya pindah ke Sassuolo," kata Acerbi menjelaskan.
"Satu tahun setelah saya divonis kanker, sesuatu menimpa saya. Satu malam saya terbangun dari tidur, saya dihantui perasaan aneh. Saya takut melihat bayangan sendiri. Tiba-tiba saya cemas akan banyak hal. Saya jadi memikirkan kesempatan hidup yang diberikan Tuhan kepada saya, atas waktu yang terbuang sia-sia, malam-malam yang lewat begitu saja."
"Semuanya terjadi begitu saja. Saya kemudian pergi ke psikolog untuk mengatasi rasa takut yang saya dapatkan. Perlahan, saya memulai langkah baru sebagai lelaki seutuhnya. Saya membatasi karakter saya, yang baik dipertahankan, yang buruk dibuang."
"Sekarang beginilah saya, masih diberikan kesempatan untuk bermain di salah satu klub terbaik Italia, di mana saya bisa saja bermain di Serie B, atau bahkan pensiun dini. Saya merasa ada orang di atas sana yang mencintai saya dengan memberikan saya penyakit kanker. Kalau tidak begitu, mungkin saya bisa berakhir dengan buruk," katanya memungkasi.
Acerbi bertahan selama lima tahun di Sassuolo. Pada 2018, ia resmi bergabung ke Lazio hingga sekarang.
Di Milan, Kebiasaan Buruknya Menenggak Alkohol Dimulai
Sepak bola adalah sesuatu yang memiliki sejuta pesona. Satu momen, olahraga si kulit bundar ini banyak menghasilkan pemberitaan negatif. Sudah terlalu banyak tajuk utama pada media menampilkan pengaruh buruknya seperti rasialisme, seksisme, sampai hooliganism yang memakan korban. Akan tetapi pada momen tertentu, justru bisa menjadi platform untuk hal-hal yang positif, sangat positif.
Sering ditemui perjalanan karier seorang pesepak bola yang sukses usai diterpa kesulitan hidup. Misalhnya, kisah Cristiano Ronaldo yang tidak berasal dari keluarga mencukupi, kini menjadi figur olahragawan dunia. Kasus yang menimpa Acerbi ini juga bisa menjadi media pembelajaran dan cerita inspiratif, bagaimana ia melawan kanker, lalu berubah menjadi sosok yang lebih baik, manusia yang lebih baik.
Dari sudut pandang olahraga, kisah Acerbi melawan kanker satu di antara yang paling mengesankan. Bagaimana ia bisa melewati sejumlah perawatan intensif hingga kini menjadi pemain yang stabil, konsisten, bahkan berhasil mencicipi seragam Timnas Italia meski sempat menjalani kemoterapi.
Acerbi tumbuh laiknya anak kecil di Vizzolo Predabissi pada umumnya: mencintai sepak bola. Namun, seperti diceritakan sebelumnya, ada kesan bahwa ia tidak lepas mencintai si kulit bundar seutuhnya karena tuntutan dari ayahnya yang ingin Acerbi berkembang sempurna.
Singkat kata, Acerbi tetap menjadi pesepak bola profesional, namun kariernya terbilang lamban. Memulai perjalanan dari tim guram AC Pavia, Acerbi akhirnya bergabung dengan tim yang lebih beesar, Reggina. Kebetulan saat itu Reggina tengah dalam momen kebangkitan. Acerbi menjadi satu di antara sosok penting di balik keberhasilan Reggina lolos ke Serie A 2011-2012.
Ketika itu, status Acerbi masih kepemilikan bersama. Sadar bahwa ada potensi besar dan tentunya uang segar, Reggina membeli secara penuh kepada Pavia sebelum akhirnya membagi status kepemilikan bersaman ke Genoa dengan dana relatif murah, satu juta euro saja.
Genoa lantas membagi kepemilikan kepada Chievo Verona pada musim 2011-2012. Di sana, atmosfer Serie A ia dapatkan. Setelah 17 kali ia bermain bersama tim berjulukan The Flying Donkey dalam semusim, giliran AC Milan yang kesengsem dengan bakat terpendam Acerbi.
Dalam sebuah wawancara di Cerriere della Sera, Acerbi menceritakan di Milan pola gaya hidupnya berubah. Rossoneri tampaknya tak ingin berlama-lama memiliki pemain dengan disiplin buruk. Acerbi lantas dijual kembali ke Genoa dengan dana 4 juta euro, namun langsung dipinjamkan lagi ke Chievo pada sisa musim 2012-2013. Itu artinya, Acerbi tak sampai enam bulan berada di Milan dan cuma bermain sebanyak enam kali.
"Di Milan, saya merasa tak terkalahkan, saya bebas berbuat ulah, menenggak alkohol menjadi kebiasaan saya," kata Acerbi.
Genoa, Chievo, dan Milan sampai kewalahan meladeni tingkah polah Acerbi. Untuk kesekiankalinya dalam waktu relatif singkat, ia lagi-lagi dijual ke klub lain, masih dengan status kepemilikan bersama, saat itu Sassuolo yang mau 'menebus dosa' Acerbi.
Mengalahkan Kanker
Musim panas 2013 mungkin pada awalnya dianggap Acerbi sama saja dengan musim panas sebelumnya. Jendela transfer, pindah klub, tim baru, rekan setim anyar pula, siklus umum saja dipikirnya. Akan tetapi, ketika ia tengah menjalani pramusim bersama Sassuolo, yakni tim barunya, petaka sekaligus hal yang akhirnya disykurinya, menimpanya. Dokter tim memvonis Acerbi memiliki tumor pada organ sensitifnya. Acerbi mengidap kanker testis.
Saat itu seharunya Acerbi menjalani pramusim seperti biasa. Ketika masuk medical check-up, dokter melihat ada yang janggal. Tanpa banyak memberikan informasi, pihak klub memutuskan mengirim Acerbi ke Milan untuk melakukan operasi pengangkatan tumor. Langkah cepat Sassuolo berbuah hasil. Ia dinyatakan 'sembuh' dan bahkan bisa bermain sebanyak 13 kali pada enam bulan pertamanya musim 2013-2014.
Ujian pertama Acerbi sukses dilewatinya, untuk sementara saja.
Pada Desember 2013, bek tengah itu gagal tes medis. Sebabnya, ada tanda-tanda penggunaan obat-obatan peningkat stamina. Acerbi sempat mendapat hukuman FIGC, PSSI-nya Italia usai ditemukan adanya human chorionic gonadotropin (hCG), zat terlarang yang biasanya dipakai oleh olahragawan nakal guna meningkatkan kekuatan stamina. Setelah melewati serangkaian tes, hCG yang ditemukan mengendap di tubuh Acerbi merupakan zat yang diproduksi oleh tumor.
Kabar bagusnya, ia lolos dari jeratan hukuman FICG. Kabar buruknya, itu menandakan bahwa tumornya belum benar-benar hilang.
Benar saja, tim dokter Sassuolo memvonis kalau tumor yang telah berkembang lama di tubuh Acerbi menyebabkan kanker testis. Bukan cuma karier sepak bola Acerbi yang terancam hilang, tapi juga nyawanya.
Manajemen Sassuolo layak diapresiasi. Gerak cepatnya dalam penanganan membuat nyawa Acerbi terselamatkan. Akan tetapi, perawatan yang dialami Acerbi tidaklah singkat. Rencananya, enam bulan pertama sejak Januari 2014, Acerbi harus menjalani kemoterapi.
"Kalau Anda tidak menjalani hidup selayaknya seorang atlet profesional pada level tersebut, ada harga mahal yang harus Anda bayar," kata Acerbi menjelaskan betapa ia menyarankan pentingnya menjaga kondisi sebaik mungkin, apalagi buat seorang atlet.
Pada 15 Maret 2014, Acerbi, melalui akun Facebook-nya, mengklaim siap kembali merumput. Ia juga bertekad untuk berubah menjadi sosok yang lebih menghargai diri sendiri dan keluarga yang mencitntainya.
"Kini saya memasuki babak baru, saya ingin merebut kembali apa yang tertinggal di belakang. Saya berusaha sembuh demi keluarga saya. Mulai detik ini, saya akan berubah," tulisnya lagi pada posting-an tersebut.
Di luar dugaan, proses kemoterapi berjalan jauh lebih cepat dari perkiraan. Alih-alih menghasikan setengah tahun dalam perawatan intensif, ia hanya dua bulan saja berada di rumah sakit. Sisanya, seakan memiliki semangat baru yang terlahir kembali, ia habiskan untuk masa pemulihan. Ia berlatih keras dan terus berusaha mengembalikan keseahatan fisik dan mentalnya.
Acerbi mau tak mau merelakan musim 2013-2014 begitu saja. Ia ingin berterima kasih kepada Sassuolo atas kesabaran dan ketulusan dalam memberikan yang terbaik pada pemainnya. Acerbi bertekad membalas budi kepada Sassuolo pada musim 2014-2015. Meski absen pada beberapa laga pembuka, tercatat pada 25 Oktober 2014, ia kembali menginjakkan kakinya di atas rumput lapangan hijau.
Kebersamaan Acerbi dengan Sassuolo bertahan lima musim. Ia kemudian dilepas menuju klubnya sekarang, Lazio. Tugas berat sebenarnya kala itu sebab Acerbi dituntut menggantikan peran Stefan de Vrij yang hengkang ke Inter Milan pada Serie A 2018-2019. Alih-alih kesulitan membayar kepercayaan Biancocelesti, Acerbi justru makin bersinar. Ia masuk daftar Timnas Italia dan tampil sebanyak tiga kali di bawah komando Roberto Mancini.
Mengunjungi Pasien Kanker Belia Satu per Satu
"Saya tidak peduli! Kalau mau pergi, pergi saja. Saya bisa naik taksi, sebab saya tidak akan meninggalkan rumah sakit ini sampai semua pasien sudah saya kunjungi!" kata Alessandro Lacopino menirukan apa yang diucapkan Acerbi.
Itu terungkap ketika Timnas Italia melakukan kunjungan ke sebuah rumah sakit khusus pasien kanker anak-anak. Anak asuh Roberto Mancini tengah bersiap menjalani laga Kualifikasi Piala Euro 2020. Kunjungan ke rumah sakit tersebut dilakukan guna menambah motivasi skuat Azzurri.
Saat bus tim hendak meninggalkan rumah sakit, Acerbi justru memilih berlama-lama di sana. Bukannya tak melakukan apa-apa, tapi ia mau memastikan seluruh pasien mendapatkan giliran kunjungannya. Ini adalag gestur positif dari Acerbi yang paham betul bagaimana rasanya berbaring tak berdaya akibat vonis kanker.