Aturan Gaji 25 Persen Dikritik, CEO PSIS: Gaji Pemain Cukup untuk Makan Sekampung

oleh Ario Yosia diperbarui 30 Mar 2020, 21:06 WIB
CEO PSIS Semarang, Yoyok Sukawi (tengah) saat meninjau Stadion Citarum, Semarang, Senin (27/1/2020) . (Bola.com/Vincentius Atmaja)

Bola.com, Jakarta - Keputusan PSSI memperbolehkan klub membayarkan gaji pemain, pelatih dan ofisial sebesar 25 persen menuai pro kontra. Beberapa pemain dan pelatih keberatan dengan keputusan tersebut. Tak terkecuali Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) yang bersuara paling lantang tentang hal tersebut.

Namun, manajemen PSIS Semarang menganggap keputusan federasi sudah cukup tepat. Karena gaji 25 persen dari kewajiban dalam kontrak sudah cukup ideal, meskipun bagi klub masih cukup berat.

Advertisement

“Kalau kami berhitungnya sebenarnya kalau 25 persen gaji cukup untuk hidup, kalau buat beli mobil ya enggak bisa,” kata CEO PSIS, Yoyok Sukawi kepada Bola.net (media satu grup Bola.com), Senin (30/3/2020).

”Tapi kalau untuk makan, ngasih makan orang sekampung, sebulan masih cukup,” imbuh pria yang bernama lengkap Alamsyah Satyanegara Sukawijaya tersebut.

Yoyok Sukawi sebenarnya tidak memungkiri bahwa angka 25 persen cukup kecil dibanding dengan gaji 100 persen. Tapi, memang tidak memungkinkan membayar penuh di tengah pandemi Corona dan klub berhenti beraktivitas.

”Keberatan boleh aja, cuma yang mau bayar pakai apa, wong kami itu bukannya enggak mau bayar tapi enggak ada yang mau dibayarkan,” Yoyok menambahkan.

Tetapi, Yoyok menegaskan bahwa pihaknya tidak akan mengambil keputusan sepihak. Manajemen akan berdiskusi dengan pemain sebelum memutuskan besaran gaji yang akan diberikan.

”Kami pasti akan bicarakan dengan pemain, mungkin minggu depan kami akan bicarakan dengan mereka,” jelas Yoyok.

Menurut pria yang juga menjabat sebagai anggota Komite Eksekutif PSSI tersebut, pihaknya tetap akan menawarkan solusi. Sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

”Kalau enggak mau ya sudah, kami tetapkan pakai force majeure, malah mereka enggak dapat apa-apa, putus kontrak,” lanjutnya.

”Status force majeure itu secara hukum semua perjanjian itu batal demi hukum. Berarti pemain tidak dapat apa-apa,” tegas anggota DPR RI tersebut.

Namun, dia yakin pemain akan memahami setelah mendapat penjelasan dari manajemen. Pasalnya, penghentian kompetisi bukan keinginan kedua belah pihak, tapi karena musibah.

Video

2 dari 3 halaman

Ingin Kesepakatan Bersama

Tiga petinggi APPI, Firman Utina, Ponaryo Astaman, dan Riyandi Ramadhana, bersama Direktur Fisik Football, Adrian Riyadi, dalam peluncuran kartu anggota APPI di Senayan City, Jakarta, Selasa (16/7/2019). (Bola.com/Benediktus Gerendo Pradigdo)

(APPI) merespons keputusan PSSI soal status kompetisi dan pemangkasan gaji. Mereka menilai langkah yang dilakukan induk sepakbola nasional tersebut tidak tepat. Berdasarkan surat PSSI bernomor 48/SKEP/III/2020, menyatakan Liga 1 dan 2 force majeure atau keadaan kahar terhitung Maret hingga Juni 2020.

Penyebaran virus corona di tanah air yang kian luas jadi sebabnya. Dijadwalkan Liga 1 dan 2 kembali bergulir pada Juli mendatang, dengan catatan situasi sudah membaik. Namun bila pemerintah menambah masa tanggap darurat, karena virus corona masih tak terkendali, kompetisi dihentikan seutuhnya.

Selama kompetisi dihentikan, PSSI hanya mewajibkan klub membayar 25 persen dari gaji pemain dan ofisial yang tertera dikontrak. Hal tersebut yang membuat APPI keberatan. APPI menilai PSSI tak bisa langsung menentukan besaran potongan gaji.

Seharusnya pemain dan ofisial terlebih dahulu sepakat dengan klub terkait kebijakan yang diambil tersebut. Apalagi, FIFA, AFC dan FIFPro, belum mengambil keputusan soal besaran gaji yang diterima pemain selama liga berhenti. Mengingat, tak hanya Indonesia yang kompetisinya berhenti, melainkan hampir seluruh dunia karena terdampak virus corona.

 

3 dari 3 halaman

Pertimbangan yang Jadi Keberatan APPI

Ketua PSSI, Mochammad Iriawan, melihat ruang ganti pemain saat melakukan inspeksi ke Stadion Pakansari, Bogor, Selasa (3/3/2020). Kegiatan tersebut dalam rangka melihat kesiapan veneu jelang piala dunia U-20 pada 2021. (Bola.com/M Iqbal Ichsan)

- Pengambilan keputusan tersebut tidak melibatkan pesepakbola sebagai stakeholder dan juga salah satu pihak yang paling terdampak dalam hal ini.

- Keputusan pembayaran gaji sebesar 25% sejak Maret-Juni merupakan hal yang seharusnya disepakati oleh kedua belah pihak karena perubahan kontrak kerja wajib dilakukan dengan kesepakatan antara klub dan pesepakbola, tidak bisa dilakukan sepihak.

- Klub wajib melakukan pembayaran DP (uang muka) dan gaji hingga bulan Maret 2020 sesuai dengan kontrak kerja antara klub dengan pesepakbola.

- APPI meminta untuk segala keputusan terkait kompetisi yang berimplikasi dengan kontrak pemain untuk melibatkan kami sebagai perwakilan pesepakbola di Indonesia.

- Dalam tingkat global pun masih terjadi pembahasan dan diskusi FIFA dengan FIFPro dan AFC dengan FIFPro Asia/Oceania. - Kami meminta adanya pertemuan dan pembicaraan yang melibatkan semua stakeholder tanpa terkecuali dengan dasar saling respect dan fair untuk mencapai solusi yang bisa diterima oleh semua pihak.

 

Sumber asli: Bola.net

Disadur dari: Bola.net (Mustopa El Abdy, Published 30/3/2020)

Berita Terkait