Bola.com, Makassar - PSM Makassar mengalami masa kejayaan di era sepak bola modern ketika kompetisi tanah air bernama Liga Indonesia pada 1994-2008. Pada kurun waktu itu, PSM tercatat meraih trofi juara pada musim 1999-2000 dan empat kali runner-up pada musim 1995-1996, 2001, 2003 dan 2004.
Tidak hanya meraih prestasi secara tim, PSM Makassar juga menjadi penyuplai pemain buat Timnas Indonesia, terutama pada 2003-2004. Enam pemain Juku Eja, yakni Charis Yulianto, Jack Komboy, Ortizan Salossa, Syamsul Chaeruddin, Ponaryo Astaman, dan Irsyad secara reguler mendapat panggilan Timnas Indonesia untuk mengikuti sejumlah ajang internasional.
Melihat nama-nama di atas, Syamsul tercatat sebagai pemain PSM yang paling sering memperkuat Timnas Indonesia kala itu. Perannya sebagai gelandang jangkar sangat vital di PSM maupun tim Merah Putih.
Karakter keras dan pantang menyerah di lapangan jadi tontotan yang menghibur. Itulah mengapa ia selalu menjadi pilihan utama pelatih yang pernah menangani Timnas Indonesia, seperti Ivan Kolev, Peter White dan Benny Dollo.
Sebelum Syamsul, ada dua gelandang PSM di era Liga Indonesia yang tak kalah benderang. Keduanya adalah Ansar Razak dan Bima Sakti. Ketiga gelandang yang dimiliki PSM ini sama-sama tercatat pernah memperkuat tim nasional di Piala Asia pada edisi berbeda.
Berikut sekilas analisa sepak terjang ketiga gelandang petarung PSM Makassar ini versi Bola.com.
Video
Ansar Razak
Ansar Razak adalah tipikal gelandang yang lekat dengan karakter khas Makassar. Liga Indonesia 1995-1996 adalah musim terbaik Ansar berkostum PSM. Ia membawa PSM Makassar menembus partai puncak menghadapi Mastrans Bandung Raya di Stadion Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta. Sayang di final, PSM takluk 0-2.
Sebelumnya, karier Ansar sempat ternoda menyusul skorsing PSSI yang diterimanya pada 1990. Ansar yang kala itu masih berusia 21, dinilai jadi pemicu tawuran massal yang melibatkan pemain PSM dan Persib Bandung pada semifinal Piala Perserikatan 1990.
Akibat sanksi dari PSSI, nama Ansar sempat menghilang dari percaturan sepakbola nasional.
Bersama PSM di Liga Indonesia 1995/1996, peran Ansar sebagai pemotong serangan lawan praktis tak tergantikan di PSM. Playmaker lawan pun kerap dibuat mati kutu oleh sergapan keras ala Ansar.
Setelah merebut bola dari lawan, Ansar pun segera meberikannya ke Luciano Leandro, pengatur serangan PSM. Tak ayal ada anggapan, penampilan Luciano menonjol di PSM tak lepas dari penting Ansar.
Berkat penampilannya pada musim itu, Ansar pun masuk dalam skuat timnas Indonesia pada Piala Asia 1996 di Uni Emirat Arab.
Namun, dua tahun berselang, Ansar meninggal dunia karena kecelakaan lalulintas. Mobil sedan yang dikendarainya hancur setelah bertabrakan dengan bus antarkota.
Saat itu, paman dari paman bek PSM, Asnawi Mangkualam ini sedang dalam perjalanan pulang dari mes PSM ke rumahnya untuk makan sahur bersama keluarga.
Bima Sakti
Kebersamaan Bima Sakti bersama PSM Makassar hanya dua musim. Tapi, jebolan proyek PSSI Primavera ini menandai kiprahnya di PSM dengan baik. Pada musim pertamanya, Bima membawa Juku Eja meraih trofi juara Liga Indonesia 1999-2000 setelah mengalahkan PKT Bontang 3-2 di partai puncak yang berlangsung di Stadion Gelora Bung Karno.
Inilah gelar pertama PSM di era Liga Indonesia. Sampai Liga Indonesia berganti nama menjadi Liga Super Indonesia dan terakhir Liga 1, PSM tak pernah lagi meraih juara.
Tak hanya itu, secara personal Bima mendapatkan perhargaaan sebagai pemain terbaik musim 1999-2000. Menariknya, sepanjang musim, tak sekalipun Bima mendapatkan kartu.
Padahal, posisinya sebagai gelandang jangkar kerap melakukan pelanggaran yang rentan berbuah kartu kuning. Tekel bersih dan sikapnya yang santun membuat Bima selalu mendapat respek dari pemain lawan dan wasit.
Kala tampil bersama PSM, Bima adalah tandem yang pas buat Carlos de Mello, gelandang asal Brasil yang diplot sebagai pengatur serangan. Selama di PSM, Bima tidak hanya jadi pemotong serangan lawan, tapi kerap membuat kiper lawan harus bekerja keras untuk mengadang tendangan kerasnya dari luar kotak penalti.
Syamsul Chaeruddin
Setelah Bima Sakti, muncul nama Syamsul Chaeruddin. Sosok gelandang asal Kabupaten Gowa ini pertama kali menyeruak di pentas nasional ketika membawa PSM Makassar menembus semifinal Liga Indonesia 2002.
Berkat aksinya itu, Syamsul terpilih skuat Timnas Indonesia U-20 untuk mengikuti turnamen Piala Sultan Hassanal Bolkiah di Brunei Darussalam. Syamsul yang menjadi kapten berhasil membawa tim meraih putih meraih trofi juara.
Sejak itu, Syamsul secara reguler mendapat panggilan tim nasional sampai 2009. Bersama Timnas Indonesia, Syamsul dua kali tampil di Piala Asia, yakni 2004 dan 2007.
Saat tampil bersama PSM, musim terbaik Syamsul terjadi pada musim 2003 dan 2004. Meski PSM hanya menempati peringkat runner-up pada dua musim ini, penampilan Syamsul yang berduet bersama Ponaryo Astaman di lini tengah jadi trademark kala itu.
Bukan hanya di PSM, tapi juga di tim nasional. Duet Syamsul-Ponaryo secara reguler jadi andalan tim Merah-Putih.
Ciri khas Syamsul adalah mobilitasnya yang tinggi di lapangan. Meski selalu menjadi pemain tersering melakukan tekel dan beradu badan dengan pemain lain, stamina Syamsul seolah tak pernah habis. Kerja keras Syamsul dalam memotong serangan lawan memudahkan kerja Ponaryo yang kerap membantu serangan.
Syamsul tampil dalam dua periode di PSM. Setelah membela PSM pada periode 2001-2010, Syamsul sempat membela Persija Jakarta (2011) dan Sriwijaya (2012). Syamsul menjalani periode keduanya bersama PSM pada 2012-2017. Sebelum pensiun sebagai pemain, ia sempat memperkuat PSS Sleman pada musim 2018.
Baca Juga