Bola.com, Solo - Induk organisasi sepak bola Indonesia, PSSI, memutuskan kompetisi musim 2020 dalam status force majeure. Situasi ini tidak jauh berbeda jika menengok 22 tahun silam.
Ya, kompetisi sepak bola Indonesia pernah berhenti total pada 1998. Kerusuhan massa akibat krisis moneter, berjalan serempak di berbagai daerah di Indonesia, membuat negara dalam keadaan kacau.
Imbasnya kompetisi yang saat itu bernama Ligina 1998, harus bubar di tengah jalan. Kompetisi hanya sampai pada pertandingan terakhir fase grup yang saat itu dibagi tiga wilayah. Kerusuhan di beberapa tempat, membuat PSSI memutuskan force majeure, dan tidak ada pemenang pada musim itu.
Kini situasi yang hampir sama pun mengancam, tapi karena wabah virus corona yang menjalar di berbagai daerah. COVID-19 merebak hampir ke seluruh penjuru dunia, dan membatasi aktivitas masyarakat.
Tidak hanya Indonesia, negara lain telah menetapkan kompetisi dihentikan hingga batas waktu yang belum dapat dipastikan. Mantan pesepak bola nasional, Agung Setyabudi, ikut prihatin dengan krisis yang sedang terjadi.
Dirinya bercerita kondisi yang hampir mirip ketika masih aktif bermain pada 1998 silam. Saat itu, Agung Setyabudi bermain untuk Arseto Solo. Ia masih ingat kejadian pertandingan terakhir yang berujung kerusuhan massa saat melawan Pelita Jaya Jakarta di Stadion Sriwedari.
Beberapa hari berselang, kerusuhan merembet membuat Kota Solo seperti luluh lantak, karena aksi pembakaran dan penjarahan. Kemudian tim yang dibelanya membubarkan diri, dan ia pun hengkang ke PSIS Semarang, setahun kemudian.
Video
Pesepak Bola Hadapi Situasi yang Hampir Sama
Agung mengungkapkan perbedaan kondisi setelah status force majeure kompetisi Ligina 1998 dengan yang terjadi sekarang ini. Menurutnya, rasa jenuh menjadi hal paling krusial karena hidupnya bergantung kepada sepak bola.
"Dulu dihentikan cukup lama lebih dari enam bulan kalau tidak salah. Ya bosan juga, jenuh, mau kerja apa karena hidupnya dari sepak bola," terangnya kepada Bola.com, Selasa (31/3/2020).
Perbedaan paling mencolok adalah saat itu masyarakat tetap bisa beraktivitas meski negara sedang kembali membangun kondisi ekonomi. Berbeda dengan yang terjadi saat ini saat warga diminta melakukan social distancing, agar tidak terpapar COVID-19.
"Waktu itu saya belum berkeluarga. Bagaimana dengan pemain lain yang sudah berkeluarga menghidupi anak istrinya," ungkap Agung.
"Untungnya waktu itu masih ada tarkam yang bisa menjadi sumber penghidupan. Lumayan seminggu bisa tiga kali bertanding. Bedanya untuk sekarang ini benar-benar tidak boleh ada kerumunan," imbuh eks kapten Timnas Indonesia.
Legawa Soal Potongan Gaji
Agung Setyabudi turut mengapresiasi langkah PSSI karena dengan cepat menetapkan status force majeure untuk kompetisi tahun ini. Selain itu, arahan pemotongan gaji para pemain maupun pelatih dinilainya adalah hal yang positif.
Diketahui PSSI memberikan imbauan kepada klub peserta kompetisi agar tetap memberikan hak para pemain, pelatih, dan ofisial, yakni sebesar 25 persen dari nilai kontrak yang disepakati.
"Gaji sebesar 25 persen dari nilai kontrak, itu sudah bagus. Ada upaya dari klub masih memikirkan pemain dan pelatihnya. Saya juga yakin sebenarnya di klausul kontrak pasti ada perihal jika keadaan force majeure," tutur Agung.
"Seharusnya diterima dengan legawa, itu sudah jalan terbaik. Karena klub pasti paling rugi, tidak ada pemasukan sekali. Bersyukur masih mendapat bayaran meskipun tidak bermain," jelas pemilik 53 penampilan bersama Timnas Indonesia.