Jakarta - Saat lintasan Formula 1 masih tertutup akibat pandemi global COVID-19, tim Mercedes memilih berpacu dengan waktu pada jalur yang berbeda. Tim pabrikan asal Inggris yang piawai dalam membangun mesin bagi jet darat itu untuk sementara beralih ke pembuatan alat bantu pernapasan.
Alat ini sangat dibutuhkan para penderita COVID-19 dan jumlahnya semakin terbatas seiring meningkatnya jumlah pasien setiap harinya. Rumah-rumah sakit di berbagai belahan dunia yang terpapar virus Corona mulai kesulitan karena keterbatasan alat yang mereka miliki.
Seperti dilansir BBC, alat bantu napas yang umum digunakan di rumah sakit adalah, Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) devices. China dan Italia, dua negara yang paling parah terpapar COVID-19, menggunakan alat ini. Namun belakangan alat ini semakin sulit untuk ditemukan.
Menyadari situasi ini, Mercedes pun terjun memberi pertolongan. Bekerjasama dengan insinyur-insinyur dari University College London dan dokter di UCLH, tim formula 1 Mercedes kini tengah membangun perangkat untuk mengirimkan oksigen ke paru-paru tanpa memerlukan ventilator.
Sebanyak 40 alat bantu napas baru sudah dikirimkan ke rumah sakit UCLH dan tiga lainnya diserahkan ke rumah sakit di London. Jika uji coba ini berjalan mulus, diperkirakan dalam sehari Mercedes bakal mampu memproduksi sebanyak 1000 alat bantu napa yang dimulai dalam waktu seminggu ini.
Dan menariknya lagi, Badan Pengawas Obat-obatan dan Produk Kesehatan Inggris, (MHRA) telah memberikan persetujuan untuk penggunaan alat baru tersebut.
Mercedes merupakan tim papan atas yang berlaga di Formula 1. Juara dunia enam kali, Lewis Hamilton berada di tim ini. Sejak berkecimpung di ajang balapan jet darat F1, Mercedes telah merebut enam gelar juara constructor, yakni pada tahun 2014, 2015, 2016, 2017, 2018, dan 2019.
**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.
Video
Tidak Serumit Ventilator
Sejauh ini ada dua alat bantu pernapasan yang lazim digunakan bagi pasien Covid-19, yakni CPAP dan ventilator. CPAP sendiri tidak serumit ventilator karena pasien tidak dibius saat menggunakannya.
Di salah satu zona merah COVID-19 di Italia, Lombardia, sebanyak 50 persen pasien yang menggunakan CPAP tidak lagi membutuhkan ventilasi mekanik invasif. Dan menurut Konsultan perawatan kritis UCLH, Prof Mervyn Singer, penggunaan CPAP sangat membantu pasien COVID-19.
"Alat ini seperti rumah singgah di antara masker oksigen sederhana dan ventilasi mekanis invasif yang mengharuskan pasien untuk dibius," kata Singer seperti dilansir BBC.
"Alat-alat ini akan membantu menyelamatkan nyawa di mana ventilator yang terbatas akan dugunakan bagi pasien yang parah."
Cara Kerja CPAP
Sementara itu, cara kerja CPAP, mengalirkan campuran udara dan oksigen secara stabil melalui mulut dan hidung pasien. Prosesnya berjalan dalam tekanan sehingga paru-paru sehingga meningkatkan jumlah oksigen yang masuk.
Cara kerja seperti ini akan mengurangi upaya yang diperlukan untuk bernapas, terutama ketika alveoli - kantong udara di paru-paru - telah rusak akibat COVID-19.
Tidak seperti masker wajah sederhana yang dihubungkan dengan suplai oksigen, CPAP memberikan udara dan oksigen di bawah tekanan, jadi perlu ada topeng yang membuat segel ketat pada wajah pasien, di atas mulut dan hidung mereka atau penutup transparan di atas kepala mereka.
Ini tidak seinvasif seperti ventilator, di mana pasien harus dibius dan tabung mauk ke saluran napas.
Meski demikian, penelitian lebih jauh terus dilakukan. Apalagi, salah seorang profesora dari University of Oxford, telah mengingatkan kekuarangan CPAP.
"Penggunaan CPAP terhadap pasien yang mengalami infeksi saluran pernapasan agak kontroversial di mana kebocoran sedikit saja pada masker akan menyemprotkan cairan yang membahayakan petugas medis yang menangani pasien," katanya.
Sumber: BBC
Disadur dari: Liputan6.com (Marco Tampubolon, published 1/4/2020)