Bola.com, Jakarta - Sepak bola Indonesia sudah diramaikan pemain asing sejak era 1980-an, khususnya kompetisi Galatama, mulai duo Singapura David Lee dan Fandi Ahmad (Niac Mitra), sampai pemain asal Belanda, Mozes Isaac (Tunas Inti). Setelah kompetisi Galatama dilebur dengan Perserikatan jadi Liga Indonesia, jumlah pemain asing di Indonesia semakin bertambah banyak jumlahnya.
PSSI membuka keran seluas-luasnya bagi legiun impor, dengan alasan utama transfer knowledge serta menambah daya tarik kompetisi kasta tertinggi Tanah Air.
Sejak Liga Indonesia I (1994-1995) hingga era terkini Shopee Liga 1 2020, ratusan pemain asing dari berbagai negara bertarung, baik di klub level pertama maupun kedua. Pemain dari Amerika Latin cukup mendominasi pasar klub Indonesia sejak 1994 hingga sekarang.
Berikut ini lima pemain asal Amerika Latin yang berpengaruh di kompetisi Indonesia, versi Bola.com:
Video
Jacksen F. Tiago (Brasil)
Ada banyak alasan mengapa Jacksen F. Tiago jadi salah satu pemain asing paling berpengaruh di Indonesia. Jacksen membela sembilan klub Indonesia, baik menjadi pemain maupun pelatih. Sebagai pemain, Jacksen berkostum Petrokimia Putra, Persebaya Surabaya, dan PSM Makassar. Setelah pensiun pada 2002, Jacksen melatih Assyabaab Surabaya, Persebaya, Persita Tangerang, Persiter Ternate, Mitra Kukar, Persitara, dan Persipura.
Jacksen adalah angkatan pertama legiun asing di era baru kompetisi Indonesia, Liga Indonesia I 1994-1995. Jacksen yang saat itu berusia 26 tahun jadi striker Petrokimia Putra dan sukses mencicipi partai final, sebelum akhirnya kalah dari Persib Bandung 0-1. Jacksen kembali tampil pada partai puncak LI II bersama PSM Makassar, namun kalah 0-2 dari Mastrans Bandung Raya.
Sepanjang berkarier jadi pemain di Indonesia, Jacksen baru meraih gelar top scorer pada Liga Indonesia III (1996-1997) bersama Persebaya Surabaya dengan torehan 26 gol. Pada dua musim sebelumnya, ia kalah dari pemain Angola, Vata Matanu Garcia (Gelora Dewata-21 gol di LI I) dan striker Montenegro Dejan Gluscevic (Mastrans Bandung Raya-30 gol di LI II). Musim 1996-1997 jadi paling spesial buat Jacksen. Selain jadi pencetak gol terbanyak, ia juga mengantarkan Persebaya juara.
Hal yang membuat Jacksen makin spesial adalah ia meraih juara kompetisi lima kali kala menjadi pelatih. Jacksen mengantarkan Persebaya juara Divisi I (2003) dan Divisi Utama (2004), serta tiga gelar bersama Persipura di ISL (2008-2009, 2010-2011, dan 2013). Pria pengidola makanan khas Jawa Timur, Rawon juga pernah menjadi pelatih caretaker Timnas Indonesia (2013) dan kini sukses di Malaysia bersama Penang FA.
Hal di luar lapangan yang membuat Jacksen populer, yakni sikapnya yang selalu dekat dengan negara di mana ia bekerja. Selama belasan tahun di Indonesia, Jacksen sangat dekat dengan Indonesia. Ia bahkan bisa berbicara dengan berbahasa Jawa. Jacksen juga menjadikan Persipura sebagai klub yang konsisten dengan pemain lokal Papua.
Luciano Leandro
Luciano Leandro adalah salah satu playmaker terbaik di Liga Indonesia. Luciano mendapat tempat spesial di hati suporter dua klub yang pernah ia bela, PSM Makassar (1996-2000) dan Persija Jakarta (2000-2004). Pertama di Indonesia dan gabung PSM, Luciano langsung mencicipi partai final Liga Indonesia 1995-1996.
Beberapa karakter Luciano yang membuat penggemar PSM kagum adalah pekerja keras, lincah, dan tidak macam-macam di luar lapangan. Satu lagi, gaya rambutnya dengan kuncir jadi ciri khas Luciano. Luciano baru merasakan gelar juara di Liga Indonesia VII tahun 2001 bersama Persija Jakarta, 7 Oktober 2001 di Stadion Gelora Bung Karno. Disaksikan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarno Putri, Persija mengalahkan PSM 3-2.
Luciano dianggap sebagai playmaker terbaik dekade 2000 oleh penggemar Persija. Setelah Luciano pensiun, baru muncul deretan pengatur serangan asal Amerika Latin, seperti Lorenzo Cabanas, Alejandro Tobar, hingga Ronald Fagundez.
Pada tahun 2004, Luciano yang sudah gantung sepatu dan kembali ke Brasil membangun sebuah hotel bernama Hotel Makassar. Ia mengabadikan jejak kariernya di Indonesia di hotel itu. Makassar seolah jadi kota yang sangat berarti bagi Luciano. Belakangan, ia dikabarkan segera merapat ke PSM untuk menjadi pelatih.
Carlos de Mello (Brasil)
Umpan yang terukur dan gocekan sepak bola Negeri Samba ala Carlos de Mello membuat Petrokimia Putra jadi tim paling ditakuti di Liga Indonesia edisi perdana musim 1994-1995. Carlos de Mello dan Jacksen F. Tiago jadi pemain Brasil paling sukses pada musim itu, mengalahkan duet kompatriot Brasil di Semen Padang, Claudio Luzardi dan Claudio Oliveira.
Sebagai catatan, pada Liga Indonesia I, ada tren klub memakai jasa pemain asing dari negara yang sama. Selain Petrokimia dan Semen Padang yang mengandalkan pemain Brasil, ada juga Jijie Claudio dan Cinca Marius, pemain asal Rumania yang memperkuat Medan Jaya. Gelora Dewata juga merekrut trio asal Angola, Alfonso Abel Campos, Jeremie Mboh Nyetam, dan Vata Matanu Garcia.
Carlos de Mello kembali berduet bareng Jacksen Tiago di Persebaya musim 1996-1997. Kali ini, ia merasakan gelar juara. Carlos de Mello kembali membawa tim yang ia bela juara pada Liga Indonesia 1999-2000, yakni PSM Makassar.
Antonio “Toyo” Claudio (Brasil)
Antonio Claudio tercatat masih membela klub profesional, Villa 2000, pada kompetisi Divisi Utama 2014. Saat itu, usia Antonio sudah 41 tahun. Antonio termasuk bek Amerika Latin yang kariernya cukup panjang. Selain Antonio, ada juga Patricio Jimenez, bek asal Cile yang masih bermain pada usia 38 tahun bersama Persikad Depok pada Divisi Utama 2014.
Toyo jadi salah satu pemain asing spesial bagi Semen Padang. Semen Padang merupakan klub Indonesia pertama yang ia bela pada 2004-2005. Meski begitu, momen terbaik Toyo bersama Tim Kabau Sirah justru terjadi pada Divisi Utama 2009-2010. Kala itu, ia mengantarkan Semen Padang menempati posisi tiga, sekaligus meraih tiket promosi ke ISL. Toyo begitu dekat dengan Padang setelah mendapatkan istri asal Minang, Deria Eldesmarni.
Cristian Gonzales (Uruguay-Indonesia)
El Loco Gonzales sebagai bomber maut di Indonesia tak terbantahkan. Ia meraih gelar pencetak gol terbanyak, empat kali beruntun sejak Liga Indonesia 2005 bersama Persik Kediri hingga edisi pertama ISL saat berkostum Persik Kediri dan Persib Bandung pada putaran kedua.
Pada Liga Indonesia 2005, Cristian Gonzales membukukan 25 gol. Berikutnya, ia mengoleksi 29 gol. Musim 2007 jadi era tersubur El Loco dengan mencetak 32 gol. Sementara, saat ISL 2008-2009, ia harus didampingi Boaz Solossa yang sama-sama menorehkan 29 gol.
Hal yang membuat El Loco berpengaruh buat Indonesia adalah penampilannya yang cukup konsisten meski usianya hampir kepala empat. Tahun 2015, Gonzales masih mencetak hattrick untuk Arema Cronus di Piala Presiden, saat Tim Singo Edan mengalahkan Bali United di leg kedua perempat final, Minggu (27/9/2015). Trigol itu ia ciptakan lewat kaki kiri, kanan, dan sundulan.
Selain konsisten di klub, Gonzales juga jadi salah satu aktor saat Timnas Indonesia menyita perhatian masyarakat di Piala AFF 2010. Ketika itu ia memang sudah jadi WNI, tepatnya pada 3 November 2010. Gonzales yang awalnya hanya dikenal pecinta sepak bola mendadak jadi idola semua kalangan di negeri ini.
(Artikel ini pernah ditayangkan pada 11 Januari 2016 dengan judul 5 Pesepak Bola Amerika Latin Paling Berpengaruh di Indonesia)