Bola.com, Jakarta - Indonesia sebagai salah satu negara kuat di percaturan bulutangkis dunia tak henti melahirkan talenta-talenta berbakat. Regenerasi pebulutangkis jempolan di Indonesia hampir tak pernah putus, terutama di sektor putra.
Uniknya, Indonesia memiliki beberapa keluarga yang memiliki lebih dari satu pebulutangkis hebat. Satu di antaranya keluarga Arbi, dari Kota Kudus.
Pasangan Ang Tjin Bik (Arbi) dan Goei Giok Nio (Sri Hastuti) memiliki tiga putra yang menekuni bulutangkis hingga menggoreskan prestasi di level dunia. Ketiga anggota keluarga Arbi tersebut layak dilabeli sebagai legenda bulutangkis Indonesia. Mereka adalah Hastomo Arbi, Eddy Hartono, dan Hariyanto Arbi.
Dari ketiganya, Hariyanto Arbi yang prestasinya paling mengilap. Namun, sumbangsih Hastomo dan Eddy Hartono untuk bulutangkis Indonesia juga tak kalah mentereng.
Hariyanto Arbi memang bergelimang prestasi. Pebulutangkis yang berjuluk "Smes 100 Watt" tersebut menjadi bagian tim Indonesia saat merengkuh Piala Thomas 1996, 1998, dan 2000. Di level indivudu, Hariyanto Arbi yang turun di nomor tunggal putra mengantongi dua titel All England, serta jadi juara dunia 1995.
Nama Hariyanto Arbi tidak pernah bisa lepas dari kejuaraan All England. Dia kali pertama mencicipi gelar juara turnamen bulutangkis tertua di dunia itu pada 1993. Momen istimewa itu bertambah spesial karena lawannya di partai puncak adalah sesama pemain Indonesia, Joko Supriyanto.
Gelar All England untuk kali kedua datang setahun berselang. Lagi-lagi Hariyanto Arbi melakoni All Indonesian Final, kali ini menghadapi Ardy Bernadus Wiranata. Pemain yang akrab disapa Hari itu sebenarnya punya kans membukukan hattrick juara All England setelah kembali masuk final pada 1994. Namun, impiannya dijegal oleh Ardy Bernadus Wiranata. Ardy berhasil membalas kekalahan pada edisi final setahun sebelumnya.
Prestasi gemilang Hariyanto lainnya tentu saja gelar juara dunia pada 1995, yang saat itu digelar di Lausanne, Swiss. Medali emas masuk genggaman Hari setelah di partai puncak mengalahkan pemain Korea Selatan, Park Sung-woo.
Menyebut Hariyanto Arbi, publik bulutangkis Indonesia biasanya akan mengaitkan dengan Liem Swie King. Smesh 100 Watt yang menjadi ciri khas Hari disebut-sebut mirip dengan "King Smash" milik Liem Swie King. Tak sedikit yang menyebut Hari sebagai reinkarnasi King.
Seperti dilansir PB Djarum, tehnik lompatan yang Hariyanto Arbi sebenarnya sedikit berbeda dengan Lim Swie King. Menurut Saiful Arisanto dalam buku Biografi Hariyanto Arbi, Lim Swie King akan mundur selangkah baru kemudian melakukan lompatan untuk smes.
Sementara itu, Hariyanto Arbi tidak melangkah mundur, tetapi langsung melompat untuk melakukan smes. Dengan tehnik smes seperti itu Hariyanto Arbi mengalahkan lawan-lawannya. Tentu saja, smes keduanya sama-sama hebat, serta memiliki keunikan masing-masing.
Kini, setelah pensiun dari dunia bulutangkis, Hariyanto Arbi terjun menjadi pebisnis. Dia juga masih kerap terlibat dalam pencarian bakat pebulutangkis-pebulutangkis cilik yang dilakukan PB Djarum.
Hastomo Arbi
Hastomo Arbi merupakan anak kedua dari pasangan Ang Tjin Bik atau yang lebih di kenal dengan Arbi dan Sri Hastuti atau Goei Giok Nio. Hastomo lahir di Kudus, 5 Agustus 1958. Ia merupakan perintis bagi adik-adiknya Eddy Hartono dan Hariyanto Arbi, yang kemudian mengikuti jejak Hastomo sebagai atlet bulutangkis.
Sama seperti Hariyanto Arbi, Hastomo juga merupakan pemain tunggal putra. Prestasi terbaiknya adalah menjadi pahlawan Indonesia saat merebut trofi Piala Thomas 1984.
Kisah perkenalan Hastomo dengan bulutangkis dimulai di daerahnya Kudus. Di Kota Kretek tersebut bulutangkis menjadi permainan favorit anak-anak. Masa itu, Hastomo masih berusia kurang dari 10 tahun. Bapak dan ibunya juga senang bermain bulutangkis, bahkan sang bapak merupakan juara di level Kota Kudus.
“Kalau hari Minggu, saya menunggu orang-orang dewasa main agar mendapatkan shuttlecock bekas. Lalu setiap hari, sepulang sekolah saya bermain bulutangkis bersama teman-teman. Raket yang dipakai, masih raket dari kayu, “ ungkap Hastomo, seperti dikutip dari PBDjarum.org.
Ketika ia berumur 12 tahun, PB Djarum mulai memberikan beasiswa bulutangkis kepada anak-anak. Hastomo merupakan atlet anak-anak kedua yang masuk PB Djarum setelah Liem Swie King. Anggota PB Djarum adalah orang-orang dewasa dan karyawan PT Djarum .
Saat itu, kejuaraan bulutangkis masih sedikit. Ia lebih banyak mengikuti pertandingan persahabatan klubnya seperti ketika bertandang ke klub PB Oke dan PB Rajawali Surabaya. Ada juga pertandingan keliling ke kampung-kampung. Pertandingan resmi baru ia ikuti setahun sekali. Ketika ia berumur 15 tahun, ia dan Liem Swie King mendapat teman berlatih seusianya setelah PB Djarum menerima kembali 8 atlet anak-anak.
Hastomo Arbi punya motivasi khusus saat memutuskan menekuni bulutangkis. “Motivasi menjadi atlet adalah untuk bisa membelikan rumah bagi orang tua. Saat itu kami masih tinggal di rumah kontrakan dan sering pindah-pindah. Jadi alasannya sesederhana itu. Bukan mengejar juara karena saya pesimistis dengan postur saya yang tidak tinggi,” ungkap Hastomo.
Namun, Hastomo menempuh jalan berliku untuk menembus tim nasional bulutangkis Indonesia. Dia sempat gagal enam kali pada tahap seleksi. Hastomo baru menembus Pelatnas pada 1979. Pada tahun yang sama, Hastomo langsung merebut medali emas SEA Games yang berlangsung di Jakarta.
Puncak prestasi Hastomo saat dinobatkan sebagai pahlawan Indonesia pada Piala Thomas 1984 di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada partai final, Indonesia berhadapan dengan China.
Indonesia mampu merebut dua kemenangan melalui nomor ganda, yaitu dari pasangan Christian Hadinata/Hadi Bowo dan Liem Swie King/Kartono. Namun, tunggal pertama dan kedua Indonesia, Liem Swie King dan Icuk Sugiarto kalah. Alhasil, pertandingan harus ditentukan melalui partai penentuan, alias laga kelima. Hastomo Arbi menghadapi Han Jian. Hastomo berhasil menuntaskan misi Indonesia dengan memenangi laga tersebut dan memastikan trofi Piala Thomas diboyong ke Tanah Air.
Setahun berselang, Hastomo pensiun dari Pelatnas. Dia kini masih kerap dilibatkan dalam ajang pencarian bakat yang dilakukan PB Djarum.
Eddy Hartono
Satu lagi, pebulutangkis hebat dari keluarga Arbi adalah Eddy Hartono. Pria yang biasa disapa Kempong itu merupakan kakak Hariyanto Arbi. Prestasinya juga tak kalah membanggakan. Selain itu, Eddy juga dikenal sebagai pebulutangkis yang kerap menyuguhkan pukulan-pukulan akrobatik, seperti memukul shuttlecock dari kedua kaki sembari memunggungi lapangan.
Seperti dikutip dari PB Djarum, bersama Ruddy Gunawan, Eddy Hartono pernah menjadi ganda putra yang disegani pada masanya. Saat itu, peta persaingan ganda putra dunia didominasi oleh pasangan Park Joo-bong/Kim Moon-soo (Korsel), Bingyi/Li Yongbo (China), dan Razif Sidek/Jailani Sidek (Malaysia).
Prestasi tertinggi pasangan Eddy/Ruddy adalah meraih medali perak pada Olimpiade Barcelona 1992. Saat itu, bulutangkis baru kali pertama dipertandingkan di Olimpiade.
Harapan Eddy Hartono/Ruddy Gunawan merengkuh medali emas kandas setelah di partai puncak kalah dari ganda kuat Korea Selatan, Park Joo-bong/Kim Moon-soo. Pada tahun yang sama, Eddy/Gunawan juga meraih gelar All England.
Eddy/Ruddy bukan hanya menorehkan catatan apik di nomor individu. Mereka juga berkontribusi besar untuk Indonesia di kompetisi beregu. Mereka memperkuat tim Indonesia pada ajang Piala Thomas dari 1988 sampai 1994.
Sama seperti dua saudaranya, setelah pensiun Eddy Hartono tetap berkontribusi untuk klub yang sudah membesarkan namanya, PB Djarum.
Sumber: PB Djarum