Sekelumit Catatan Manis Kapten Timnas Indonesia

oleh Gregah Nurikhsani diperbarui 07 Apr 2020, 05:45 WIB
Boaz Solossa, Ricky Yakobi dan Bambang Pamungkas. (Bola.com/Dody Iryawan)

Bola.com, Jakarta - Menjadi kapten untuk tim nasional merupakan tugas berat tiap pesepak bola. Tak cuma dituntut memimpin rekan setimnya, tapi kapten juga memikul tanggung jawab dan harapan seluruh rakyat.

Indonesia yang mayoritas masyarakatnya menggilai sepak bola bukan pengecualian. Kapten Timnas Indonesia tidak hanya mewakili 10 pemain lain, melainkan ratusan juta penduduk dari Sabang sampai Merauke.

Advertisement

Di era 2000-an, Timnas Indonesia identik dengan Aji Santoso. Pelatih Persebaya Surabaya itu pernah menjabat ban kapten oada 1998 hingga 2000 sebelum digantikan oleh kompatriotnya, Bima Sakti pada 2001.

Menjadi seorang Aji Santoso pada waktu itu mungkin sangatlah berat. Sebagai kapten, ia pernah menjadi saksi sepak bola gajah di pentas Piala AFF 1998 kontra Thailand.

Namun demikian, ia membalas kritikan tajam dari Indonesia dan juga dunia dengan membawa Timnas Merah Putih dua tahun berselang. Untuk kali pertama, Skuat Garuda lolos ke final Piala AFF.

Selain Aji, ada sosok Agung Setyabudi, pemain kelahiran Solo yang pernah berseragam Arseto Solo dan Persis Solo serta PSIS Semarang. Semasa kariernya, ia merupakan langganan Timnas Indonesia.

Meski berperan sebagai permain bertahan, Agung dikenal memiliki skill yang bagus dalam memberikan umpan silang. Semasa kepemimpinannya, ia membawa Timnas Indonesia lolos ke final Piala AFF sebanyak dua kali, yakni pada 2002 dan 2004.

 

Video

2 dari 3 halaman

Soetjipto 'Gareng' Soentoro, Belum Tersentuh

Soetjipto Soentoro (Istimewa)

Soetjipto Soentoro adalah satu di antara pemain yang paling lama menjabat kapten. Ia pernah memimpin Timnas Indonesia pada periode 1965 hingga 1970.

Sebutan Gareng dialamatkan padanya lantaran tubuhnya yang mungil. Namun demikian, ia masih tercatat sebagai pencetak gol terbanyak di Timnas Indonesia hingga kini.

Satu momen yang masih membekas adalah ketika Gareng mencetak trigol ke gawang Werder Bremen ketika Timnas Indonesia melakukan tur Eropa.

Usai laga, pelatih SV Werder Bremen yang merangkap pelatih nasional Jerman Barat,Herr Brocker terkesan dan menawarkan Soetjipto, bermain untuk klub Werder Bremen.

Akan tetapi, tawaran itu ditolak oleh Kolonel Gatot Suwago. "Mereka lebih mencintai main untuk bangsanya." ujar sang Kolonel. Alasan lain karena Soetjipto dan kawan-kawan sedang dalam rangka persiapan Asian Games 1966 Tokyo.

Gareng dan Timnas Indonesia yang kala itu masih dihuni Iswadi Idris lantas menjadi salah satu kekuatan terbaik Asia. Mereka bahkan 'cuma' kalah tipis 0-1 dari Dynamo Moscow yang dijaga kiper Lev Yashin.

Prestasi terbaik yang diraih Timnas Indonesia saat Gareng menjabat sebagai kapten tim di antaranya adalah juara Piala Emas Agha Khan 1966 dan Piala Raja 1968.

Selain itu, pada Turnamen Merdeka 1968 di Malaysia, meski hanya sampai semifinal, Gareng sempat membombardir gawang Republik China dengan lima golnya. Timnas Indonesia juga menang telak 11-1, rekor kemenangan terbesar sebelum dilewati oleh kemenangan 13-1 atas Filipina pada Piala Tiger 2002.

3 dari 3 halaman

Mutiara dari Timur Nyaris Tanpa Catatan Hitam

Boas Solossa, Timnas Indonesia. (Bola.com/Nicklas Hanoatubun)

Sebagai daerah penghasil talenta pesepak bola dengan skill di atas rata-rata, Papua seringkali melahirkan pemain dengan nafas seorang pemimpin. Hal itu terlihat nyata pada dua sosok legendaris, Elie Aiboy dan Boaz Solossa.

Nama terakhir yang disebutkan masih aktif bermain hingga sekarang. Sosoknya tak perlu diragukan karena sangat dihormati, baik oleh kawan mau pun lawan.

Pujian pernah terlontar dari Rahmad Darmawan, pelatih Timnas Indonesia pada medio 2013 silam. "Mengenai jabatan kapten, itu adalah bentuk penghargaan saya kepada seniman sepak bola, dia adalah Boaz Solossa."

Figur Boaz begitu disegani karena perangainya yang bagus, baik itu di dalam mau pun luar lapangan. Ia hampir tak pernah terlibat kasus yang mencoreng namanya. Mungkin hanya sekali, ketika ia kecewa karena federasi sepak bola Indonesia dinilainya lamban menangani cedera patah kaki yang sempat ia terima kala membela Timnas Indonesia.

Senada, Elie Aiboy pun memiliki aura kepemimpinan di atas lapangan. Stigma bahwa orang timur berperingai kasar dan urakan sama sekali tak terlihat pada diri Boaz dan Elie.

Untuk Elie, selama tergabung dengan pelatnas, nyaris tidak ada lembaran hitam semasa seragam Timnas Indonesia menempel di tubuhnya. Pun ketika bermain di level klub.

Berbeda dengan Boaz, Elie pernah merasakan karier di Sumatera, tepatnya bersama Semen Padang dan PSMS Medan. Ia juga sempat bergabung dengan Persija Jakarta dan Selangor FC. Meski berbeda tempat dan kultur, Elie Aiboy membuktikan bahwa ia adalah kapten tim yang bisa memberikan perubahan signifikan.

Tak banyak memang prestasi yang ditorehkan Boaz dan Elie. Namun, keduanya tetap mendapatkan tempat di hati pecinta sepak bola Indonesia.

Berita Terkait