Bola.com, Jakarta - Berbagai penelitian terus dilakukan untuk mengetahui cara meredam penyebaran virus corona. Sejumlah penelitian mengungkap virus corona jenis baru tak akan bertahan dalam cuaca panas.
Namun, studi di Amerika Serikat (AS) meragukan pandemi COVID-19 akan berakhir saat musim panas.
Akademi Nasional Sains, Teknik, dan Kedokteran Amerika Serikat dalam laporannya yang dikirimkan ke Gedung Putih mengatakan, "Jangan senang dulu." Setelah mengkaji berbagai laporan penelitian, para ahli menyimpulkan penelitian yang berdasarkan berbagai bukti yang ada tidak memberikan alasan untuk meyakini cuaca musim panas akan memengaruhi penyebaran virus corona jenis baru.
Pandemi ini bisa berkurang karena jaga jarak sosial dan aturan ketat lainnya. Namun, bukti-bukti sejauh ini tidak memberikan keyakinan tentang peran matahari dan kelembapan.
Dikutip dari laman the New York Times, Jumat (10/4/2020), laporan yang diserahkan kepada Kelvin Droegemeier, direktur Kantor Sains dan Kebijakan Teknologi di Gedung Putih sekaligus direktur Yayasan Sains Naisonal, berisi sembilan halaman yang memuat konsultasi para ahli.
"Dari data yang ada saat ini, kami meyakini pandemi ini tampaknya tidak akan musnah karena musim panas, dan kita harus berhati-hati untuk tidak mengambil kebijakan dan strategi berdasarkan harapan semacam ini," kata Kristian Andersen, immunolog dari Institut Penelitian.
"Kita mungkin akan menyaksikan penyebaran virus corona berkurang pada awal musim panas, tapi kita harus hati-hati untuk tidak menganggap itu terjadi karena perubahan iklim--alasan yang lebih masuk akal adalah pengurangan itu terjadi karena kebijakan lain yang diterapkan."
Perilaku Manusia
Perilaku manusia akan menjadi penting. Menurut Dr David Relman yang mempelajari interaksi mikroba di Stanford, jika seseorang batuk atau bersinnya mengandung virus dan berada cukup dekat dengan orang lain, maka suhu dan kelembapan menjadi tidak penting.
Laporan dari Akademi Nasional, lembaga independen yang memberikan nasihat kepada pemerintah dan masyarakat, mengutip sedikit penelitian yang dilakukan laboratorium memperlihatkan suhu tinggi dan kelembapan bisa memusnahkan kemampuan virus corona untuk bertahan hidup di lingkungan demikian. Namun laporan itu mencatat penelitian itu hanya terbatas dan menjadi tidak layak untuk dijadikan kesimpulan.
Meski juga ada catatan yang menyebut sejumlah laporan memperlihatkan pertumbuhan pandemi ini bisa terus naik di kondisi yang lebih dingin, namun penelitian itu sangat sedikit dan terbatas.
"Terutama di AS, berbagai dampak di bulan-bulan musim panas, bisa jadi tidak akan kelihatan jadi cara kita untuk menghentikan virus iani adalah dengan mengambil tindakan karantina," kata Qasim Bukhari, ilmuwan komputasi di MIT yang menulis laporan ini.
Pandemi Flu Sebagai Contoh
Laporan kepada Gedung Putih itu disertai catatan yang harus diperhatikan. "Di negara-negara yang saat ini mengalami iklim musim panas, seperti Australia dan Iran, penyebaran virus di sana cukup cepat, dengan begitu, kelembapan dan suhu yang tinggi di tempat lain tidak bisa menjadi alasan."
Pandemi tidak memiliki sifat yang sama dengan wabah musiman biasa. Dalam laporan Akademi Nasional itu, para peneliti menengok sejarah pandemi flu sebagai contoh.
"Selama ini ada 10 pandemi influenza dalam 250 tahun terakhir--dua bermula di belahan bumi utara yang dingin, tiga di musim semi, dua musim panas, tiga di musim gugur," kata laporan itu.
Kesemuanya mengalami pandemi gelombang kedua kira-kira enam bulan kemudian setelah virus itu muncul di populasi manusia, terlepas dari kapan kejadian pertama itu muncul."
Pada 16 Maret Presiden Trump menyebut virus ini mungkin bisa lenyap di cuaca yang lebih hangat. Dr Anthony Fauci, pakar penyakit menular di AS, mempunyai pendapat yang berbeda soal dampak musim panas terhadap virus corona.
"Hampir bisa dipastikan pada musim panas penyebaran virus ini akan turun sedikit," ujar Fauci.
Tapi pada 26 Maret ketika dia berbicara di Instagram, Fauci menuturkan tidak cukup alasan untuk menganggap musim panas akan bisa memusnahkan penyebaran virus.
Sumber: New York Times
Disadur dari: Merdeka.com (Reporter Pandasurya Wijaya, published: 10/4/2020)