Bola.com, Malang - Dualisme kompetisi di Indonesia pada 2011 membuat sejumlah klub turut mengalami dualisme. Satu di antaranya Arema. Tim berjulukan Singo Edan ini terpecah jadi dua. Satu bermain di Indonesia Super League (ISL) dan satu lagi Indonesia Premier League (IPL).
Maklum, Arema merupakan klub yang punya basis suporter besar. Sehingga tim ini seakan wajib ada dalam dua kompetisi yang berbeda. Tujuannya tak lain membuat dua kompetisi yang berseberangan itu lebih menarik dan dapat dukungan dari suporter.
Tapi ketika kompetisi disatukan lagi musim 2014 silam, dualisme ini tak selesai. Arema FC yang dulunya berlaga di ISL kini tetap eksis di kasta tertinggi.
Sementara Arema Indonesia yang awalnya main di IPL, harus memulai kompetisi dari kasta terendah atau Liga 3 sejak 2017 silam. Padahal mereka pernah bermain di AFC Cup 2012 silam.
Hampir setiap musim, ada saja yang menyuarakan agar Arema menjadi satu lagi. Tapi, hal itu sepertinya mustahil terjadi. PSSI seakan sudah merestui adanya dua Arema sejak 2017 lalu. Hanya waktu yang bisa menjawab tim mana yang bisa eksis ke depannya.
Awal 2020 ini, Arema Indonesia menghilang. Mereka tidak mendaftarkan diri di Liga 3. Persoalan finansial kabarnya membuat mereka kesulitan membentuk tim. Namun, tim ini perlahan dapat dukungan dari sejumlah Aremania yang mayoritas berusia muda. Mereka menganggap Arema Indonesia adalah tim Arema yang asli.
Lantaran tim yang kini dikelola Ramadea Zaenal, putra pendiri Arema, Lucky Adrianda Zaenal, itu konsisten tetap menggunakan logo dan nama klub sebelum terjadi dualisme. Meski tahun ini menghilang, suatu saat mereka bisa muncul kembali.
Video
Proses Dualisme
Musim 2011 jadi awal mula terpecahnya Arema. Awalnya, M. Nur yang jadi Ketua Yayasan Arema Indonesia mendaftarkan Arema untuk berkompetisi di IPL. Pertimbangannya, PSSI waktu itu mengakui IPL sebagai kompetisi resmi. Pendiri Arema Lucky Adrianda Zaenal juga menyetujuinya.
Tapi, tidak demikian dengan pengurus dan pembina yayasan lainnya. Dari sini sudah menandakan ada yang tidak beres dalam internal Yayasan Arema Indonesia. Bendahara Yayasan Arema Indonesia yang tahun itu juga menjadi pembina yayasan, Rendra Kresna, justru berseberangan.
Posisinya kala itu juga sebagai presiden klub Arema (sebelum dualisme) serta Bupati Malang. Rendra dan manajemen lawas Arema tetap membentuk tim dan mendaftarkannya ke ISL. Kebetulan ISL dikelola pengurus operator lama kompetisi Indonesia yang bermuara pada KPSI (Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia). Sebuah komite yang jadi oposisi PSSI. Arema ingin berjuang bersama karena unsur solidaritas.
Secara manajemen klub, Arema ISL juga dihuni orang-orang lama. Kantor manajemen yang digunakan juga sama seperti era sebelum dualisme. Tapi justru Arema IPL yang mewarisi komposisi pemain lama.
Pemain bintang seperti Noh Alam Shah, M. Ridhuan, Kurnia Meiga, Roman Chmelo, Esteban Guillen, Dendi Santoso dan yang lainnya dikontrak oleh Arema IPL. Hanya saja mereka harus membuat kantor baru dan menggunakan Stadion Gajayana Malang sebagai homebasenya.
Maklum, tim tersebut dapat sokongan dana besar dari Ancora Group. Dana besar digelontorkan untuk merekrut para pemain tersebut. Kabarnya nominal kontrak yang diberikan tergolong tinggi waktu itu. Tapi, konflik internal seperti tak pernah usai di Arema IPL. M. Nur pecah kongsi dengan Lucky. Itu juga membuat tim Arema IPL sempat terpecah menjadi dua.
Dalam sebuah pertandingan awal musim IPL 2012, ada dua tim Arema yang hadir di Stadion Gajayana untuk bersiap menghadapi Bontang FC. Satu tim ditangani Milomir Seslija, satu lagi Abdulrahman Gurning. Tapi, konflik itu sempat berakhir setelah M. Nur menghilang tanpa kabar.
Arema IPL pun lumayan berjaya tahun itu dengan finish di urutan ketiga IPL serta masuk perempat final AFC Cup. Sayangnya, beragam konflik awal musim membuat mereka ditinggalkan Aremania.
Nasib yang Tertukar
Sementara Arema ISL awal 2012 harus terseok-seok. Faktor finansial membuat komposisi tim yang dibentuk tidak ideal. Mereka sempat tiga kali ganti pelatih. Dari Wolfgang Pikal, Joko Susilo, dan Suharno. Tapi, di tengah musim mereka dapat angin segar.
Mereka sukses membajak sejumlah pemain kunci dari Arema IPL. Seperti Ahmad Alfarizi, Sunarto, Hendro Siswanto, M. Ridhuan, dan Kurnia Meiga.
Unsur kedekatan manajemen lama yang berperan. Dukungan dari Aremania pun kembali didapatkan. Pada akhir musim, Arema selamat dari degradasi.
Musim 2013, kedua tim Arema seakan bertukar nasib. Arema IPL ditinggalkan Ancora karena adanya konflik internal lagi sehingga mereka tak punya amunisi lagi untuk berburu pemain. Sementara Arema ISL dapat kucuran dana dari Cronus Group yang merupakan anak perusahaan Bakrie.
Arema sempat berubah nama menjadi Arema Cronus yang bergelimang dana. Proyek Los Galaticos membuat tim ini dapat simpati penuh Aremania. Hingga kini mereka eksis di kasta tertinggi dengan nama Arema FC. Meski tidak menyusu pada Bakrie lagi, manajemen mulai sehat secara finansial. Sementara Arema Indonesia masih tertidur pada tahun ini.
Baca Juga
Deretan Pemain Naturalisasi Timnas Indonesia yang Sebaiknya Main di Piala AFF 2024: Ngeri-ngeri Sedap Kalau Gabung
Mengulas Rapor Buruk Shin Tae-yong di Piala AFF: Belum Bisa Bawa Timnas Indonesia Juara, Edisi Terdekat Bagaimana Peluangnya?
Bintang-Bintang Lokal Timnas Indonesia yang Akan Turun di Piala AFF 2024: Modal Pengalaman di Kualifikasi Piala Dunia