Bola.com, Solo - Sepak bola di Kota Solo memiliki sejarah yang cukup panjang. Lahirnya Persis Solo pada 1923 merupakan bukti sepak bola begitu hidup di jantung Pulau Jawa, bahkan sebelum beberapa klub besar terbentuk.
Solo bersama sejumlah daerah di Jawa menjadi cikal bakal lahirnya PSSI. Jejak sejarah sepak bola di Kota Bengawan juga begitu kental. Selain nama Persis Solo, Stadion Sriwedari juga begitu legendaris sebagai Stadion pertama untuk gelaran PON I tahun 1948.
Persis Solo yang begitu tersohor sebelum Indonesia merdeka, tenggelam oleh munculnya tim dari wilayah lain yang lebih kuat. Catatan juara perserikatan sebanyak tujuh kali seakan hanya menjadi sebuah cerita masa lalu.
Persis yang tidur membuat Kota Bengawan seperti menjadi surga bagi sejumlah klub musafir.
Pada medio awal 1980-an hingga awal dekade 2000. Total terdapat empat tim pernah bermarkas di kota yang menjadi kampung halaman Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi). Keempatnya seolah memanfaatkan tenggelamnya Persis yang tak kunjung bangkit menapaki masa kejayaan.
Bola.com merangkum sejumlah pengaruh Kota Solo hingga menjadi favorit bagi tim dari luar daerah untuk bermarkas di sana. Setiap klub yang pernah hijrah ke Solo juga meninggalkan kesan di kalangan penikmat sepak bola di kota ini.
Video
1. Diawali oleh Arseto
Klub peserta kompetisi Galatama asal Jakarta ,yakni Arseto memutuskan hijrah ke Solo pada tahun 1983. Klub kaya raya milik keluarga Cendana yakni Sigit Harjojudanto ini begitu tersohor kala itu.
Tim berjulukan biru langit pernah memiliki sederet pemain hebat pada masanya. Di antaranya Ricky Yakob, Sudirman, Nasrul Kotto, Inyong Lolombulan, Rochi Putiray, hingga generasi terakhir seperti I Komang Putra dan Agung Setyabudi.
Gelar juara Galatama tahun 1992 menjadi kebanggaan Arseto dan masyakarat Solo pada waktu itu. Stadion Sriwijaya yang menjadi homebase selalu penuh sesak untuk menyaksikan tim yang pernah memiliki julukan miniatur Timnas Indonesia.
Arseto begitu dielu-elukan publik Solo sebagai tim kebanggaan dengan prestasi gemilang. Secara tidak langsung lupa dengan nama Persis Solo yang memang tak dapat beranjak dari kasta bawah.
Namun seiring lengsernya Presiden Soeharto, membuat Arseto dibubarkan pada tahun 1998. Kompetisi yang ditetapkan force majeure saat itu sekaligus menjadi jejak terakhir Arseto di sepak bola Indonesia.
Stadion Manahan yang dibangun sebenarnya untuk Arseto, ternyata hanya menjadi mimpi bagi klub itu. Karena Arseto belum sempat menjejakkan permainan di stadion kebanggaan masyarakat Solo.
2. Klub Keluar Masuk Era Milenium
Setelah sejarah panjang Arseto di tanah Surakarta, publik sepak bola Solo seperti rindu untuk memiliki tim yang benar-benar bisa dibanggakan.
Hanya kurang dari dua tahun setelah Arseto bubar, sejumlah klub datang dan pergi bak cendawan musim hujan. Pelita Bakrie hijrah dari markasnya di Stadion Lebak Bulus untuk berkandang di Solo pada tahun 2000, dan bertranformasi menjadi Pelita Solo.
Pelita Solo merupakan tim pertama yang berkandang di Stadion Manahan. Hanya dua tahun saja tim asal Ibukota Jakarta ini mengobati dahaga para penikmat bola di Solo. Pelita Solo sebagai tim besar memiliki skuat impian dengan banyak pemain berkualitas di skuatnya.
Setelah Pelita hijrah ke Cilegon pada 2002, Solo kembali kedatangan tim dari Jakarta di tahun yang sama. Giliran Persijatim yang ikut bermusafir di Kota Solo. Kala itu, Stadion Manahan yang 'nganggur' karena Persis masih berkutat di Divisi 1, dimanfaatkan oleh Persijatim.
Keputusan Persijatim boyongan ke Solo juga cukup tepat. Di daerah asalnya Jakarta, kalah mentereng dibandingkan Persija Jakarta. Meskipun dalam satu kasta, Persijatim seperti anak tiri ketimbang Persija yang lebih diperhatikan.
Masyarakat Solo ternyata sangat antusias dan dengan mudah menerima kehadiran Persijatim. Diperkuat dengan rindunya warga kota batik akan tontonan tim besar sepeninggal Arseto, menjadi alasan tersendiri.
Kemudian lahirlah Persijatim Solo FC untuk mengarungi kompetisi Divisi Utama (kasta tertinggi Liga Indonesia) saat itu. Kelompok suporter Pasoepati yang ditinggal Pelita, juga total dalam mendukung kiprah Persijatim Solo FC.
Nama terakhir klub asing yang mampir di Stadion Manahan adalah Solo FC pada tahun 2011. Kisruh di tubuh PSSI kala itu menjadikan Indonesia memiliki kompetisi tandingan bernama Liga Primer Indonesia (LPI).
Solo ternyata tidak ketinggalan untuk terlibat di dalam kompetisi tersebut. Lahirnya nama Solo FC yang dihuni skuat mentereng termasuk empat pemain asing maupun di jajaran tim pelatih.
Solo FC menjadi tonggak sejarah bergulirnya LPI 2011 dengan menjadi laga pembuka melawan Persema Malang di Stadion Manahan. Namun Solo FC hanya dapat bertahan seumur jagung, seiring dibubarkannya kompetisi LPI.
3. Antusiasme dan Fanatisme Penggila Bola di Surakarta
Besarnya antusiasme para penggila bola di Solo dan sekitarnya, menjadi alasan utama begitu banyak tim yang datang. Persis Solo seperti 'kepala' bagi sejumlah klub lokal di wilayah karesidenan Surakarta.
Klub lain, yakni Persiharjo Sukoharjo, Persika Karanganyar, PSISra Sragen, Persebi Boyolali, dan Persiwi Wonogiri, selalu tenggelam di bawah bayang-bayang nama besar Persis.
Perhatian untuk menyaksikan pertandingan sepak bola selalu tertuju ke Stadion Manahan. Apabila Persis berlaga di Stadion Manahan untuk sebuah partai krusial, hampir dipastikan penonton bakal penuh sesak.
Mereka tidak hanya datang sebagai fans fanatik Persis Solo yang tergabung dalam Pasoepati atau Surakartans. Bisa jadi warga dari Kabupaten penyangga Solo yang butuh tontonan sepak bola, rela untuk datang.
Stadion Manahan representatif karena lokasi strategis. Tidak hanya untuk tim yang berkandang di sana. PSSI dan Timnas Indonesia seringkali memakai Manahan demi mendapatkan dukungan penuh dari publik Solo.
Stadion Manahan tercatat pernah ditunjuk sebagai tuan rumah final Liga Indonesia 2006, final Piala Indonesia 2010, final Divisi Utama beruntun 2010, 2011 dan 2011, dan 2013. Persibo Bojonegoro, Persiba Bantul, Persebaya, punya momen spesial juara Divisi Utama di Solo.
Bahkan tim Persik Kediri harus menggunakan Stadion Manahan untuk mengarungi babak penyisihan grup Liga Champions Asia pada tahun 2007. Sementara Timnas Indonesia kerap menggelar pemusatan latihan di solo dan memainkan laga internasional di Manahan.
Dengan melawan tim seperti Palestina, Filipina, hingga Malaysia. Menariknya, Timnas selalu mencatatkan kemenangan atas lawan-lawannya setiap tampil di Stadion Manahan.
Baca Juga