Pusingnya PSSI Berperang Melawan Pandemi Virus Corona COVID-19 dan Diri Sendiri

oleh Ario Yosia diperbarui 16 Apr 2020, 11:23 WIB
Kolom Ario Yosia - Pengurus PSSI (Bola.com/Adreanus Titus)

Bola.com, Jakarta - Pandemi corona COVID-19 yang melanda seantero dunia menghantam berbagai sendi-sendi kehidupan manusia. Resesi ekonomi global tak bisa dihindari. Industri sepak bola, satu di antara elemen yang ikut terkena imbas wabah penyakit yang mematikan ini. Sepak bola Indonesia ikutan ambruk gara-gara penyebaran virus yang tak terkendali.

Hampir semua event sepak bola berhenti total. Mulai dari kompetisi profesional di banyak negara hingga laga-laga resmi internasional agenda FIFA.

Advertisement

Dampak nyata dari penghentian perputaran uang industri bal-balan ikut mati. Klub-klub kaya Premier League, La Liga, Serie A, ramai-ramai menggergaji bayaran para pemainnya agar terhindar dari kebangkrutan.

Sepak bola Indonesia ikut terseret dalam pusaran krisis. Kompetisi kasta elite Shopee Liga 2020 dan kompetisi turunannya Liga 2 berhenti total. Padahal, klub-klub baru menjalani pertandingan dalam hitungan jari kecil.

PSSI sebagai induk semang sepak bola di negara kita bereaksi cepat. PSSI menerbitkan putusan terkait kompetisi musim 2020 di tengah pandemi virus corona. Kompetisi itu sendiri meliputi Liga 1 dan Liga 2 2020.

Dalam salinan surat PSSI, terdapat enam butir putusan. Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan.

Satu di antara putusan yang menarik perhatian adalah, tidak tertutup kemungkinan PSSI menghentikan kompetisi secara total. Ini akan dilakukan jika status darurat COVID-19 masih diperpanjang oleh pemerintah melebihi 29 Mei 2020.

Jika kurang dari itu, PSSI memerintahkan PT Liga Indonesia Baru (LIB) selaku operator kompetisi untuk kembali menjalankan liga.

"Statusnya force majeure, dalam arti ikut tanggap darurat virus corona (COVID-19) dari Pemerintah Republik Indonesia sampai tanggal 29 Mei 2020. Jika Pemerintah RI memperpanjang tanggap darurat maka kompetisi diberhentikan," demikian bunyi petikan surat itu.

"Namun jika tanggap darurat tidak diperpanjang kompetisi dijalankan pada 1 Juli 2020," tambah surat tersebut tertanggal 27 Mei 2020. Sebagai informasi, PSSI telah menghentikan kompetisi sejak 16 Maret lalu.

Awalnya, penghentian kompetisi dilakukan selama dua pekan, namun diubah hingga waktu yang belum ditentukan.

"Hal-hal terkait teknis termasuk namun tidak terbatas pada penjadwalan, sistem dan format kompetisi, kewajiban klub terhadap pihak ketiga, sistem promosi dan degradasi, akan diatur kemudian dalam Surat Keputusan yang terpisah," tulis PSSI dalam suratnya.

"Surat Keputusan ini mulai berlaku terhitung sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan apabila kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam Surat Keputusan ini, maka akan diadakan perbaikan sebagaimana mestinya."

Keputusan yang pastinya menohok bagi klub-klub peserta, yang bertahan hidup dan memutar rumah tangga organisasi dari berputarnya kompetisi.

Sebelumnya PSSI juga menginstruksikan, klub peserta Liga 1 dan Liga 2 dapat melakukan perubahan kontrak kerja yang disepakati antara klub dan pemain, pelatih serta ofisial atas kewajiban pembayaran gaji di bulan Maret-Juni 2020 yang akan dibayarkan maksimal 25 persen dari kewajiban yang tertera di dalam kontrak kerja.

 

 

Video

2 dari 4 halaman

Dimaknai Berbeda

Pemain Persita Tangerang, Edo Febriansyah, melakukan selebrasi usai membobol gawang PSM Makassar pada laga Shopee Liga 1 di Stadion Sport Center Tangerang, Jumat, (6/3/2020). Kedua tim bermain imbang 1-1. (Bola.com/M Iqbal Ichsan)

Surat itu dimaknai berbeda-beda oleh petinggi klub. Pemotongan gaji bervariasi. Ada klub yang ekstrem macam Persita Tangerang yang hanya mau membayarkan 10 persen gaji ke para pemain dan ofisial tim.

Pemain yang jadi korban bergolak. Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI)  yang merasa tidak dilibatkan PSSI dalam perumusan keputusan pemotongan gaji, protes keras. Organisasi yang dipimpin Firman Utina kemudian meminta bantuan FIPro, organisasi internasional yang mewadahi pesepak bola. FIPro langsung menyurati PSSI, mempertanyakan kenapa mereka tidak melibatkan APPI.

Pengurus teras PSSI gusar dengan situasi ini. Salah satu anggota Komite Eksekutif PSSI, Yoyok Sukawi, yang juga berstatus pemilik klub PSIS Semarang melontarkan kalimat nyinyir soal protes pemain berkaitan pengurangan gaji.

Pria yang juga berstatus anggota DPR RI itu berujar pemain semestinya tak boleh protes. Gaji yang mereka terima setelah dipotong masih bisa dipakai buat hidup, di atas rata-rata kebanyakan orang Indonesia. Yoyok menggunakan bahasa satir: gaji pemain bola sebulan bisa dipakai untuk memberi makan orang sekampung.

Reaksi tersebut wajar. Klub juga jadi pihak yang menderita dengan pandemi COVID-19. Rancangan bisnis mereka yang melibatkan pihak ketiga, sponsor buyar! Mereka tidak mendapat pemasukan sama sekali dari hasil penjualan tiket pertandingan karena kompetisi dihentikan.

Dan benar, kata Yoyok, gaji pemain-pemain Liga 1 di atas rata-rata penghasilan orang biasa. Kisarannya menembus 1 hingga 2 miliar rupiah per musim. Saat teken kontrak, mereka sudah mendapat uang muka yang dipotong dari keseluruhan kontrak bervarisasi antara 10 hingga 25 persen. Intinya pemain masih bisa hidup.

APPI tak mau kalah dalam beragumen, mereka menyebut perjuangan mereka didasari fakta banyak di antara pesepak bola, terutama di kompetisi kasta kedua, bakal menerima gaji di bawah UMR ketika klub menjalankan instruksi PSSI.

Suara-suara yang meminta PSSI lebih baik menghentikan kompetisi mulai bermunculan.

"Saya tak mau berandai-andai. Lebih baik, kompetisi 2020 di-shutdown (dihentikan). Kita restart sepak bola Indonesia ke 2021, sehingga pemain dan klub dapat kepastian dan fokus ke musim 2021,” kata Haruna Somitro, manajer Madura United.

Wajar jika klub berkeras untuk memotong gaji pemain. Mereka dibayangi trauma penghentian kompetisi pada musim 2015 silam. Saat itu kompetisi disetop paksa Kemenpora, Imam Nahrawi, yang terlibat konflik dengan Ketua Umum PSSI, La Nyalla Mattalitti.

Dampak kerusakannya menyebar ke mana-mana. Karena tak siap dengan aturan pendukung di saat menghadapi kondisi, klub-klub terlibat utang dalam jumlah besar hingga bertahun-tahun.

"Saya trauma bertahun-tahun kalau mengingat kejadian itu. Saya dikejar-kejar banyak orang, utang klub ada di mana-mana. Bagaimana mau membayarnya? Persija tidak punya pemasukan, kesepakatan sponsorship buyar semua," komentar Ferry Paulus yang beberapa tahun lalu menjabat sebagai Presiden Persija.

3 dari 4 halaman

Proteksi Sponsor

Ketua PSSI, Mochamad Iriawan, bersama Direktur Program SCM, Harsiwi Achmad, dan perwakilan dari 18 klub tim saat launching Shopee Liga 1 di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin (24/2). Sebanyak 18 klub pamerkan jersey untuk kompetisi Shopee Liga 1 2020. (Bola.com/Yoppy Renato)

Mochamad Iriawan alias Iwan Bule yang kurang dari setahun menakhodai PSSI, perlu belajar dari sejarah. Bukan bermaksud menakut-nakuti, pandemi corona COVID-19 bisa jadi lonceng kematian bagi sepak bola nasional.

Ribuan pesepak bola yang menggantungkan hidup dari merumput di lapangan terancam kehilangan periuk nasi. Cerita-cerita sedih bagaimana para pesepak bola mengais rezeki karena mata pencahariannya mati bakal kembali nyaring terdengar.

Iwan Bule dkk. melontarkan ide perubahan format kompetisi menjadi turnamen untuk mengakali durasi waktu yang terbuang karena pandemi.

Sepintas gagasan ini brilian, menjadi sebuah solusi untuk menghindari matinya roda bisnis sepak bola Indonesia. Lewat sebuah turnamen, Indonesia dengan cara instan bisa memunculkan klub-klub yang menjadi wakil di ajang AFC. Benarkah sesederhana itu?

Kalau ditelaah lebih dalam, ide ini bisa menyimpan bom waktu yang punya daya ledak tinggi.

Pertanyaan pun mencuat: apakah PSSI sudah mengajak bicara pihak sponsor dan pemegang hak siar berkaitan dengan solusi ini?

Konsep kompetisi dan turnamen jelas berbeda. Mulai dari durasi waktu, format pertandingan, hingga aturan main. Besaran uang sponsorship otomatis bakal tereduksi seiring perubahan tersebut. Apakah Shopee sebagai sponsor utama serta Grup EMTEK sebagai pemegang hak siar setuju dengan tetek-bengek perubahan ini?

Mereka tentu perlu menghitung ulang kalkukasi ekonomis penyelenggaraan sebuah turnamen pengganti kompetisi. Ya, bisa saja PSSI dengan gampang saja mengambil jalan pintas, membatalkan kesepakatan lawas dengan para mitra mereka dengan alasan force majeure, untuk kemudian mereka mencari kolega bisnis baru untuk mendanai turnamen ini.

Tapi tentu keputusan ini bakal jadi preseden buruk. PSSI tidak memproteksi mitra-mitra bisnis mereka yang bertahun-tahun mendukung pendanaan aktivitas organisasi.

Melihat hal itu, perusahaan-perusahaan lain mungkin bakal jiper diajak bekerja sama. Itu dengan logika dasar masih ada mitra kakap yang masih mau diajak kerja sama. Di tengah resesi ekonomi global imbas pandemi corona, banyak perusahaan-perusahaan besar ngos-ngosan bertahan hidup. Lantas dari mana PSSI dapat uang untuk memutar turnamen?

4 dari 4 halaman

Masalah Baru: Sekjen Mundur

Jauh sebelum mengundurkan diri sebagai Sekjen PSSI, Ratu Tisha sudah mencuri perhatian publik (Dok.Instagram/@ratu.tisha/https://www.instagram.com/p/ByxnDnbgwbk/Komarudin)

Di tengah situasi pelik untuk mencari solusi terbaik mempertahankan eksistensi kompetisi, PSSI diberondong masalah baru. Sekjen PSSI, Ratu Tisha, pada Senin (13/4/2020) secara mendadak mengumumkan pengunduran dirinya.

Ratu Tisha, yang baru tiga tahun terakhir berkecimpung di PSSI, kelihatannya jengah melihat kondisi internal federasi. Wanita asal Banten yang punya rapor mentereng ini punya andil membuat Indonesia menang bidding sebagai tuan rumah Piala Dunia 2021, meski terjebak dalam situasi tak mengenakkan di bawah rezim baru kepengurusan PSSI.

Pendiri lembaga statistik olahraga Labbola tersebut dipilih sebagai Sekjen PSSI di era kepengurusan Edy Rahmayadi. Ia jadi sosok vital yang mengendalikan organisasi saat Edy tiba-tiba mengundurkan diri pasca kegagalan Timnas Indonesia di Piala AFF 2018, plus prahara kasus hukum match fixing yang mendera pengganti sementaranya, Joko Driyono.

Bukan rahasia lagi, sudah menjadi kebiasaan umum di PSSI, posisi sekjen amat strategis dan kental dengan aroma politis. Orang-orang yang menduduki posisi ini adalah figur-figur kepercayaan orang nomor satu di PSSI. Mereka adalah sosok-sosok yang selalu menjadi bemper sang ketua dalam bereaksi dengan dunia luar. Baik dengan media, stakeholder olahraga, atau otoritas sepak bola internasional.

Para sekjen merepresentasikan sebuah rezim di PSSI. Mungkin hanya sosok Nugraha Besoes, yang muncul sebagai sekjen tangguh, yang bisa tetap kukuh di posisinya di tiga kepengurusan PSSI: Kardono, Azwar Arnas, hingga Nurdin Halid. Sisanya berumur pendek, karena mereka figur yang merepresentasikan kekuasaan sebuah rezim.

Tri Goestoro, Halim Mahfudz, Joko Driyono, hingga Azwan Karim, jabatannya sebagai sekjen berumur pendek mengikuti rezim kepengurusan yang mengangkat mereka. Ratu Tisha menjadi contoh terkini.

Dicap sebagai bagian rezim Edy Rahmayadi dan Joko Driyono, wanita bergelar FIFA Master tersebut diprediksi sejak awal bakal lengser cepat pada era kepengurusan Mochamad Iriawan yang ingin melakukan perubahan perwajahan di PSSI.

Tanda-tanda terpinggirkannya Tisha sudah terlihat sejak awal kepengurusan berjalan. Ia yang sebelumnya kerap muncul ke publik, mendadak hilang ditelan bumi. Mencuat rumor kalau hal itu merupakan instruksi Iwan Bule langsung, yang menginginkan sosok Cucu Soemantri yang jadi corong organisasi ke publik.

Permohonan maaf terbuka Iwan Bule seusai protes anggota DPR, Djohar Arifin Husin, soal beberapa hal berkaitan kinerja Ratu Tisha dalam Rapat Dengar Pendapat baru-baru ini, mempertegas kalau sang presiden federasi sudah tak menginginkan jasa sang sekjen.

Permintaan maaf itu terkesan naif, ketua PSSI seperti lupa bahwa protes dilakukan Djohar yang notabene pernah jadi bagian rezim di PSSI yang disingkirkan gerbong Joko Driyono. Ia tidak memproteksi bawahannya dari aksi balas dendam orang yang pernah sakit hati di masa lalu. Amat disayangkan.

Sebenarnya wajar saja jika Iwan Bule menginginkan sosok sekjen baru, sesuai ekspektasinya. Lepas dari kinerja Tisha yang mentereng dan ia amat dicintai publik, secara fair kinerja wanita kelahiran 30 Desember 1985 masih punya banyak catatan.

Di eranya menduduki posisi sekjen, sejumlah kasus pengaturan skor di pentas kompetisi terjadi. Di sisi lain prestasi Timnas Indonesia di event internasional Piala AFF 2018 dan Kualifikasi Piala Dunia 2022 juga jeblok. Ia bagian dari rezim yang gagal. Intinya wanita lulusan ITB itu juga bukan sosok sempurna, walau tak terbantahkan ia sosok yang cukup kompeten membidani sekjen.

Kepergian sekjen jadi pekerjaan rumah bagi Mochamad Iriawan. Publik menanti jagoan baru yang akan dimunculkan sang Komisaris Jenderal Polisi Indonesia. Apakah sekjen baru bakal lebih berkualitas dibanding pendahulunya, atau malah lebih jeblok rapornya? Waktu yang bisa menjawab.

Dengan seakbrek masalah yang dihadapi, saya berharap Iwan Bule bisa fokus bekerja on the track mengurai dan mencari solusi terbaik menjaga kemapanan PSSI sebagai sebuah organisasi besar.

Beliau wajib serius. Iya serius. Karena problematik yang dihadapi PSSI bukan sesuatu yang ringan. Tak bisa diselesaikan ucapan kata-kata manis tanpa ada langkah strategis nyata.

Bukan apa-apa jika masalah ini gagal dikendalikan, amat mungkin terjadi akan menjadi senjata makan tuan bagi sang pria kelahiran Jakarta, 31 Maret 1962. Ia bisa mengulang jejak kelam para pendahulunya yang akhirnya lengser sebagai nakhoda PSSI. Tapi saya masih percaya, Iwan Bule bisa melalui badai ini. Selamat bekerja Pak Jenderal!

Berita Terkait