Bola.com, Jakarta - Sudah 14 tahun, Boaz Solossa berkarier di sepak bola Indonesia. Pemain Persipura berusia 34 tahun jadi sosok disegani. Ia disebut penyerang terbaik yang dimiliki Timnas Indonesia setelah era Bambang Pamungkas.
Boaz Solossa lahir dari keluarga besar dengan kultur sepak bola kuat. Ia bukan satu-satunya pesepak bola di keluarga trah Solossa.
Ayah Boaz merupakan pesepak bola. Almarhum Christopher Solossa merupakan pesepak bola amatir di kampung halamannya Sorong, Papua. Darah sepak bolanya lahir dari mendiang bapaknya, Boaz Boehrit Solossa. Ia fans berat klub Persipura Jayapura di era 1990-an.
"Sanking fanatiknya cinta ke Persipura, ia rela melakukan perjalanan jauh dengan naik sepeda dari Sorong menuju Jayapura," cerita seorang paman Boaz, Thobias Solossa, kepada penulis beberapa tahun silam.
Nama Boaz diambil dari nama depan kakeknya. Tak cemerlang berkarier sebagai pesepak bola, Christopher Solossa banting setir fokus ke pendidikan untuk meniti karier sebagai pegawai negeri. Walau begitu rasa cintanya tetap besar buat dunia sepak bola.
Ia mendirikan sebuah SSB bernama Putra Yohan pada 1985 di kampung halamannya. SSB ini awal karier Boaz menekuni sepak bola.
Menariknya posisi bermain sang ayah dengan Boaz, keduanya sama-sama seorang striker. Christopher sempat berkarier di klub Garuda Sorong.
Selain Boaz ada empat abangnya yang meretas karier sebagai pesepak bola. Yang pertama abang tertuanya, Joice Solossa.
Almarhum Joice, merupakan kapten Tim Provinsi Papua di PON 1996. Ia berposisi sebagai bek, dan sempat digadang-gadang sebagai pemain masa depan Bumi Cendrawasih.
Tim Papua dimanajeri Jaap Solossa, paman Boaz yang dikemudian hari jadi Gubernur Papua. Jaap sendiri merupakan kiper tangguh pada era 1960-an di klub kampung halamannya Sorong.
Namun, karier Joice terhenti gara-gara kasus pemukulan pelatih Jawa Timur, J.A.Hattu di laga final PON. "Joice kena larangan bermain selama dua tahun. Akhirnya dia pilih gantung sepatu untuk kemudian fokus kuliah di Universitas Cendrawasih," cerita Thobias Solossa.
Menariknya ternyata tak hanya ayahnya saja yang pernah jadi pemain bola. Merry Sarobi, ibunda Boaz dulu saat muda tercatat sebagai seorang pemain Galanita di Sorong.
"Saya dan dua putri saya sempat jadi pemain. Kami memang dibesarkan dalam keluarga yang cinta sepak bola," cerita Merry. Pasangan Christopher-Merry punya enam anak, di mana empat di antaranya laki-laki.
Christopher tiap hari mengasah bakat anak-anaknya. Putra keduanya Ortizan Solossa hasil didikannya kemudian sukses menapaki karier sebagai pesepak bola profesional. Ortizan yang berposisi sebagai bek sayap sejak usai belia sudah merantau ke Makassar. Ia tercatat pemain PSM Makassar.
Video
Meninggal di Lapangan
Ortizan sukses mempersembahkan gelar Liga Indonesia musim 2000 buat Tim Juku Eja. Sebuah kebanggaan bagi keluarga besarnya.
Cerita sedih dirasakan Ortiz, saat dirinya tidak bisa mendampingi langsung sang ayah jelang kepergiannya. Christopher terkena serangan jantung saat ikut serta dalam laga ekshibisi bertajuk Jago Kapok. Ia turun membela melawan tim pejabat daerah Sorong meladeni pasukan PWI Sorong pada 6 Februari 2000.
Saat Christoper menjabat sebagai Camat Sorong Barat. Boaz ada di pinggir lapangan ketika melihat ayahnya tiba-tiba tumbang. "Abang Orti saat itu sedang ada di Makassar bermain di PSM. Saya yang saat itu mengendong papa menuju rumah sakit. Sedih rasanya saat melihat langsung kejadian," kenang Boaz.
Kejadian tersebut kian memacu semangat Boaz Solossa untuk menekuni sepak bola. "Saya ingin jadi pemain yang sukses agar papa di surga bangga," ujar pemain yang identik dengan nomor punggung 86 sesuai tahun kelahirannya.
Bakat Boaz mulai mendapat perhatian saat ia tampil di Piala Suratin U-17 2004 membela Perseru Serui. Ia diboyong Rully Nerre ke tim PON Papua yang akan berlaga di PON Palembang 2004.
Di ajang tersebut Papua juara bersama dengan Jawa Timur. Nama Boaz mencuat jadi top scorer dengan koleksi 10 gol.
Penampilan memikat Boaz di tim daerah membuat pelatih Timnas Indonesia, Peter Withe, kepincut berat. Ia meminta kepada PSSI agar sang pemain bergabung.
Proses pemanggilan Boaz ke timnas berbelit-belit. Sang paman, Jaap Solossa yang sudah jadi Gubernur Papua, tak rela keponakannya harus bolak-balik Sorong-Jakarta, di saat dirinya sedang fokus menjalani pendidikan di tingkat SMA.
"Buat keluarga besar Solossa, pendidikan hal paling penting. Tidak boleh di antara kami yang jadi orang bodoh. Semua harus punya ijasah perguruan tinggi," tutur Jaap dalam sebuah wawancara pada periode 2005.
Belakangan, setelah dibujuk akhirnya Jaap luluh. Sejatinya Boaz ingin membela Tim Merah-Putih. "Almarhum papa pasti amat bangga," katanya.
Piala AFF 2004 jadi etalase kehebatan sang pemain. Walau belum berstatus sebagai pemain profesional ia langsung jadi pemain inti. Berduet dengan Ilham Jaya Kesuma di sektor depan, mereka jadi momok menakutkan bagi tim lawan.
Di pentas turnamen Boaz akhirnya bersanding dengan abangnya Ortizan yang juga jadi bagian skuat Tim Garuda.
Ortizan jadi sosok yang paling emosional ketika Boaz mendapat tekel horor di leg pertama final Piala AFF 2004 melawan Singapura. "Ingin rasanya saya menonjok muka Bhaihaki Khaizan. Ia sengaja ingin mencederai adik saya," kata Ortizan.
Berjaya Bareng di Persipura
Setelah Piala AFF 2004, kedua abang beradik beda jalan dalam meretas karier. Boaz dikontrak klub kampung halamannya, Persipura Jayapura. Sementara Ortizan digaet Persija Jakarta.
Momen mengharukan terjadi ketika keduanya kembali bersua di final Liga Indonesia 2005 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan. Ortizan akhirnya harus rela melihat adik kandungnya meraih trofi kasta tertinggi bersama Tim Mutiara Hitam setelah mereka menang 3-2 atas Tim Macan Kemayoran.
"Akhirnya ada dua keluarga Solossa mengangkat piala Liga Indonesia. Kebahagiaan Boaz juga menjadi kebahagiaan saya," ujar Ortizan.
Jaap sempat meminta Ortizan mudik ke Papua, namun yang bersangkutan menolak karena keinginannya mengembara di luar pulau.
Keduanya pemain kemudian baru bereuni di Persipura pada musim 2008-2009, setelah semusim sebelumnya Ortizan sempat membela Arema FC.
Boaz dan Ortizan sukses mempersembahkan tiga gelar Indonesia Super League buat Persipura (musim 2008-2009, 2010-2011, dan 2013).
Ortizan memutuskan pindah ke Persiram Raja Ampat pada musim 2014 sebelum dua musim berselang memutuskan gantung sepatu dan kini sibuk menjadi Sekda di Papua Barat.
Kehebatan Boaz sebagai predator tajam mencetak gol belum ada yang bisa menandingi hingga saat ini. Selain mempersembahkan lima gelar juara kasta tertinggi buat Persipura pada musim 2005, 2008-2009, 2010-2011, 2013, dan 2016, ia juga tercatat sebagai pemain lokal murni yang paling banyak jadi top scorer.
Ia jadi pemain paling tajam musim 2008-2009 (28 gol), 2010-2011 (22 gol), 2013 (25 gol). Dalam ketiga musim itu ia juga jadi pemain terbaik, plus penghargaan serupa di tahun 2016. Ia pun tercatat sebagai kapten Timnas Indonesia di Piala AFF 2016 silam.
Hebat Mana Boaz dengan Nehemia?
Selain Boaz dan Ortizan, masih ada satu lagi putra Christopher Solossa yang meretas karier sebagai pesepak bola profesional. Ia adalah Nehemia Solossa.
Posisi bermainnya sama dengan Boaz, yakni penyerang. "Bicara skill, sejatinya kemampuan teknik Nehemia lebih baik dibanding Boaz. Dulu Papa menyakini adik saya yang satu itu bakal jadi striker hebat," tutur Ortizan.
Boaz mengakui kehebatan sang abang. "Saya penganggum Nehemia. Kalau sudah pegang bola, sulit menghentikan dia," kata Bochi, sapaan akrab Boaz.
Sayang rekam jejak Nehemia tak sementereng kedua abangnya. Seringkali terjebak kasus indisipliner pemain kelahiran 5 Juli 1983 tersebut lebih banyak menghabiskan karier di klub-klub medioker.
Nehemia sempat berkiprah di Persegi Gianyar, Persikad Depok, Persekabpas Pasuruan, Persibo Bojonegoro, Persiram Raja Ampat. Terakhir ia merumput bersama PS Barito Putera pada musim 2012. Sekarang yang bersangkutan sudah gantung sepatu.
Muncul pertanyaan, siapa yang akan meneruskan tongkat estafet nama besar keluarga Solossa di perhelatan dunia sepak bola Tanah Air?
Seorang putra Ortizan, saat ini sedang meretas karier junior. Semoga kita suatu saat nanti bisa melihat aksinya di Timnas Indonesia.
Baca Juga
4 Alasan yang Membuat Jepang Jadi Lawan Menakutkan bagi Timnas Indonesia: Produktif Bikin Gol dan Susah Dibobol
Perjalanan Berliku PSS Sleman ‘Asapi’ Dua Tim Jawa Tengah: Start Minus Tiga Poin, Kini Sukses Hindari Zona Degradasi
Deretan Wonderkid Timnas Indonesia yang Bisa Mencakar Jepang di Kualifikasi Piala Dunia 2026: Muda tapi Berbahaya!