Shin Tae-yong Kejam? Tunggu Dulu, Anatoli Polosin Pernah Bikin Pemain Timnas Indonesia SEA Games 1991 Menangis

oleh Ario Yosia diperbarui 16 Apr 2020, 10:53 WIB
Anatoli Polosin dan asistennya Danurwindo saat menukangi Timnas Indonesia dalam persiapan SEA games 1991. (Bola.com/Dok. Pribadi)

Bola.com, Jakarta - Baru dua bulan didapuk sebagai pelatih Timnas Indonesia, Shin Tae-yong, sudah bikin ramai jagat sepak bola Tanah Air. Ia melontarkan kritik-kritik pedas ke pemain Tim Merah-Putih.

Di masa awal tugasnya ia terlihat tidak puas dengan kondisi kebugaran para pemain Indonesia, yang menurutnya di bawah standar. Ini yang menurut analisisnya membuat performa Tim Garuda memempem di pentas internasional.

Advertisement

"Kalau kekuatan fisik bagus, mental seorang pemain akan ikut kuat, itu yang akan saya benahi jika ingin sepak bola Indonesia bersaing di level asia dan dunia," kata pelatih asal Korea Selatan.

Dalam wawancaranya bersama PSSI, Tae-yong memberi pesan kepada pemain yang ingin membela Timnas Indonesia. Ia meminta agar pemain mau berkorban apapun.

"Jika ingin menjadi pemain timnas, pertama, pemain harus berkorban untuk tim. Lalu mereka harus berjuang sekuat hati dan tenaga ketika berlaga," kata Tae-yong.

"Indonesia pasti akan sukses jika memiliki para pemain yang rela sepenuh hati berkorban untuk tim. Seperti mereka yang larinya selangkah lebih dari pemain lainnya, artinya bekerja lebih keras dari yang biasanya. Dengan pola pikir ini, saya percaya kita bisa sukses," jelas Tae-yong.

Tae-yong juga mengaku tidak bermain media sosial agar bisa fokus melatih. Hal itu ia minta bisa diterapkan ke pemain.

"Jujur, saya sama sekali tidak menggunakan media sosial. Oleh karena itu, saya bisa fokus ke pertandingan-pertandingan yang ada. Jadi ini juga menjadi pesan kepada pemain, untuk tidak bermedia sosial saat menghadapi pertandingan," kata pelatih berusia 50 tahun itu.

Dalam sebuah rekaman video latihan Timnas Indonesia, mantan pelatih Timnas Korea Selatan di Piala Dunia 2018 itu terlihat menghardik anak-asuhnya yang terlalu lembek.

Pernyataan-pernyataan ekstrem sang mentor dapat perhatian dari sejumlah pelatih lokal. Fakhri Husaini, mantan pelatih Timnas Indonesia U-19 sempat meminta Shin Tae-yong tak banyak cakap, tak mengumbar keburukan pemain ke khalayak luas. Lebih baik ia fokus bekerja membenahi kualitas para pemainnya.

Benarkah Shin Tae-yong pelatih yang kejam? Tunggu dulu. Ia bukan satu-satunya pelatih yang doyan nyinyir saat menakhodai Timnas Indonesia.

Pelatih asal Belanda, Wim Rijbergen yang sempat menukangi Tim Merah-Putih di ajang Kualifikasi Piala Dunia 2014, juga doyan mencibir perilaku pemain yang tak disiplin. 

Dalam sebuah wawancara dengan media Belanda, ia mengaku melatih Timnas Indonesia sebuah mimpi buruk. Ia kurang suka dengan budaya tak disiplin anak-asuhnya. Mereka diklaim sering terlambat datang latihan dan menyodorkan alasan yang tak jelas.

"Saat pertama kali saya melatih mereka, butuh empat hari sampai seluruh pemain lengkap. Yang satulah tantenya meninggal, yang satu lagi ini, yang sana menyampaikan alasan berbeda kenapa datang telat. Selalu ada sesuatu. Dan kalau saya berkomentar, mereka hanya berkata 'This is Indonesia,' lalu nyengir," sambung Wim.

Karier Wim tak panjang di Timnas Indonesia. Pemain sempat melakukan aksi boikot dilatih nakhoda yang menggantikan Alfred Riedl. "Ia seringkali mengeluarkan kalimat kasar ke kami dengan menggunakan bahasa Inggris. Tidak pantas pelatih timnas berlaku seperti itu," cerita Firman Utina, pemain timnas saat itu yang cukup vokal dengan perilaku Wim Rijbergen.

Tapi sejatinya mulut kasar Shin Tae-yong atau Wim Rijbergen tak ada apa-apanya dibanding Anatoli Polosin.

Video

2 dari 3 halaman

Tangan Besi Ala Rusia

Sudirman, saat menerima pengalungan medali emas sepak bola SEA Games 1991. (Bola.com/Dok. Pribadi)

Anatoli Fyodorich Polosin yang didatangkan PSSI buat kepentingan SEA Games 1991 memiliki kiblat sepak bola yang jelas. Sebagai orang Eropa Timur, Polosin lebih mengedepankan kekuatan fisik ketimbang sepak bola indah yang pernah diturunkan pelatih asal Belanda, Wiel Coerver, untuk Tim Garuda pada era 1970-an.

Saat masa persiapan menuju SEA Games, Polosin menempa fisik Raymond Hattu dkk. Selama tiga bulan, fisik seluruh pemain digenjot dengan materi latihan yang di luar batas kemampuan pemain kala itu. Pemain muntah-muntah dan kabur dari pemusatan latihan jadi hal yang lumrah.

Kala itu, Polosin menilai Timnas Indonesia tidak bisa berbicara banyak karena kondisi fisik yang tidak memadai. Oleh karena itu, ia tetap jalan terus dengan metode “Shadow Football” walau Satgas Pelatnas saat itu, Kuntadi Djajalana, mengaku sempat ada perdebatan ketika Timnas Indonesia digembleng begitu keras.

“Polosin sempat melihat pertandingan Galatama sebelum memanggil pemain untuk pemusatan latihan. Ia pun bilang bahwa kami hanya kuat main di babak pertama saja kemudian menurun di babak kedua,” kata Sudirman.

Fisik para pemain Timnas Indonesia mengalami peningkatan drastis berkat gemblengan Polosin yang diketahui tidak cukup mahir bicara bahasa Indonesia selama melatih di Tanah Air. Ia bisa membuat pemain berlari menempuh jarak 4 kilometer dalam waktu 15 menit. Standar VO2Max pemain pun sudah sesuai dengan pemain Eropa.

Kekuatan fisik yang meningkat drastis dijajal Polosin dengan mengikuti ajang Presiden Cup di Seoul. Namun, hasilnya mengenaskan karena Tim Garuda takluk dari klub Austria, China U-23, Mesir, Korea Selatan, dan Malta. Timnas Indonesia kebobolan 17 gol dan hanya memasukan satu gol.

Kegagalan dalam beberapa laga uji coba tak diambil pusing oleh Polosin. Timnas Indonesia tetap melangkah penuh keyakinan ke Manila demi merealisasi target meraih medali emas pertama saat bermain di negeri orang.

“Hasil uji coba nggak bagus karena Polosin juga tidak peduli. Sebabnya intensitas latihan tetap tinggi selama periode uji coba itu dan dia baru menurunkan intensitas jelang tampil di SEA Games. Dia sudah menghitung semua itu menurut cara dia,” kata Sudirman.

 

3 dari 3 halaman

Seperti Apa Latihan Keras ala Polosin?

Timnas Indonesia di SEA Games 1991. (Bola.com/Repro)

Untuk mencapai kondisi kebugaran yang diinginkannya, Polosin meggembleng anak-asuhnya dengan sangat keras. Sesi latihan Timnas Indonesia digeber sehari tiga kali. Pagi, siang, dan sore.

Latihan pada siang hari yang dinilai berat. Para pemain dijemur di tengah hari bolong. Mereka diminta berlari keliling lapangan belasan kali. "Kalau lari sendirian sih enggak masalah. Kejadiannya tidak seperti itu, kami diminta lari dengan mengendong pemain lain. Capeknya luar biasa. Setiap selesai latihan pasti langsung para pemain tertidur pulas karena lelahnya," cerita Sudirman.

Selain secara tega menjemur pemainnya di bawah sinar matahari yang terik, Polosin juga doyan menyiksa para pemain Timnas Indonesia lari turun gunung bukit.

“Banyak keluhan, banyak suka, dan juga duka. Kami disiksa Polosin tanpa belas kasihan," kata Peri Sandria, striker Timnas Indonesia saat itu.

"Pemain menangis karena merasa enggak tahan jadi pemandangan rutin tiap harinya. Kalau sekarang mengingatnya bareng sesama pemain terkesan lucu. Tapi saat menjalaninya, diminta mengulang lagi saya enggak akan mau. Ampun deh. Kas Hartadi nangis meraung-raung saat diminta lari turun naik bukit. Dia bilang bal-balan opo iki kok pake naik gunung segala,” kata Sudirman.

Jaya Hartono dan Fakhri Husaini, menjadi pemain yang menyerah dan meninggalkan pelatnas akibat tak tahan menjalani latihan nakhoda asal Rusia tersebut. "Saya pribadi juga hampir menyerah. Siapa sih yang tahan disiksa dengan latihan maha berat setiap harinya," ujar Sudirman.

Lepas kebijakan tangan besi sang pelatih, Timnas Indonesia sukses mempersembahkan medali emas di SEA Games 1991, prestasi yang hingga saat ini belum bisa diulang lagi.

Timnas Indonesia tampil di SEA Games 1991 Filipina dengan memboyong 18 pemain. Dari 18 nama yang dibawa, ada 10 pemain muda yang memiliki masa depan cerah, mulai Sudirman, Rochy Putiray, Widodo Cahyono Putro, hingga Peri Sandria.

Pelatih Tim Garuda saat itu, Anatoli Fyodorich Polosin, memadukan pemain muda tersebut dengan beberapa pemain senior macam Robby Darwis, Hanafing, Eddy Harto, dan juga sang kapten, Ferril Raymond Hattu.

Kombinasi pemain junior dan senior itu terbukti berjalan baik. Di bawah tempaan keras Polosin, Timnas Indonesia tampil impresif di SEA Games edisi ke-16 tersebut.

Meski lebih mengandalkan permainan fisik ketimbang menerapkan gaya penampilan indah, Tim Garuda mampu tampil gemilang. Timnas Indonesia tak sekalipun menelan kekalahan, dan berhasil meraih medali emas SEA Games 1991.