Bola.com, Jakarta - Sejak didirikan pada 19 April 1930, sudah ada 19 sosok yang pernah duduk di kursi Ketua Umum PSSI. Mulai dari Soeratin Sosrosoegondo hingga kini Mochamad Iriawan alias Iwan Bule, yang terpilih dalam Kongres Luar Biasa (KLB) pada 21 November 2019.
Memasuki usia yang ke-90, PSSI sering mencuatkan banyak kontroversial. Mulai dari keberanian melakukan perlawanan ke penjajah Belanda dan Jepang, kasus-kasus yang melibatkan Timnas Indonesia di pentas internasional, hingga kisruh internal organisasi yang tak berkesudahan sejak 2011 silam.
Sebagai organisasi yang memayungi sepak bola - olahraga paling populer di Indonesia - merupakan hal yang wajar jika PSSI seringkali mendapat sorotan dari banyak pihak. Sepanjang sejarahnya, mencuat sejumlah figur kontroversial yang duduk di singgasana kepemimpinan PSSI.
Joko Driyono yang merupakan Ketua Umum PSSI ke-17, tersandung kasus pengrusakan barang bukti pengaturan skor yang ditangani Satgas Antimafia Bola bentukan Mabes Polri.
Akibat permasalahan tersebut, pria asal Ngawi, Jawa Timur itu diganjar hukuman 1 tahun 6 bulan kurungan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 23 Juli 2019. Hakim menyatakan Jokdri terbukti bersalah melanggar Pasal 235 juncto Pasal 233 dan Pasal 55 ayat 1 ke-2 KUHP.
Meski begitu, Joko Driyono bukan Ketua Umum PSSI pertama yang tersandung kasus hukum. Sebelum Jokdri, ada dua orang lainnya yang harus berurusan dengan pihak berwajib.
Mereka bahkan sempat merasakan derita ada di balik jeruji besi. Simak cerita detail yang sarikan oleh Bola.com di bawah ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Nurdin Halid
Menggantikan Agum Gumelar, Nurdin Halid terpilih sebagai Ketua Umum PSSI pada Rapat Anggota PSSI di Hotel Indonesia tahun 2003. Ia dikenal sebagai sosok kontroversial karena beberapa kali memimpin organisasi dari balik terali besi penjara.
Pada 16 Juli 2004, pria asal Makassar tersebut ditahan sebagai tersangka kasus penyelundupan gula impor ilegal. Ia kemudian juga ditahan atas dugaan korupsi distribusi minyak goreng.
Pada 16 Juni 2005, dia dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan tersebut oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan dibebaskan. Hanya saja, putusan itu kemudian dibatalkan Mahkamah Agung pada 13 September 2007. MA memvonis Nurdin dua tahun penjara.
Selanjutnya, ia kemudian dituntut dalam kasus gula impor pada September 2005, namun dakwaan terhadapnya ditolak majelis hakim pada 15 Desember 2005. Pasalnya, berita acara pemeriksaan (BAP) perkaranya cacat hukum.
Selain kasus tersebut, ia juga terlibat pelanggaran kepabeanan impor beras dari Vietnam dan divonis penjara 2 tahun 6 bulan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 9 Agustus 2005. Pada 17 Agustus 2006, ia dibebaskan setelah mendapatkan remisi dari pemerintah bertepatan dengan HUT Kemerdekaan Indonesia.
Pada 13 Agustus 2007, Nurdin Halid kembali divonis dua tahun penjara akibat tindak pidana korupsi dalam pengadaan minyak goreng. Berdasarkan standar statuta FIFA, seorang pelaku kriminal tidak boleh menjabat sebagai ketua umum sebuah asosiasi sepak bola nasional.
Karena alasan tersebut, Nurdin didesak untuk mundur dari berbagai pihak. Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI), Agum Gumelar (Ketua KONI), dan juga FIFA bersuara kritis ke NH.
FIFA bahkan mengancam untuk menjatuhkan sanksi kepada PSSI jika tidak diselenggarakan pemilihan ulang ketua umum. Namun, Nurdin tetap bersikeras untuk tidak mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI. Kekuasaannya tidak goyah sekalipun ia mengendalikan organisasi dari penjara.
Kontroversi muncul saat ia mengubah statuta PSSI, berkaitan dengan status ketua umum. Statuta yang sebelum berbunyi "harus tidak pernah terlibat dalam kasus kriminal" (They..., must not have been previously found guilty of a criminal offense) diubah dengan menghapuskan kata "pernah" (have been previously).
Arti harafiah dari pasal tersebut menjadi "harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal" (must not found guilty of a criminal offense). Para anggota PSSI menyetujui perubahan tersebut. Posisi Nurdin aman sebagai Ketua Umum PSSI.
Sepanjang masa kepemimpinanya sejumlah kasus mencuat. Mulai dari penghilangan status degradasi kompetisi kasta tertinggi, pelanggaran disiplin di pentas kompetisi, hingga kasus-kasus dugaan pengaturan skor.
Nurdin jadi public enemy pencinta sepak bola Indonesia, karena pada saat bersamaan prestasi Timnas Indonesia di berbagai event internasional terpuruk.
Desakan meminta Nurdin lengser dari PSSI menggema selepas Piala AFF 2010. Pengusaha minyak, Arifin Panigoro, terlibat aktif menggoyang kepengurusan PSSI. Ia menggelontorkan dana besar untuk membiayai pelaksanaan kompetisi tandingan, Liga Primer Indonesia.
Walau begitu pria kelahiran 17 November 1958 itu tetap percaya diri memimpin PSSI. Ia pun bersama Nirwan Dermawan Bakrie kembali mencalonkan diri dalam bursa pemilihan Ketua Umum PSSI pada 2011. Ia menjegal duet George Toisutta-Arifin Panigoro untuk ikut bersaing. Suporter dari berbagai penjuru Tanah Air turun ke jalan mendemo PSSI.
Untuk mengamankan jabatannya ia menggelar kongres di Kepulauan Riau. Sayangnya, kongres berakhir ricuh. FIFA kemudian mengambil keputusan tegas melarang Nurdin Halid, Nirwan Dermawan Bakrie, George Toisutta, Arifin Panigoro, ikut serta dalam pemilihan pemimpin di PSSI. Di sisi lain Menpora, Andi Mallarangeng, juga membekukan status kepengurusan PSSI.
Nurdin secara menyakitkan lengser dari PSSI digantikan oleh Djohar Arifin. Sang mantan manajer klub PSM Makassar dan Pelita Jaya tersebut mengaku trauma. Ia kini memilih tak mau lagi jadi pengurus bola untuk kemudian fokus di Partai Golkar.
La Nyalla Mattalitti
Selama lima tahun terakhir, nama La Nyalla Mahmud Mattalitti begitu nyaring terdengar di telinga pencinta sepak bola Indonesia. Ia jadi figur sentral kasus dualisme federasi serta kompetisi dan kini pembekuan PSSI. Daftar sikap kontroversialnya banyak semenjak aktif sebagai pengurus teras di PSSI pada 2011 silam.
Figur pria asal Makassar ini sebetulnya bukan orang baru di dunia sepak bola. Tercatat, ia adalah salah satu pendiri Yayasan Suporter Surabaya (YSS) yang saat ini lebih dikenal dengan Bonek YSS. Bersama enam tokoh suporter lainnya, La Nyalla membidani lahirnya kelompok suporter militan asal Surabaya ini pada 3 November 1994 lalu.
Setelah kelahiran YSS, nama La Nyalla seperti hilang ditelan bumi. Ini tak lepas dari kesibukannya mengurusi bisnis kontraktor yang ia geluti. Karena itu, ia memilih berada di belakang layar dan memercayakan jalannya yayasan ke mendiang Wastomi Suheri.
Setelah tujuh tahun sejak berdirinya YSS, pada 2011 La Nyalla justru muncul lagi di dunia olahraga sebagai wakil ketua KONI Jatim era kepemimpinan Saifullah Yusuf. Dari sinilah cikal bakal La Nyalla menggeluti organisasi sepak bola.
Ada pun konflik Persebaya dengan PSSI era Nurdin Halid yang membuat La Nyalla terpanggil. Ia bersama pelaku sepak bola di Jawa Timur serta mayoritas klub di provinsi paling timur pulau Jawa itulah yang mendorong La Nyalla melakukan perlawanan terhadap PSSI kala itu. Ia mendirikan PSSI tandingan dengan basis di Surabaya.
Tampaknya, perlawanan yang dilakukan La Nyalla ini mengundang simpati klub-klub di Jawa Timur. Tak heran, pada awal 2011 La Nyalla didorong maju dalam pencalonan Ketua Pengurus Provinsi (sekarang Asosiasi Provinsi) PSSI Jatim. Ia pun terpilih sebagai Ketua Pengprov PSSI Jatim.
Perlawanan yang ia lakukan semakin getol. Bersama mayoritas voters, La Nyalla pun terus berupaya melengserkan kepengurusan PSSI era Nurdin Halid. Arus besar yang menghendaki pergantian Ketua Umum PSSI inilah yang kemudian membuat FIFA turun tangan, dan membentuk Komite Normalisasi yang bertugas menggelar Kongres PSSI.
Melalui Kongres PSSI pada 9 Juli 2011, La Nyalla terpilih sebagai anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI. Namun, tak lama setelah ketika menjabat sebagai anggota Exco PSSI bidang hukum, La Nyalla bersama ketiga anggota Exco lainnya, Toni Aprilani, Roberto Rouw, dan Erwin Budiawan didepak Komite Etik PSSI karena dianggap melanggar kode etik.
La Nyalla pun melawan. Ia bersama Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) menggelar KLB di Hotel Mercure Ancol pada 18 Maret 2012. Di forum itu, La Nyalla terpilih sebagai ketua KPSI-PSSI untuk menandingi PSSI pimpinan Djohar Arifin Husin.
Pada 2013, melalui perjanjian antara KPSI dan PSSI yang dimediasi oleh AFC, pria yang menjabat sebagai ketua ormas Pemuda Pancasila Jatim kembali masuk ke PSSI. Melalui Kongres Luar Biasa PSSI pada 17 Maret 2013, La Nyalla terpilih sebagai Wakil Ketua Umum PSSI.
Setelah masa kepengurusan Djohar selesai, La Nyalla maju sebagai calon Ketua Umum PSSI. Ia pun terpilih sebagai ketua umum PSSI lewat Kongres PSSI pada 17 Maret 2015 di Hotel JW Marriot, Surabaya.
Namun, hanya saat setelah ia terpilih, Menpora Imam Nahrawi menjatuhkan sanksi administratif terhadap kepengurusan PSSI pimpinan La Nyalla. Kegaduhan pun terjadi, roda organisasi yang ia pimpin lumpuh akibat hukuman tersebut.
Selain oleh Kemenpora, status PSSI juga dibekukan sejak Mei 2015 oleh FIFA. Otoritas tertinggi sepak bola dunia tersebut menjatuhkan sanksi ke PSSI karena intervensi pemerintah (Kemenpora). Hal yang dinilai tabu oleh FIFA.
Selama setahun ia terpilih sebagai nakhoda PSSI, kepemimpinan La Nyalla tak berhenti digoyang prahara. Ditekan Kemenpora ia sama sekali tak takut. Klub-klub anggota belum ada yang berani menggoyang kepengurusannya.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim. Suara-suara yang menginginkan digelarnya Kongres Luar Biasa PSSI untuk mencari pemimpin baru mulai bermunculan.
Gara-gara huru hara antara pemerintah dengan La Nyalla, FIFA sempat menjatuhkan vonis pembekuan keanggotaan selama setahun lebih. Otoritas tertinggi sepak bola dunia menilai pemerintah Indonesia terlalu ikut campur dalam urusan sepak bola.
La Nyalla Mattalitti tetap keras hati menolak mundur sekalipun jadi tersangka. Ia minta publik menghormati proses pengadilan hingga memiliki kekuatan hukum tetap. Ia secara kontroversial menuding Menpora, Imam Nahrawi, menjadi dalang penetapan status tersangka di kasus uang hibah Kadin Jatim.
La Nyalla akhirnya terpingirkan dari PSSI karena terkena penahanan oleh kepolisian. PSSI kemudian menggelar Kongres Luar Biasa dengan memunculkan Edy Rahmayadi sebagai nahkhoda baru.
Dalam persidangan pada 17 Desember 2016, La Nyalla diputus bebas. Walau divonis tak bersalah, kursi kekuasaannya di PSSI hilang.
Baca Juga
3 Fakta Miring Timnas Indonesia Selama Fase Grup yang Membuat Pasukan STY Limbung Lalu Hancur di Piala AFF 2024
Deretan Hal yang Membuat Rekam Jejak Timnas Indonesia Layak Dapat Pujian Meski Gagal di Piala AFF 2024
3 Penyebab Timnas Indonesia Gagal Total di Piala AFF 2024: Tidak Ada Gol dari Pemain Depan!