Bola.com, Jakarta - Jika penggemar Liverpool diminta mendefinisikan keajaiban, mungkin sebagian sepakat menunjuk momen Istanbul 2005, saat ditahbiskan sebagai kampiun Liga Champions, pada 25 Mei 2005.
Meskipun pada 22019 Liverpool kembali merengkuh gelar Liga Champions, kemegahan dan magisnya sulit menyaingi Istanbul 2005. Kemenangan secara comeback, meskipun disudahi dengan adu penalti, memang selalu terasa lebih manis dan dramatis.
Bayangkan saja duel Liverpool kontra AC Milan pada 2005 awalnya terlihat seperti bencana bagi suporter The Reds. Setelah 45 menit klub raksasa Inggris itu sudah tertinggal 0-3.
Maldini membuka keunggulan Rossoneri pada final Liga Champions ketika laga baru berjalan satu menit. Gol pembuka itu dilesakkan sang kapten, Paolo Maldini.
Liverpool makin terpuruk ketika AC Milan menggandakan keunggulan pada menit ke-39 melalui Hernan Crespo. Fans Liverpool yang memenuhi stadion sudah mulai dilanda kecemasan. Mimpi buruk tampaknya sudah datang.
"Saya melihat rekan-rekan setim. Mereka tertegun dan bingung. Kami bahkan tak bisa mendekati Milan," ungkap kapten Liverpool, tentang kenangan Istanbul 2005, melalui otobiografinya "Gerrard, My Autobiography".
Bencana bagi Liverpool makin di depan mata ketika Crespo kembali membobol gawang Jerzy Dudek lima menit berselang. AC Milan benar-benar sudah di atas angit. Satu tangan Rossoneri sudah terayun ke arah trofi.
"Jelas sudah berakhir. Kami tamat sudah. Rasanya kami tak pernah menghadapi tim sebaik itu. Kaka pemain yang hebat saya tahu itu. Setiap pemain yang menjadi starter untuk Timnas Brasil pasti istimewa. Tapi, saya makin menyadari kehebatan Kaka setelah dalam satu babak terus berlari mengejarnya, mengejar bayangannya. Tak pernah dalam karier saya menghadapi pemain yang begitu cepat dengan bola di kakinya," kata Gerrard.
Ketika peluit tanda babak pertama berakhir dibunyikan wasit, para pemain Liverpool masuk ke ruang ganti dengan wajah-wajah tertegun, seperti tak tahu harus berbuat apa.
Ratapan di Ruang Ganti
Gerrard menyatakan ruang ganti pemain Liverpool sempat hening dalam beberapa menit. Para pemain hanya duduk seperti kehilangan semangat, karena impian mereka sepertinya akan melayang.
Perlahan para pemain mulai berbicara. Tak ada komentar saling menyalahkan. Yang ada ratapan hanya secara umum. Para pemain Liverpool menyadari tantangan yang mereka hadapi setinggi gunung.
Tak mudah melakukan comeback dalam posisi terjepit seperti itu. Bahkan, bukan tak mungkin Liverpool akan makin terbenam karena tambahan gelontoran gol dari pemain AC Milan.
"Benar-benar buruk. Apa yang terjadi teman-teman? Rafa (Rafael Benitez, pelatih Liverpool saat itu) bilang supaya kita solid, jangan membuat kesalahan. Tapi, ternyata yang terjadi pertandingan satu sisi. Kami bahkan tak bisa memulai," kata Gerrard kepada rekan-rekannya.
Menurut Gerrard, beberapa pemain sudah tampak putus asa. Mereka tak yakin mencetak tiga gol ke gawang AC Milan pada babak kedua, setelah melihat buruk permainan The Reds pada 45 menit pertama.
"Setelah itu Jamie Carragher bicara 'Mari kita bikin jangan sampai kalah 0-5. Jangan sampai jadi ladang pembantaian di sini.'. Kami butuh seseorang yang mengguncang kami supaya kembali hidup," ujar Gerrard.
"Setelah itu Rafa mulai angkat bicara. Si Bos brilian, benar-benar brilian, saat halftime," imbuh Gerrard.
Perubahan Taktik Brilian
"Semuanya diam," kata Rafael Benitez mengawali pidatonya. Semua pemain Liverpool menatap sang manajer. Mereka bertanya-tanya perubahan taktik apa yang akan diterapkan untuk melahirkan keajaiban pada babak kedua.
"Steve Finnan off, Didi (Dietmar Hamann) masuk. Tiga pemain di belakang. Didi di samping Xabi (Alonso), tapi lebih bertahan. Kalian meredam Kaka. Vladi (Vladimir Smicer) bermain lebih seperti bek sayap, dibanding gelandang kanan. Steven (Gerrard) bermain lebih ke depan. Kamu dan Luis (Garcia) terhubung dengan Milan Baros. Andrea Pirlo tidak terlalu mobile, kawal dia, dan hentikan dia," kata Benitez memberi instruksi.
"Kawal juga (Clarence) Seedorf, dia tak terlalu mobile. Hentikan mereka lebih awal. Setelah itu jaga bola," imbuh pelatih asal Spanyol itu.
Menurut Gerrard, setelah mendengarkan taktik Benitez tersebut, semangat para pemain Liverpool terdongkrak. Pemain percaya dengan kepemimpinan Benitez dan yakin bisa keluar dari kekacauan tersebut.
Setelah melontarkan taktiknya, Rafael Benitez juga menggosok mental pemain. "Jangan biarkan kepala kalian tertunduk. Kalian bermain untuk Liverpool. Jangan lupakan itu. Kalian harus menjaga kepala tetap mendongak tinggi demi para suporter," kata Benitez.
"Kalian tak bisa menyebut diri sebagai pemain Liverpool jika kepala kalian tertunduk. Suporter sudah datang jauh-jauh ke sini. Yakinlah kalian dapat melakukannya dan kita bisa. Beri kesempatan pada diri kalian untuk menjadi pahlawan."
Kata-kata Rafael Benitez berhasil mengubah mood para pemain, tak lagi berputus asa. Semangat bergelora mulai tumbuh.
Motivasi pemain Liverpool makin terdongkrak karena sepanjang halftime para suporter terus bernyanyi dengan penuh kebanggaan. Nyanyian para suporter Liverpool bahkan menembus hingga ruang ganti. "Dengar. Dengarkan nyanyian mereka," kata Gerrard kepada rekan setimnya.
Misi Mustahil yang Terwujud
Para pemain Liverpool masuk ke lapangan pada babak kedua dengan motivasi berlipat. Mereka meyakini misi mustahil masih bisa diwujudkan. Sisanya adalah sejarah.
Liverpool berhasil menyamakan skor pada babak kedua. AC Milan dibikin kocar-kacir, benar-benar tak berdaya menghadapi perubahan taktik The Reds.
Comeback Liverpool dibuka oleh gol Steven Gerrard pada menit ke-54. Dua menit berselang Smicer menggandakan gol Liverpool. Suporter AC Milan pun makin terdiam.
Fans Liverpool bersorak bergemuruh saat Alonso memastikan skor menjadi 3-3 berkat golnya pada menit ke-60. Liverpool benar-benar mewujudkan misi maha berat.
Skor tersebut bertahan hingga babak perpanjangan waktu. Laga harus ditentukan melalui adu penalti. Kali ini, Dewi Fortuna makin merapat ke kubu The Reds. Babak adu tos-tosan itu dimenangi Liverpool dengan skor 3-2.
Berkat perubahan taktik brilian, suntikan kata-kata motivasi, dan nyanyian suporter menggelora, Liverpool berhasil menjadi Raja Eropa di Istanbul pada 2005.
Sumber: Buku Steven Gerrard My Autobiography