Bola.com, Lamongan - Persela Lamongan bisa dibilang adalah anomali dalam sepak bola Indonesia. Klub berjulukan Laskar Joko Tingkir itu tercatat sebagai satu-satunya klub asal kabuapten yang mampu menjaga eksistensi selama 17 tahun di kasta tertinggi.
Di antara 18 kontestan Liga 1 2020, terdapat dua klub yang berbasis di kabupaten. Selain Persela, ada pula PSS Sleman. Namun, Super Elang Jawa sendiri baru kembali mencicipi kasta tertinggi mulai 2019 setelah menjuarai Liga 2 2018.
Pengecualian terjadi pada Madura United dan Bali United yang sama-sama berkandang di kabupaten (Bangkalan/Pamekasan dan Gianyar). Keduanya memakai nama pulau sebagai nama klub dan memiliki basis suporter lebih luas dari daerah tingkat dua.
Sebanyak 14 klub lainnya berbasis di daerah tingkat dua yang berstatus sebagai kota yang notabene memiliki fasilitas lengkap.
Di antaranya adalah Arema FC (Malang), Barito Putera (Banjarmasin), Bhayangkara FC (Jakarta), Borneo FC (Samarinda), Persebaya Surabaya, Persib Bandung, Persija Jakarta, Persik Kediri, Persipura Jayapura, Persiraja Banda Aceh, Persita Tangerang, PSIS Semarang, PSM Makassar, hingga Persikabo (Bogor).
Persela Lamongan merupakan klub yan tangguh dengan segala kesederhanaannya. Persela lahir sejak 1967, namun tak banyak eksis dalam kompetisi Perserikatan. Jalan yang ditempuh oleh Persela untuk dapat menembus kasta tertinggi tidak mudah.
Mau ikuti challenge 5 tahun Bola.com dengan hadiah menarik? Klik Tautan ini.
Video
Era Liga Indonesia
Dimulai pada musim 2003 saat tampil di Divisi I. Dinukil dari buku Persela: Menegaskan Identitas Kami (2017) karya Miftakhul Fahamsyah, gagasan untuk mengangkat Persela dimunculkan oleh Bupati Lamongan, Masfuk, yang saat itu menjabat sebagai ketua sekaligus manajer Persela.
Pada musim itu, Persela tergabung di Grup B dalam babak penyisihan bersama lima klub lainnya. Di antaranya adalah Persija Jepara, Persema Malang, Persekaba Badung, Persibo Bojonegoro, dan Persikab Bandung. Persela mampu keluar sebagai juara grup dengan 26 poin dari 10 laga.
Hasil itu membuat Laskar Joko Tingkir melaju ke babak 8 besar untuk memperebutkan tiket promosi. Sayangnya, dua tiket otomatis ke Divisi Utama 2004 telah menjadi milik Persebaya dan PSMS Medan.
Persela masih berpeluang naik kasta karena menghuni peringkat ketiga babak 8 besar Divisi I 2003 bersama PSIM Yogyakarta (peringkat keempat). Syaratnya, mereka harus meraih dua peringkat teratas dalam babak play-off.
Babak play-off ini mempertemukan empat klub. Selain Persela dan PSIM, terdapat Persib Bandung dan Perseden Denpasar. Dua klub ini peringkat ke-15 dan ke-16 Divisi Utama 2004. Mereka harus berjuang di babak play-off jika masih ingin tampil di kasta tertinggi.
Keempatnya bertarung di Stadion Manahan, Solo, selama lima hari pada 14-18 Oktober 2003. Persib menjadi klub tak terkalahkan dan menghuni posisi puncak sekaligus membuat mereka tidak terdegradasi.
Satu tiket tersisa diperebutkan oleh Persela dan PSIM yang sama-sama menyimpan ambisi promosi. Keduanya bertemu di partai terakhir. Persela lebih diuntungkan lantaran unggul selisih gol sebelum bertemu dengan Laskar Mataram. Artinya, hasil imbang sudah cukup membuat Laskar Joko Tingkir naik kasta.
Rupanya, kedudukan akhir 0-0 menghiasi papan skor Stadion Manahan yang dipenuhi oleh Brajamusti dan LA Mania. Persela berhak promosi mencatatkan sejarah baru tampil di Divisi Utama 2004.
Transisi Liga Indonesia ke ISL
Pada tiga edisi beruntun, yaitu 2004, 2005, dan 2006, Persela menjalani kompetisi dengan hasil biasa saja. Mereka tetap bertahan di Divisi Utama, namun hanya puas di papan tengah.
Memasuki musim 2007, PSSI mengumumkan rencana membuat kompetisi profesional bernama Indonesia Super League, yang levelnya berada di atas Divisi Utama. Pada musim itu, Divisi Utama terlalu banyak memiliki kontestan dengan terdapat 36 klub.
Operator kompetisi membaginya ke dalam dua grup, yaitu Barat dan Timur, yang masing-masing diisi oleh 18 klub. Untuk menembus ISL 2008-2009, klub kontestan harus bisa finis setidaknya peringkat kesembilan di masing-masing grup.
Tergabung di Grup Barat, Persela bersaing dengan banyak klub legendaris lainnya. Di antaranya adalah Persija Jakarta, PSMS Medan, Persik Kediri, hingga Persib Bandung. Lagi-lagi, Laskar Joko Tingkir mampu menembus kasta tertinggi, kali ini bernama ISL, berkat finis peringkat keenam.
Persela mampu berbicara banyak di musim perdana ISL dengan mengakhirinya di peringkat keenam lagi. Berikutnya, mereka hampir terdegradasi di musim 2009-2010 karena menghuni peringkat ke-14. Beruntung, ancaman degradasi berlaku untuk peringkat ke-15, ke-16, ke-17, dan ke-18.
Musim berikutnya dijalani Persela dengan hasil yang tak istimewa meskipun tidak turun kasta. Mereka finis di papan tengah ISL 2010-2011 dengan peringkat kesembilan dari 18 kontestan.
Era Dualisme
Memasuki musim 2011-2012, sepak bola Indonesia tengah diterpa dualisme kompetisi dan timnas. Persela memutuskan tetap tampil di ISL. Mereka menolak tampil di Indonesia Premier League 2011-2012 yang merupakan kompetisi resmi PSSI.
Justru, ISL 2011-2012 merupakan catatan musim gemilang yang pernah didapat oleh Persela. Mereka memang tidak menjuarainya. Namun, Laskar Joko Tingkir finis peringkat keempat klasemen akhir di bawah arahan pelatih Miroslav Janu. Itu adalah prestasi terbaik yang pernah didapat oleh Persela.
Prestasi Persela kembali menurun di ISL 2013. Musim ini, mereka melakukan dua kali pergantian pelatih. Miroslav Janu memilih menerima pinangan Persebaya Surabaya (kini Bhayangkara FC) yang tampil di Divisi Utama 2013.
Sebagai pengganti, manajemen klub menunjuk pelatih asal Brasil, Gomes de Oliveira. Namun, timnya berkutat di posisi juru kunci sampai beberapa pekan. Asisten pelatih Didik Ludianto mengambil peran sebagai pelatih interim.
Setelah hampir tiga bulan dibawah arahan pelatih sementara, arsitek asal Argentina, Angel Alfredo Vera, lantas muncul sebagai pengganti. Alfredo membawa Persela masih bertahan di kasta tertinggi dengan finis peringkat kedua ISL 2013.
Prestasi Persela kembali melejit di ISL 2014 berkat tangan pelatih Eduard Tjong dengan menghuni peringkat keempat Grup Timur. Raihan itu membuat mereka melaju ke babak 8 besar dan berpeluang meraih mahkota juara.
Sayang, Laskar Joko Tingkir harus puas finis di posisi juru kunci Grup A di bawah Persipura Jayapura, Arema, dan Semen Padang. Kompetisi itu lantas dijuarai oleh Persib Bandung yang mengalahkan Persipura di partai puncak.
Era Liga 1
Persela Lamongan bersama seluruh kontestan ISL lantas tidak banyak menggoreskan catatan baru di musim 2015. Saat itu, kompetisi berubah nama menjadi QNB League dan masih menjadi lanjutan babak konflik di tubuh PSSI. FIFA turun tangan dan membekukan kompetisi tersebut.
Setahun berselang, lahir ISC A yang merupakan kompetisi tidak resmi untuk mengisi kekosongan. Persela ambil bagian dan harus puas finis posisi ke-15. Kompetisi ini sendiri tidak memberlakukan promosi-degradasi dengan ISC B sehingga tak ada perubahan kontestan pada musim berikutnya.
Memasuki musim 2017, PSSI kembali mengadakan kompetisi resmi setelah statusnya dipulihkan oleh FIFA. Lahir Liga 1 yang jadi kelanjutan dari ISL. Tiga edisi Liga 1 pada 2017, 2018, dan 2019, dijalani Persela dengan menghuni papan bawah dan nyaris degradasi.
Pada musim 2018, Persela bahkan harus berjuang sampai pekan terakhir untuk memastikan tidak turun kasta.
Perjalanan panjang Persela ini menjadi catatan khusus di tengah dominasi klub berbasis kota atau bahkan ibukota provinsi di kompetisi tanah air. Meski demikian, mereka belum pernah meraih trofi dalam ajang resmi. Bahkan, untuk promosi ke kasta tertinggi mereka tidak menjadi juara kasta kedua.
Baca Juga