Bola.com, Jakarta - Momen juara Liga Indonesia 2001 akan selalu dikenang oleh penggemar Persija Jakarta. Untuk kali pertama Tim Macan Kemayoran merasakan gelar bergengsi kompetisi kasta elite penggabungan Perserikatan dan Galatama.
Di awal-awal Liga Indonesia pada medio 1990-an Persija yang tercatat mengoleksi gelar terbanyak era perserikatan (9 piala) jadi tim medioker.
Menghadapi persaingan ketat Liga Indonesia yang melibatkan klub dari kedua pentas kompetisi terbaik di Indonesia, Persija terhuyung-huyung.
Problem pendanaan membuat Persija kesulitan membangun tim bertabur bintang. Persija perlahan mulai ditinggalkan penggemarnya.
Momen penting terjadi pada 1996 saat Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta nyemplung menjadi Pembina Persija. Gubernur berdarah Semarang yang gila bola itu punya ambisi besar kembali membawa kejayaan buat Persija.
Ia figur yang ringan tangan membantu pendanaan Persija saat jadi orang nomor satu ibu kota. Bang Yos (panggilan akrabnya) menelurkan kebijakan ekstrem dengan mengubah warna kostum Persija dari merah-putih menjadi oranye.
Ia punya pandangan tersendiri saat memilih oranye sebagai warna kebesaran klub pengganti Persija. Ia berpandangan warna Jingga yang mentereng memiliki aura kemegahan, sepintas seperti pancaran warna emas.
Bang Yos beranggapan warna merah dan putih kurang kuat sebagai identitas diri, karena banyak klub-klub di Indonesia yang juga mengenakan warna ini sebagai warna kebesaran, sebut saja PSM Makassar atau Persipura Jayapura. Warna Merah-Putih juga menjadi warna dasar buat Timnas Indonesia.
“Saya ingin Persija bermain total football layaknya timnas Belanda yang enak untuk ditonton,” ujar Bang Yos dalam sebuah perbincangan dengan penulis di kediamannya di Cibubur beberapa tahun silam.
Mau ikuti challenge 5 tahun Bola.com dengan hadiah menarik? Klik Tautan ini.
Video
Juara Citra Rasa Oranye
Persija yang tengah menjalani proses lahir baru butuh sebuah gebrakan untuk menandai kebangkitannya. Warna oranye yang dipilih sebagai identitas baru Tim Macan Kemayoran, ternyata membawa aura positif.
Klub yang di awal penyelenggaraan Liga Indonesia terseok-seok jadi penghuni tetap papan bawah, kembali ke khitah sebagai klub elite Tanah Air. Persija bukan lagi klub yang mudah kalah.
Ide mengubah identitas klub berjalan mulus karena klub-klub anggota cenderung menurut dengan titah Bang Yos yang berstatus sebagai pembina klub. Sang pemimpin jadi sandaran terakhir mereka untuk mengangkat Persija yang terhuyung karena krisis keuangan akut.
Lahirnya kelompok suporter The Jakmania membuat sosialisasi perubahan warna kebanggaan klub mulus. Jumlah anggota Jakmania yang terus bertambah meningkatkan popularitas warna Oranye.
Suporter Tim Ibu Kota tampil dengan ciri khas atribut warna Oranye saat memberikan dukungan kepada tim kesayangannya.
“Warna merah sudah menjadi bagian dari sejarah masa lampau. Saat ini Persija adalah oranye,” tegas Ferry Indrasjarief, salah satu pendiri Jakmania yang juga Ketua Umum Jakmania.
Gelar juara LI 2001 menegaskan Persija baru citra rasa Jingga.
"Sebuah kebanggaan bagi saya menjadi bagian dari klub ini saat Persija. Momen final Liga Indonesia 2001 jadi salah satu kenangan indah yang tidak bisa saya lupakan sebagai seorang pemain," ujar Widodo C. Putro, mantan striker Persija yang tampil dalam final LI 2001 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, yang berkesudahan 3-2.
Namun siapa sangka, Bang Yos yang mengubur kenangan indah klub yang kembali dibesarkannya. Blunder kebijakan Stadion Menteng jadi awal petaka, Persija kehilangan trofi-trofi juara sejak era perserikatan. Tak terkecuali piala tetap Liga Indonesia 2001 yang hingga saat ini tak ketahuan rimbanya.
Duka Penggusuran Stadion Menteng
Stadion Menteng jadi markas Persija setelah mereka tak bisa lagi bermain di Stadion IKada yang digusur oleh Presiden RI, Sukarno, yang ingin membangun Monas.
Sebagai gantinya, mulai 1961 Tim Macan Kemayoran menempati homebase baru Stadion Menteng yang terletak di Jalan HOS Cokroaminoto, Menteng, Jakarta Pusat.
Pada awalnya stadion Menteng ini adalah lapangan sepak bola yang didirikan oleh oleh arsitek Belanda, F.J. Kubatz dan P.A.J. Moojen. Didirikan tahun 1921, stadion ini awalnya diberi nama Voetbalbond Indische Omstreken Sport (Viosveld).
Di zaman penjajahan VOC lahan seluas 3,4 hektar tersebut sudah digunakan sebagai tempat berolah raga orang-orang Belanda. Selanjutnya, setelah Indonesia merdeka stadion itu digunakan untuk masyarakat umum.
Pada 1961 dilakukan pemugaran besar-besaran untuk kemudian dibangun stadion dengan fasilitas tribun penonton. Wajah baru Stadion Menteng menjadi tempat bertanding dan berlatih Persija.
Persija mengalami pasang-surut prestasi di stadion ini. Banyak legenda pesepak bola Indonesia binaan Persija lahir di sini, sebut saja: Bob Hippy, Abdul Kadir, Iswadi Idris, Anjas Asmara, Andy Lala, Patar Tambunan, dan Marzuki Nyak Mad.
Selain banyak menghasilkan pemain-pemain top, pada 1975, Surat Keputusan Gubernur Jakarta Tahun 1975 menetapkan stadion ini sebagai salah satu kawasan cagar budaya yang harus dilindungi.
Ironisnya, pada tanggal 26 Juli 2006, penguasa ibu kota, Sutiyoso, menginstruksikan Satpol PP merobohkan Stadion Menteng. Padahal Sutiyoso, Gubernur DKI kala itu, berstatus Pembina Persija.
Tim Jingga sendiri sejatinya sejak tahun tahun 2000 sudah menjalani pertandingan resmi di Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Stadion berkapasitas 15.000 penonton itu tadinya jadi markas klub eks kontestan kompetisi Galatama, Pelita Jaya, yang belakangan pindah ke Solo.
Stadion Menteng sendiri hanya dipakai buat latihan, mes, dan tempat menggelar kompetisi internal klub anggota Persija.
Insiden penggusuran Stadion Lebak Bulus menyisakan luka bagi petinggi klub internal. Saat aksi penggusuran prasasti kejayaan tercerai berai.
Hanya Piala Runner-up yang Diamankan
Saat pengusuran Stadion Menteng, barang-barang yang berkaitan dengan sejarah klub hanya digeletakkan oleh Satpol PP di area parkir stadion. Pengurus klub internal Persija yang panik dan dikuasai emosi tak sempat berfikir untuk mengamankan barang-barang bersejarah itu.
Piala-piala simbol kejayaan di era perserikatan sempat hilang tak ketahuan rimbanya baru kembali ditemukan pada 25 Maret 2014. Total 73 piala ditemukan tergolek di sebuah rumah tua di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Biner Tobing, mantan Ketua Umum Persija bercerita kenapa hal itu bisa terjadi.
"Waktu insiden karena panik saya meminta anak-anak PS Mahasiswa menyelamatkan piala-piala Persija yang berserakan di pinggir jalan saat pengusuran terjadi. Miftah salah satu pengurus PS Mahasiswa berinisiatif menitipkan ke salah satu temannya mahasiswa Universitas Indonesia. Karena situasinya saat itu kacau saya kemudian tak tahu lagi nasib piala-piala itu," cerita Biner Tobing.
Fauzan Zidni, nama mahasiswa tersebut meletakkan piala-piala Persija di rumah orang tuanya yang tidak ditempati. Rumah tua yang sudah lama ditinggal penghuninya ke Amerika Serikat itu menjadi tempat pengungsian benda-benda mati saksi kejayaan Persija. Penulis pun jadi saksi hidup saat proses penemuan piala terjadi.
"Kami jelas bersyukur karena piala-piala yang sempat hilang dapat ditemukan kembali. Walau sejatinya banyak barang bersejarah yang hilang. Kostum klasik dari masa ke masa Persija tak ketahuan rimbanya," ujar Biner.
Saat proses penggusuran terjadi Pengprov DKI Jakarta sempat memisahkan piala-piala milik Persija di era kekinian. Trofi-trofi tersebut kemudian ditaruh ke Mes Ragunan, markas baru Persija yang dipilihkan Bang Yos menggantikan Mes Menteng.
"Hanya ada empat piala yang ada di penginapan pemain di Rahunan. Yakni piala runner-up Liga Indonesia 2004 dan 2005, serta piala runner-up Piala Indonesia 2005, dan trofi peringkat ketika Piala Indonesia 2006," cerita Ferry Paulus, Ketua Umum Persija saat mengambil alih klub pada tahun 2011.
"Piala tetap Liga Indonesia 2001 tak kelihatan di mana. Ketika ditanya ke pengurus lama, mereka juga tak bisa menjawab," timpal pria asal Manado itu.
Biner sempat menuding Bang Yos sebagai orang yang menyembunyikan piala tersebut. "Saya curiga jangan-jangan beliau yang bawa kabur piala itu buat pajangan di rumahnya," ujarnya.
Realitanya Sutiyoso mengaku tak tahu menahu sama sekali. "Waduh saya sama sekali enggak pernah ngurusin piala," katanya.
Ferry yang kini menduduki posisi Direktur Sepak Bola Persija sejatinya ingin membangun museum mengenang kejayaan Persija.
"Klub ini salah satu klub besar di Indonesia. Harus ada tempat khusus untuk memamerkan piala-piala kejayaan," katanya.
Piala-piala yang sempat ditemukan kini dipajang di Kantor Persija Jakarta di kawasan Epicentrum, Kuningan, Jakarta Pusat. Termasuk di antaranya gelar juara terakhir: Liga 1 2018. Sayangnya, piala itu tak bisa disandingkan dengan piala Liga Indonesia 2001 yang tak tahu ada di mana sekarang.