Bola.com, Jakarta - Pasangan striker mematikan merupakan salah satu sajian terbaik di dunia sepak bola. Ada Dwight Yorke dan Andy Cole, Thierry Henry dan Dennis Bergkamp, Hernan Crespo dan Shevchenko, Aubameyang dan Lacazette, Cristiano Ronaldo dan Karim Benzema, Lionel Messi dan Luis Suarez, dan masih banyak lainnya.
Memang benar bahwa sepak bola modern lebih sering menggunakan tiga striker dalam formasi 4-3-3. Namun dahulu pasangan dua striker alias deadly duo jadi andalan tim mana pun dalam formasi 4-4-2.
Uniknya, Squawka merangkum ada beberapa pasangan deadly duo yang gagal terwujud karena masalah transfer. Andai pasangan-pasangan ini benar terbentuk, jelas dunia sepak bola bakal berubah.
Mau ikuti challenge 5 tahun Bola.com dengan hadiah menarik? Klik Tautan ini.
Video
Gabriel Batistuta dan Eric Cantona (Mancheter United)
Banyak pemain top yang dihubungkan dengan Manchester United, khususnya pada akhir era 1990-an ketika Setan Merah mencapai puncak level permainan mereka dan mendominasi di musim-musim awal Premier League.
Salah satu pemain top yang dikabarkan pernah didekati MU adalah legenda Argentina, Gabriel Batistuta. Kala itu Batistuta gemilang di Fiorentina, salah satu striker paling mematikan di dunia.
MU, di sisi lain, sudah punya Eric Cantona yang terbukti bisa mencetak 79 gol dalam 7 musim di sana. Andai transfer ini terwujud, andai Batistuta datang membantu Cantona, MU jelas bakal jadi tim yang jauh lebih kuat.
Sayangnya transfer ini tak terwujud. Batistuta bertahan di Fiorentina sampai tahun 2000, lalu hengkang ke AS Roma.
Samuel Eto'o dan Dennis Bergkamp (Arsenal)
Jauh sebelum membela Chelsea dan Everton, Eto'o pernah digosipkan dengan transfer ke Arsenal. Saat ini Eto'o dianggap sebagai salah satu striker terbaik yang pernah hadir di dunia sepak bola.
Bertahun-tahun lalu, setelah gagal membuktikan diri di Real Madrid, Eto'o menjalani masa peminjaman ke Real Mallorca pada paru pertama musim 2000. Setelahnya Eto'o nyaris pergi dari Spanyol untuk bergabung dengan Arsenal, tapi Luis Aregones merayunya untuk pindah ke Mallorca secara permanen.
"Saya bertemu Luis di momen krusial dalam hidup saya ketika saya harus mengambil arah yang tepat. Siang itu saya nyaris bergabung dengan Arsenal dan mungkin saya tidak akan pernah jadi pemain seperti saat ini. Luis memilih saya, lalu pada akhirnya saya didatangkan Barcelona," ujar Eto'o.
Andai tidak ada Luis Aragones, andai transfer ke Arsenal terwujud, Eto'o jelas bakal diladeni Bergkamp di Arsenal. Lalu, ditambah Thierry Henry, Arsenal bisa jadi salah satu tim paling mematikan di dunia saat itu.
Sergio Aguero dan Didier Drogba (Chelsea)
Sebelum bergabung dengan Man City dan jadi top skor sepanjang masa mereka, Sergio Aguero sebenarnya nyaris bergabung dengan Chelsea. Kala itu, pada musim 2009/10, rumor Aguero ke Chelsea lebih kuat daripada rumor ke Man City.
Aguero bahkan pernah memuji Chelsea secara langsung. Tepatnya pada April 2010, dia memuji Drogba, Lampard, dan meyakini Chelsea merupakan salah satu klub terbesar di dunia.
"Bagi saya, ini adalah soal bergabung dengan klub yang siap jadi penantang geler. Man City masih belum siap," kira-kira begitulah salah satu potongan komentar Aguero pada saat itu.
Namun, seperti yang kita ketahui, pada akhirnya Aguero memilh hengkang ke Man City karena tertarik dengan proyek besar pengembangan skuad mereka. Andai dia memilih Chelsea, Aguero jelas bakal jadi partner ideal untuk Drogba di lini serang.
Andriy Shevchenko dan Patrick Kluivert (Barcelona)
Meski kesulitan di Chelsea, Shevchenko tetap pantas dipertimbangkan sebagai salah satu striker terbaik pada masanya. Dia mencetak 175 gol dalam 322 pertandingan untuk AC Milan. Sheva mencapai puncak performanya pada tahun 2004, ketika dia meraih Ballon d'Or.
Sheva muncul sebagai striker muda menjanjikan dari Dynamo Kiev. Lalu pada tahun 1999, dia harus membuat pilihan besar dalam kariernya. Ada tiga klub yang tertarik: Barcelona, Man United, dan AC Milan.
Andai memilih Barca pada saat itu, Sheva bakal jadi bagian duo mematikan. Saat itu Barca mengandalkan striker top sekelas Patrick Kluivert, yang memang baru mencapai puncak permainannya pada tahun 1999.
Kluivert saat itu begitu tajam karena mendapatkan dukungan Rivaldo yang bermain sedikit di belakangnya. Namun, ketajaman itu jelas bisa lebih baik lagi andai Barca bisa mendapatkan Sheva.
Kedatangan Shevchenko tidak hanya menemani Kluivert, tapi juga bisa mencegah Barca dari puasa trofi selama lima tahun (1999-2004).
Pada akhinrya Shevchenko memilih Milan dan dia sama sekali tidak menyesal."
David Villa dan Cristiano Ronaldo (Real Madrid)
Musim panas 2009, Real Madrid bersiap menghadapi perombakan besar-besaran seiring kembalinya Florentino Perez dengan proyek Los Galacticos jilid dua.
Proyek ini berjalan lancar. Madrid mendatangkan Kaka dan Cristiano Ronaldo, juga beberapa nama top lainnya. Namun, sebenarnya saat itu Perez mengincar David VIlla yang masih membela Valencia.
Kala itu Villa dihadapkan pada dua pilihan, Madrid atau Chelsea. Beberapa pekan setelahnya, petinggi Chelsea mengatakan bahwa Villa sudah menolak mereka dan bakal memilih Madrid.
Namun, transfer ini tidak pernah terwujud. Villa memilih bertahan di Valencia, dan pindah ke Barcelona setahun kemudian. Di sana dia membentuk kombinasi mematikan dengan Lionel Messi.
Andai Villa memilih Madrid, dia jelas bakal jadi partner ideal untuk Cristiano Ronaldo, yang saat itu masih beradaptasi dan berusaha menemukan perannya di Real Madrid.
Sumber asli: Squawka
Disadur dari: Bola.net (Richard Andreas, Published 30/4/2020)