Bola.com, Solo - Selain memiliki klub legendaris dengan sejarah panjang yakni Persis Solo, Kota Surakarta juga pernah menjadi saksi kejayaan Arseto Solo yang tampil di kompetisi Galatama pada medio tahun 1983 hingga 1998.
Arseto adalah klub milik putra Presiden Soeharto yakni Sigit Harjojudanto. Sang pemilik klub yang merupakan konglomerat, membangun Arseto menjadi klub besar dengan sederet prestasi gemilang.
Tim berjulukan biru langit ini juga dikenal sebagai tim bertabur bintang. Di antaranya Ricky Yakob, Sudirman, Nasrul Kotto, Inyong Lolombulan, Rochi Putiray, hingga generasi terakhir I Komang Putra dan Agung Setyabudi.
Gelar juara Galatama musim 1991-1992 menjadi kebanggaan Arseto dan masyakarat Solo. Stadion Sriwedari yang menjadi kandang Arseto selalu penuh sesak untuk menyaksikan tim cukup untuk segani di era Galatama maupun Ligina.
Arseto begitu dielu-elukan publik Solo sebagai sebuah tim membanggakan.
Bola.com menyajikan rekam jejak dan kiprah Arseto Solo, sebagai tim besar pada masa lalu.
Video
Berjaya di Solo
Arseto didirikan oleh putera Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto, yakni Sigid Harjoyudanto pada 1978. Awalnya, klub ini bermarkas di Jakarta.
Namun, sejak tahun 1983, Arseto hijrah ke Solo, Jawa Tengah, seiring dengan peresmian Hari Olahraga Nasional di Stadion Sriwedari, Solo, pada 9 September oleh Soeharto.
Stadion Sriwedari menjadi markas dari Arseto. Sementara manajemen menyiapkan stadion sendiri, yakni Manahan yang dibangun pada 1989.
"Ada dua pertimbangan pengurus klub memutuskan pindah ke Solo. Pertama karena di Jakarta semakin banyak tim, kedua adalah untuk mengembangkan pembinaan sepak bola di Solo pada waktu itu," tutur mantan pengurus Arseto, Chaidir Ramli kepada Bola.com, Jumat (8/5/2020).
Kejayaan Arseto betul-betul terbukti. Beberapa pemain saat masih bermarkas di Jakarta menyatakan tetap ikut bersama Arseto, di antaranya Eduard Tjong, Eddy Harto, dan Hartono Ruslan.
Selama di Solo, Arseto semakin bersinar. Arseto selalu mendapat tempat yang spesial di hati masyarakat Solo.
Meski masuk jajaran klub papan atas, Arseto baru bisa menyabet trofi juara Galatama pada tahun 1992. Ini tak lepas dari skuat yang hebat pada masa itu dan tangan dingin pelatih Dananjaya.
"Arseto hampir selalu berada di empat besar pada klasemen akhir. Kami juga pernah juara ajang invitasi mempertemukan klub Galatama dengan Perserikatan. Kemudian mewakili Indonesia di ajang kompetisi Asia," terang Chaidir.
Punya Suporter Loyal
Jauh sebelum nama Pasoepati muncul sebagai suporter sepak bola fanatik asal Solo, kehadiran Arseto menyedot animo masyarakat Kota Bengawan dan sekitarnya.
Arseto memiliki kelompok suporter bernama KPAS (Komunitas Pecinta Arseto Solo). Meskipun anggotanya tidak begitu besar, animo untuk datang langsung ke stadion sangat tinggi.
Suporter Arseto ketika itu belum begitu terkoordininasi seperti suporter zaman sekarang. Jarang ada nyanyian lantang atau yel-yel menggema, atau suara tabuhan drum. Hanya teriakan untuk membakar motivasi.
Suporter fanatik Arseto berkumpul di kawasan Brengosan, Purwosari, Kota Solo. Mereka selalu berkumpul di tempat tersebut sebelum pertandingan untuk berangkat bersama-sama.
"Stadion selalu penuh, apalagi kalau lawannya PSIS Semarang atau PSIM Yogyakarta. Nggak ada nyanyian-nyanyian, paling hanya makian kepada para pemain ketika dianggap lagi tampil jelek," kata Guntoro.
Bubar Tahun 1998
Arseto secara tidak langsung membuat pencinta sepak bola di Solo Raya lupa dengan Persis Solo yang begitu sulit kembali berkiprah di kasta tertinggi.
Namun, seiring lengsernya Presiden Soeharto, Arseto dibubarkan pada tahun 1998. Kompetisi musim itu ditetapkan force majeure karena kerusuhan. Saat itu juga menjadi jejak terakhir Arseto di sepak bola Indonesia.
Pada 6 Mei 1998, Arseto menjalani pertandingan terakhir selama berkiprah 20 tahun. Laga melawan Pelita Jaya di Stadion Sriwedari berujung kerusuhan hingga menjalar pada peristiwa Mei 1998 yang kelam bagi republik ini.
"Para pemain dikumpulkan di mes Kadipolo untuk pemberitahuan bahwa Arseto sudah selesai. Mungkin karena suasana politik ketika itu yang membuat Arseto harus bubar," beber Guntoro.
"Sebagai pemain rasanya jelas kecewa dan hanya bisa pasrah. Kemudian pengurus sempat punya wacana tetap lanjut dengan mengganti nama klub, namun tidak terlaksana," jelasnya.
Sebuah Harapan Besar
Puluhan pemain Arseto lintas generasi menggelar reuni dengan bermain di Stadion Sriwedari setiap tahun. Mereka tetap menjaga tali silaturahmi keluarga besar Arseto tetap terjaga dengan baik.
Banyak kalangan menginginkan Arseto dihidupkan kembali, mengingat memori yang begitu mengena di hati masyarakat Solo. Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo, juga memberi dukungan mengingat Arseto merupakan anggota klub internal Asosiasi Kota (Askot) PSSI Surakarta.
Sudah 22 tahun lamanya Arseto vakum, belum ada tanda-tanda apakah klub ini bakal kembali dihidupkan. Seluruh eks pemain Arseto memiliki keinginan yang sama agar kembali dihidupkan dan meramaikan kembali sepak bola Tanah Air.
Hanya, keinginan tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pada tahun 2017, seorang pengurus klub Arseto, Ismet Tahir merespons pertanyaan dari berbagai pihak terkait masa depan klub milik keluarga Cendana ini setelah tidur cukup lama.
"Belum terpikirkan sampai sekarang. Terus terang pertemuan ini adalah temu kangen. Namun sudah banyak teman-teman yang sudah ada suara-suara seperti itu (Arseto muncul kembali). Butuh keseriusan, bukan sekejap bisa diputuskan," terang pria yang dulu menjabat sebagai Direktur Klub Arseto.