Bola.com, Jakarta - Pada 2004 hingga 2007, Timnas Indonesia pernah memiliki pelatih yang kelak mengubah pakem kepelatihan tradisional, dia adalah Peter Withe, pria kelahiran Liverpool sekaligus legenda Aston Villa.
Sudah 13 tahun lamanya Withe tak memiliki hubungan dengan Indonesia pasca 'bercerai' pada 2007. Nama pelatih berusia 68 tahun itu dielu-elukan oleh publik Tanah Air karena berhasil me-make up wajah Timnas dengan gayanya sendiri.
Bermodalkan gaya kepelatihan kick and rush ala sepak bola Inggris, Peter Withe tak canggung memoles Timnas Indonesia dari skema usang 3-5-2 menjadi 4-4-2. Ia cuek dengan anggapan bahwa Indonesia belum siap dengan sepak bola menyerang.
Ya, mantan pelatih Indonesia, Benny Dolo pernah mengatakan bahwa Timnas Indonesia tak bisa serta merta mengubah gaya permainan secara instan. Withe tak peduli. Ia terus maju dengan gayanya sendiri.
Meski ia gagal memberikan gelar Piala AFF pada dua kesempatan, yakni 2004 dan 2007, Withe berjasa mejadi pelopor permainan cepat dengan umpan pendek ala Inggris yang dikombinasi dengan umpan menusuk ke kotak penalti lawan.
Withe, legenda klub Aston Villa, pernah membius Indonesia dengan pengalaman dan segala kelebihan serta kekurangannya. Berikut ini Bola.com merangkum kisah dan perjalanannya sebagai pemain dan pelatih.
Video
Bawa Aston Villa menjadi Penguasa Eropa
Peter Withe bermain untuk Aston Villa selama lima tahun, tepatnya dari 1980 hingga 1985. Pada waktu yang singkat itu, ia sukses memberikan satu gelar bergengsi, yakni European Cup 1982 (sekarang Liga Champions).
Withe didatangkan dari Newcastle dengan dana besar, yakni 500ribu pounds, angka yang terbilang mahal pada periode itu. Dari 233 penampilan, 92 gol ia lesakkan. Withe pernah mengoleksi 20 gol dalam semusim, jumlah yang hingga kini tak pernah dicapai pemain lain di Aston Villa.
Pada tiga musim pertamanya, ia selalu berhasil memberikan gelar, termasuk Liga Champions 1982. Aston Villa dibawanya meraih titel juara liga (dulu bernama First Division), Charity Shield, dan Piala Super Eropa.
Peter Withe dikenang karena gol ke gawang Bayern Munchen pada final Liga Champions 1982. Berlaga di Rotterdam, Belanda, Aston Villa dibawanya menguasai Eropa usai mengalahkan Munchen dengan skor 1-0.
Lihat cuplikan pertandingannya di sini.
Keputusan Berani
Saat ini kita mungkin mengenal Indra Sjafri sebagai ahlinya menemukan, memoles, dan mencetak bibit-bibit muda menjadi bintang pada kemudian hari. Peter Withe, di sisi lain, pernah menemukan 'mutiara hitam' pada sosok Boaz Solossa.
Withe diangkat sebagai pelatih Timnas Indonesia berkat keberhasilannya memberikan gelar juara Piala AFF 2000 dan 2002 (dulu bernama Piala Tiger) buat Thailand. Tak heran, Nurdin Halid, Ketua Umum PSSI kala itu, menargetkan juara Piala AFF 2004.
Tanpa diduga, Withe membawa serta Boaz Solossa, remaja berusia 17 tahun saat itu untuk mengikuti serangkaian pemusatan latihan. Ketika itu Indonesia sudah memiliki nama-nama beken di lini depan, mulai dari Bambang Pamungkas, Budi Sudarsono, Ilham Jaya Kesuma, Zaenal Arif, dan Kurniawan Dwi Yulianto.
Tak cuma Boaz, Withe juga dengan kepercayaan diri tinggi memanggil beberapa nama lain, di antaranya Hamka Hamzah, Firman Utina dan Mahyadi Panggabean. Usia mereka terbilang masih sangat muda.
Antiklimaks di Piala AFF 2004
Setelah menyelesaikan dua edisi sebelumnya, Piala Tiger 2000 dan 2002, sebagai runner-up karena kalah dari Thailand, Timnas Indonesia berangkat ke Vietnam dengan penuh percaya diri. Tim Garuda bermain di Vietnam karena bergabung di dalam Grup A, bersama tuan rumah Vietnam, Singapura, Laos, dan Kamboja.
Timnas Indonesia berangkat dengan dipimpin Peter Withe, yang baru saja gagal membimbing Tim Garuda di Kualifikasi Piala Dunia 2006. Namun, gagal di kualifikasi menuju Jerman tidak membuat Indonesia terlihat buruk di Piala Tiger 2004. Indonesia justru menjadi yang terbaik di Grup A, di mana Boaz Solossa hadir sebagai bintang muda yang cemerlang.
Indonesia menjadi satu-satunya tim yang tidak kebobolan sama sekali di fase grup. Peter Withe pun sukses membungkam keraguan publik pecinta sepak bola Indonesia yang kecewa karena kegagalan Indonesia di Pra-Piala Dunia 2006.
Dalam pergelaran Piala AFF 2004, Tim Merah-Putih tidak hanya melahirkan Boaz Solossa sebagai bintang baru yang kemudian menjadi salah satu pemain terbaik Indonesia di tahun-tahun berikutnya Timnas Indonesia juga melahirkan Ilham Jaya Kesuma yang tampil agresif dan sangat tajam di lini depan Tim Merah-Putih.
Enam gol selama fase grup, dua gol ke gawang Laos, satu gol ke gawang Vietnam, dan hattrick saat menghadapi Kamboja, adalah bukti ketajamannya. Tambahan satu gol saat menghadapi Malaysia di semifinal membuat Ilham menjadi top scorer Piala AFF 2004.
Di final, setelah melewati hadangan Malaysia berkat comeback spesial pada semifinal, Indonesia berjumpa Singapura, satu-satunya tim di babak grup yang mampu menahan imbang Indonesia dengan skor akhir tanpa gol. Publik sepak bola Indonesia pun menjadi yang pertama menyaksikan pertandingan puncak antara Tim Garuda dengan Singapura, seperti halnya yang terjadi di semifinal.
Namun, kekecewaan kembali didapatkan oleh penggemar Tim Merah-Putih di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Singapura berhasil mencuri tiga gol terlebih dulu sebelum akhirnya Mahyadi Panggabean mencetak satu gol di menit terakhir pertandingan. Indonesia pun kalah 1-3 dalam leg pertama final Piala AFF 2004, di mana saat itu Boaz juga mengalami cedera karena tekel keras Baihakki Khaizan.
Pada leg kedua, Singapura yang bermain imbang dengan Indonesia di fase grup tampaknya sudah menjadi lebih kuat di pertandingan puncak. Gol Elie Aiboy pada babak kedua tidak berhasil menyelamatkan Indonesia dari kekalahan 1-2 di pertandingan tersebut.
Indonesia kalah 2-5 secara agregat dari Singapura dan untuk ketiga kali berturut-turut Timnas Indonesia harus membiarkan lawan di partai final mengambil trofi juara dari tangan mereka.
Indonesia hanya melengkapi kegagalan setelah tiga edisi berturut-turut hanya selesai sebagai finalis. Namun, Timnas Indonesia juga melanjutkan tradisi dengan menjadikan Ilham Jaya Kesuma sebagai top scorer, melanjutkan prestasi Gendut Doni Christiawan dan Bambang Pamungkas di dua edisi Piala Tiger sebelumnya.
Drama di Piala AFF 2007
Sayangnya, cerita sukses pelatih asal Inggris tersebut tak berlanjut pada Piala AFF edisi selanjut. Timnas Indonesia gagal total di hajatan akbar kawasan Asia Tenggara yang berujung pemecatan Peter Withe.
Piala AFF 2007 menjadi cerita memalukan buat Timnas Indonesia. Bagaimana tidak, Tim Merah-Putih untuk pertama kali gagal lolos ke semifinal alias terhenti di fase penyisihan grup pada turnamen sepak bola terbesar di Asia Tenggara ini.
Pemilihan pemain yang dilakukan Peter terkesan subjektif. Banyak pemain bagus yang tak dipanggil.
Peter bahkan sempat bersitegang dengan Boaz Solossa, bintang utama Piala AFF 2004. Sang pemain mendadak menghilang dari skuat inti Timnas Indonesia. Saat ditanya alasan kenapa tidak memanggil Boaz, Peter beralasan: "Boaz pemain yang tidak disiplin."
Boaz beberapa kali mangkir memenuhi panggilan pelatnas. Bocorannya, hal itu karena ia kesal abangnya, Ortizan Solossa, tak masuk skuat Merah-Putih.
Tak hanya relasi dengan Boaz yang disorot. Peter dinilai menyia-nyiakan bakat Bambang Pamungkas. Pemain yang kinclong bersama klub Malaysia, Selangor FA, hampir tak pernah dipanggil Timnas Indonesia. Namanya baru muncul, setelah petinggi PSSI melakukan intervensi.
Dan benar saja, riak-riak konflik internal membuat langkah Timnas Indonesia di ajang Piala AFF tertatih-tatih.
Pada Piala AFF 2007 Indonesia bak dinaungi kesialan. Pasalnya, Indonesia sebenarnya mengumpulkan poin lima, poin yang sama dengan dua tim yang lolos semifinal dari Grup B, yaitu Singapura dan Vietnam. Tim Merah-Putih terjegal karena selisih gol kalah jauh dari dua negara itu.
Vietnam dan Singapura punya selisih gol masing-masing 11 dan sembilan, sementara Tim Merah-Putih hanya surplus dua gol saja.
Penyebab semua itu, kendati Timnas Indonesia tidak terkalahkan di tiga pertandingan penyisihan grup, Tim Garuda tidak mampu menang banyak atas tim yang dianggap terlemah di Grup B, yaitu Laos. Di Grup B, Indonesia tergabung bersama Laos, Vietnam, dan tuan rumah Singapura.
Ancaman Bogem Mentah Budi Sudarsono
Saat menjalani laga-laga penyisihan suasana internal Timnas Indonesia tak kondusif. Komunikasi antarpelatih dengan sejumlah pemain macet.
Sejumlah pemain merasa Peter Withe kerap tidak fair dalam memilih pemain inti. Ia cenderung memaksakan sejumlah pemain 'kesayangannya' bermain sekalipun kinerja mereka jeblok.
Seorang pemain senior, Budi Sudarsono, sempat naik pitam ke pelatih asal Inggris tersebut yang ia nilai terlalu menganakemaskan Ilham Jaya Kesuma di sektor depan Tim Garuda.
Jelang pertandingan penutup penyisihan, Budi yang saat itu membela Persik Kediri sempat melontarkan ancaman. "Kalau saya tak lagi dimainkan, saya bogem pelatih," kata sang pemain.
Nyatanya Peter hanya memainkan Budi sebagai pemain serep. Timnas Indonesia hanya bermain imbang 2-2 melawan tuan rumah penyisihan dengan mengandalkan duet, Ilham Jaya Kesuma dan Zaenal Arif.
Setelah pertandingan yang digelar pada 17 Januari 2007, suasana ruang ganti memcekam. Beberapa pemain menunjukkan secara frontal sikap tak respek mereka kepada Peter Withe. Ada insiden menonjok loker dan membanting sepatu di ruang ganti.
Ketua Badan Tim Nasional, M. Zein, melihat kejadian ini karena ada pihak yang memprovokasi. "Ada yang memanas-manasi pemain. Saya tak perlu sebut nama, tapi adalah. Dia punya kepentingan mengganti pelatih."
Kegagalan Indonesia lolos ke semifinal langsung direspons manajemen timnas dan PSSI. Timnas yang saat dimanajeri Andi Darussalam Tabusala dan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid, mengeluarkan keputusan penting: memecat Peter Withe!
Keputusan cepat itu diambil karena enam bulan setelah Piala AFF 2007 (12 Januari-4 Februari), Timnas Indonesia akan berkiprah di Piala Asia 2007, di mana Jakarta menjadi satu di antara empat kota tuan rumah selain Kuala Lumpur, Hanoi, dan Bangkok.
Peter Withe pun harus menyerahkan tongkat kepelatihan timnas kepada Ivan Kolev sekembalinya dari Singapura. Praktis, Piala AFF 2007 jadi akhir era Peter Withe, yang menduduki kursi panas pelatih Timnas Indonesia sejak 2004.
Baca Juga
Drama Timnas Indonesia dalam Sejarah Piala AFF: Juara Tanpa Mahkota, Sang Spesialis Runner-up
5 Wonderkid yang Mungkin Jadi Rebutan Klub-Klub Eropa pada Bursa Transfer Januari 2025, Termasuk Marselino Ferdinan?
Bintang-Bintang Lokal Timnas Indonesia yang Akan Turun di Piala AFF 2024: Modal Pengalaman di Kualifikasi Piala Dunia