Romantika 20 Tahun Karier Jaya Hartono: Pernah Tenar, Stroke Ringan, dan Kini Hidup Bersahaja

oleh Gatot Susetyo diperbarui 13 Mei 2020, 11:45 WIB
Jaya Hartono di Persik Kediri. (Bola.com/Dody Iryawan/Foto: Gatot Susetyo)

Bola.com, Kediri - rjalanan karier Jaya Hartono sebagai pelatih menarik untuk dikupas. Seperti manusia lainnya, dia pernah berada di puncak ketenaran dengan meraih gelar juara. Dia juga sempat mengalami keterpurukan yang nyaris berada di titik nadir. Namun, Jaya Hartono mampu menjalani transisi kejayaan dan keterpurukan dengan mulus.

Romantika hidup dan prestasi Jaya Hartono sebagai pelatih penuh liku-liku dan naik-turun. Namun pria tiga anak ini selama 20 tahun tetap istiqomah menjalani profesinya. Total 12 klub yang pernah merasakan sentuhan mantan bek kiri Timnas Indonesia era 1986-1990 ini.

Advertisement

Yang menarik, sejak meniti karier sebagai asisten Daniel Roekito di Arema pada tahun 2000, hingga kini Jaya Hartono tak pernah menganggur. 

Jaya Hartono saat berjaya di Persik Kediri. (Bola.com/Gatot Susetyo)

Jaya Hartono mengakhiri karier sebagai pemain di Persik pada 2001. Saat itu, dia masih bermain sekaligus merangkap asisten almarhum Sinyo Aliandoe di Divisi I.

Kepiawaian pria asal Medan, Sumut, ini mulai tampak ketika mengatrol Persik dari Divisi I 2002 ke Divisi Utama 2003. Hebatnya lagi, mahkota juara dua kasta itu dipersembahkan Jaya Hartono untuk Persik.

Di klub asal Kota Tahu inilah Jaya meraih prestasi dan kejayaan. Bersama Macan Putih, bintang Jaya Hartono mulai bersinar dan menempatkan dirinya di antara jajaran pelatih papan atas Indonesia saat itu.

Dari catatan kariernya, Jaya Hartono paling lama menukangi Persik dibanding klub lain yang pernah disinggahinya. Urutan berikutnya adalah Deltras Sidoarjo (3 musim) dan Persib (2 musim). Pada sisa kariernya, suami Gisma Mujayanah ini selalu berpindah-pindah pelabuhan dan mengalami pasang surut.

 

Video

2 dari 3 halaman

Stroke Ringan Saat Melatih Persija

Jaya Hartono saat di Persik Kediri. (Bola.com/Gatot Susetyo)

Dualisme kompetisi pada 2011 membuat Jaya Hartono sempat dihinggapi kegamangan memilih klub baru. Namun, prinsip hidupnya sebagai kepala keluarga yang harus menafkahi istri dan tiga anaknya, Jaya Hartono pun membesut Persija Jakarta di kompetisi IPL yang digagas PSSI di bawah kepemimpinan Djohar Arifin Husin.

Meski dia harus menerima hujatan dan cemoohan dari mantan sesama pemain dan pelatih yang berseberangan dengan kubu Djohar Arifin.

"Dualisme itu membuat kami bingung dan serba salah. Saat itu pelatih dan pemain yang tampil di IPL dicap pembelot. Tapi saya harus bekerja. Apalagi tiga anak saya masih kecil. Saya berharap cukup sekali saja terjadi dualisme. Dualisme itu memecah belah sepak bola kita," katanya.

Kisah kelam mulai dialami Jaya Hartono ketika manajemen Persija mulai ngos-ngosan membiayai tim. Beberapa bulan dirinya dan para pemain tak menerima gaji. Selama jadi pelatih, gaji telat ini merupakan pengalaman pertama Jaya Hartono. Di klub-klub sebelumnya, dia selalu menerima haknya dengan lancar.

Kondisi ini sangat memukul psikologis Jaya Hartono. Akibatnya, dia sempat mengalami gejala stroke ringan usai membawa Persija tandang melawan Persibo di Bojonegoro.

"Fakta yang saya alami berbeda dengan bunyi klausul kontrak. Saya stres karena gaji telat. Karena saya minta pemain tetap berlatih dan bertanding. Sementara hak kami tak dipenuhi. Sedangkan saya harus mengayomi pemain yang sudah patuh kepada saya. Beban pikiran dan kecapekan membuat saya jatuh sakit," tutur Jaya Hartono kala itu.

3 dari 3 halaman

Hidup Bersahaja

MENUNGGU - Jaya Hartono menunggu komando manajemen PSS Sleman untuk melatih tim yang akan tampil di Piala Kemerdekaan. (Bola.com/Robby Firly)

Setelah sakit, Jaya Hartono memetik hikmah luar biasa yang akhirnya menjadikan dirinya sosok yang kuat dan ikhlas menjalani kehidupan. Sejak peristiwa stroke itulah, Jaya Hartono lebih religius dengan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Serangan stroke ringan juga tak membuat semangat Jaya Hartono surut. Setelah pulih total, namun sempat diragukan kemampuannya, dia malah berani menerima tawaran menangani Persiram Raja Ampat. Dia bertualang ke Papua yang membuatnya harus berjauhan dengan keluarganya yang tinggal di Kota Kediri.

"Setelah stroke, orang ragu dengan kemampuan saya. Tapi saya tak ngoyo karena semua sudah diatur Allah SWT. Alhamdulillah, tiap musim saya selalu bisa melatih. Saya tak pilih-pilih klub, apakah itu kasta tertinggi atau hanya level kedua di kompetisi. Saya juga tak kaget lagi, bila gaji telat atau tak dibayar. Yang penting, saya tetap bekerja serius dan ikhlas. Bagi saya melatih adalah ibadah. Saya tetap bersyukur bisa melatih, karena banyak teman-teman pelatih yang menganggur," ucapnya.

Selanjutnya, tiap musim berganti, Jaya Hartono tak pernah bingung mencari klub baru. Bahkan, tak jarang dia baru dapat klub, ketika kompetisi akan diputar.

"Orang yang terlibat di sepak bola Indonesia itu-itu saja. Prinsip saya harus baik dengan semua orang. Saya berusaha meninggalkan kesan baik di klub yang saya tangani. Sehingga pengurus klub mana pun bisa menerima saya. Karena saya tak tahu musim berikutnya akan melatih di klub mana," katanya.

Berita Terkait