Bola.com, Jakarta - Fakhri Husaini blak-blakan dengan Hanif Sjahbandi dan Rendy Juliansyah dalam channel YouTube Hanif & Rendy Show. Mantan pelatih Timnas Indonesia U-19 itu mengaku pernah disuruh untuk mengatur pertandingan alias match fixing.
"Saya merasa pada beberapa pertandingan, saya telah dikhianati. Baik saat saya sebagai pemain maupun saat sebagai pelatih. Saya sudah merasakan itu," kata Fakhri Husaini membuka cerita.
"Cuma untuk kasus-kasus seperti itu tidak mudah kalau saya tidak bisa membuktikannya. Itu sulit. Sulit sekali. Tapi saya tidak bodoh untuk menerka jika Rendy sudah di depan gawang, bola bisa diarahkan ke mana saja, tapi bola itu luput dan tidak masuk ke gawang. Itu terlihat."
"Saat saya masih bermain, diminta oleh pelatih untuk mengatur pertandingan, itu sudah pernah. Saya sampaikan ke pelatih itu. Kalai dia memainkan saya, saya akan mencetak gol. Tidak peduli tim akan menang," imbuh Fakhri.
Fakhri tidak bercerita secara gamblang, pada pertandingan apa ia disuruh mengalah oleh mantan pelatihnya. Semasa masih bermain, pria berusia 54 tahun ini hanya pernah memperkuat tiga klub, Lampung Putra, Petrokimia Putra, dan PKT Bontang.
"Tapi kalau laga memang mau diatur, jangan mainkan saya. Akhirnya kesepakatannya saya dikeluarkan pada babak kedua. Terserah kalau memang babak kedua diatur, yang penting saya tidak ikut bermain dan itu sudah saya lakukan," kata Fakhri Husaini.
Video
Dosa Besar dengan Mengkhianati Penonton
Buat Fakhri Husaini, match fixing adalah bentuk pengkhianatan kepada suporter. Pria asal Lhokseumawe, Aceh, tersebut tidak ingin membohongi suporter karena telah mengetahui hasil akhir berkat match fixing.
"Buat saya, dosa itu adalah saya mengkhianati penonton. Ketika saya mengkhianati penonton yang datang ke stadion, 20-30 ribu penonton, kemudian saya sudah tahu hasil pertandingan seperti apa, itu pengkhianatan yang luar biasa. Itu kejahatan yang luar biasa," imbuh Fakhri.
"Terbayang tidak oleh kita, bahwa penonton itu mungkin tidak semuanya orang kaya. Bisa jadi untuk membeli tiket seharga Rp20 ribu itu mereka bisa bekerja dua hari dan dua malam tanpa tidur. Bisa jadi mereka menonton sepak bola dengan membawa anak dan istrinya, membawa keluarganya itu sampai bekerja seminggu sampai banting tulang. Tapi di tengah lapangan, kami malah bermain sandiwara."
"Memang ini tidak mudah untuk menghadapi situasi seperti itu. Hanya pemain-pemain yang kuat, pemain-pemain yang punya keberanian saja bisa lolos dari situasi ini. Tapi dengan konsekuensi dan risiko akan menjadi pemain yang tidak populer," ucap eks pelatih Timnas Indonesia U-16 ini mengakhiri.