Bola.com, Jakarta - PSIS Semarang menjadi satu di antara tim di Indonesia yang punya sejarah panjang. Tim Jawa Tengah yang lahir pada 18 Mei 1932 itu pernah merasakan gelar juara, status kuda hitam, dan mengalami krisis jati diri serta inkonsistensi.
PSIS mengalami pasang surut di era perserikatan dengan titel juara pada tahun 1987, lewat sosok legenda tim Ribut Waidi. Tak jauh berbeda ketika memasuki era Liga Indonesia (Ligina) yang sempat juara di tahun 1999.
PSIS kembali tertatih-tatih ketika kasta tertinggi bernama Indonesia Super League (ISL), yang kalah bersaing dengan tim tetangga Persijap Jepara. PSIS hanya berkutat di level dua kompetisi Indonesia.
Hingga puncaknya pada musim 2017, PSIS Semarang mampu finis di urutan ketiga untuk promosi ke Liga 1. Perlahan, tim berjulukan Mahesa Jenar itu mampu bangkit dan menunjukkan diri sebagai tim yang memiliki jati diri sebagai klub sepak bola jagoan Jawa Tengah.
PSIS menjadi satu-satunya tim dari Jawa Tengah yang mengirimkan wakilnya di kompetisi Liga 1. Nama tim legendaris lainnya seperti Persis Solo atau Persijap Jepara masih berkutat di level kedua.
Kali ini Bola.com merangkum beberapa pencapaian PSIS sang jagoan Jawa Tengah dalam catatan angka. Prestasi tim, pencapaian pelatih maupun pemain, hingga hal menarik lainnya.
Video
1987
PSIS Semarang pernah menorehkan masa kejayaannya pada 1987 silam. Gelar juara Liga Indonesia Perserikatan untuk pertama kali diraih Mahesa Jenar ketika itu dengan menumbangkan Persebaya Surabaya di Stadion Utama Senayan Jakarta.
Pertandingan melawan Persebaya yang merupakan musuh bebuyutan PSIS, berjalan dalam tempo yang tinggi dan ketat. Hingga sebuah gol akhirnya tercipta pada menit ke-77 untuk PSIS Semarang.
Gol tunggal kemenangan Mahesa Jenar dilesakkan oleh Saiful Amri memanfaatkan umpan tarik Budi Wahyono. Penjaga gawang Persebaya, Putu Yasa hanya mampu menyaksikan gawangnya bobol.
Sebuah pencapaian yang menjadi kenangan istimewa bagi publik sepak bola Kota Lunpia. Gelar juara yang merupakan buah kesabaran dalam skuat PSIS kala itu.
1999
Pada 9 April 1999 atau tepat 21 tahun yang lalu, PSIS Semarang mampu menjadi tim terbaik di Tanah Air. Mahesa Jenar menjuarai Ligina tahun 1999 dengan mengalahkan Persebaya Surabaya pada partai final.
Perjalanan PSIS Semarang di musim 1999 hampir mirip dengan kiprah Timnas Denmark yang menjuarai Piala Eropa di tahun 1992. Tidak ada yang mengira Denmark bisa keluar sebagai kampiun hingga menyandang predikat Tim Dinamit.
Tidak ada yang memprediksi PSIS bakal keluar sebagai juara, karena cukup kesulitan sejak fase penyisihan grup, babak 10 besar, hingga fase gugur. Menariknya, PSIS selalu bertemu Persebaya di setiap fase yang sekaligus rival abadinya.
Pada babak penyisihan, PSIS yang kala itu dilatih Eddy Paryono menduduki peringkat kedua di bawah Persebaya. Kemudian masuk ke babak sepuluh besar yang terbagi menjadi dua grup, lagi-lagi PSIS berada di bawah Persebaya.
Lolos ke semifinal, PSIS harus berhadapan tim raksasa Persija Jakarta pada 1 April 1999 di Stadion Utama Senayan. Gol tunggal kemenangan PSIS ditentukan oleh Ebanda Timothy yang sekaligus untuk mengenang tragedi Lenteng Agung yang menewaskan 11 anggota suporter PSIS.
Di partai puncak, PSIS bertemu Persebaya Surabaya yang di atas kertas lebih diunggulkan. Bajul Ijo memiliki materi pemain yang mentereng seperti Aji Santoso, Hendro Kartiko, Uston Nawawi, Bejo Sugiantoro, hingga Eri Irianto.
Berkat permainan sabar dan kekompakan, PSIS mampu mempecundangi Persebaya. Gol semata wayang Tugiyo menjelang berakhirnya pertandingan, membuat Mahesa Jenar larut dalam pesta perayaan gelar juara.
2
Dua gelar juara berhasil disabet Mahesa Jenar sepanjang sejarah sepak bola Indonesia. Pertama pada tahun 1987 ketika PSIS menjuarai kompetisi Perserikatan. Kemudian di tahun 1999, saat PSIS menjadi kampiun Liga Indonesia.
Menariknya, berkat dua pelatih lokal pula yang mampu menjadikan PSIS sebagai tim terbaik di Indonesia. Pertama adalah nama Sartono Anwar yang bakal sangat sulit dilupakan oleh publik PSIS Semarang. Dia adalah pelatih yang pertama kali mempersembahkan gelar juara bagi Mahesa Jenar di pentas sepak bola Indonesia.
Trofi juara Perserikatan di tahun 1987 dengan mengalahkan Persebaya Surabaya, adalah bukti sentuhan magis pria kelahiran Semarang 30 September 1942. Sekaligus menjadi gelar pertama bagi PSIS sepanjang sejarah klub.
Pelatih lokal PSIS kedua yang mampu mempersembahkan gelar juara yakni Edy Paryono. Sama-sama putera daerah Semarang yang tampaknya seperti duplikat dari Sartono Anwar dalam membawa kesuksesan untuk PSIS.
Edy Paryono mampu menyamai prestasi Sartono Anwar dengan mengantarkan PSIS juara. Edy Paryono lahir di Semarang, 14 Juli 1954. Prestasi tertingginya adalah mengantarkan Mahesa Jenar menjuarai Liga Indonesia tahun 1999 dan juara Divisi I tahun 2001.
Momen juara 1999 menjadi yang terbaik baginya. Dengan bekal skuat yang pas-pasan dan tidak diperhitungkan sebelumnya, PSIS justru tampil sebagai pemenang kompetisi. PSIS dibawanya meraih gelar juara usai mengalahkan Persebaya Surabaya di final lewat gol tunggal Tugiyo.
Trofi PSIS di tahun 1999 tak lepas dari tangan dingin Eddy Paryono dalam menyusun taktik dan strategi. Ia mampu memaksimalkan peran mulai dari penjaga gawang sampai barisan penyerang.
2017
Menjadi tahun yang sangat krusial bagi PSIS Semarang. Di tahun 2017, PSIS berhasil kembali naik kasta ke Liga 1 setelah sembilan musim sebelumnya selalu berkutat di kasta kedua.
Tim pujaan Panser Biru dan Snex mengunci satu tiket promosi ke Liga 1, setelah keluar sebagai juara ketiga. PSIS mampu mengakhiri perlawanan sengit Martapura FC dengan skor 6-4.
PSIS pun menemani Persebaya Surabaya dan PSMS Medan untuk tampil di Liga 1. Bersama Persebaya, PSIS mampu membuktikan diri sebagai tim yang konsisten. Karena PSMS Medan justru kembali terdegradasi ke Liga 2.
Bahkan PSIS mampu tampil sebagai kuda hitam pada musim pertamanya di Shopee Liga 1 2018. Mahesa Jenar sukses bertengger di papan tengah, meski di awal musim sempat keteteran.
11
Menjadi hari paling kelam bagi suporter PSIS Semarang pada 1 April 1999, atau tepat 21 Tahun lalu di Ibukota Jakarta. Mahesa Jenar memang berhasil melaju ke final Ligina 1999 usai mengalahkan tuan rumah Persija Jakarta di laga semifinal.
Namun siapa sangka pada esok hari sebelum kemenangan PSIS yang ditentukan oleh gol Ebanda Timoti, terjadi peristiwa yang sangat memilukan. 11 anggota suporter PSIS meregang nyawa karena kecelakaan tragis.
Pada 31 Maret 1999 sore, ribuan fans PSIS yang masih tergabung dalam Yayasan Mahesa Jenar, datang ke ibukota, menggunakan armada bus maupun kereta api.
Terdapat dua insiden kecelakaan yang disebabkan oleh kereta api. Seorang pendukung PSIS meninggal akibat tersangkut kabel di Stasiun Jatinegara. Beberapa jam kemudian, 10 pendukung PSIS tertabrak kereta dalam tragedi Lenteng Agung.
48
Predikat sebagai besar PSIS Semarang, cukup layak disandang oleh Hari Nur Yulianto. Selain memiliki jumlah penampilan terbanyak, dirinya juga tercatat sebagai pemain PSIS yang paling banyak mencetak gol.
Sejak berseragam PSIS pada musim 2013 atau tujuh tahun silam, dirinya telah menorehkan total 48 gol. Statistik tersebut berdasarkan informasi dari akun resmi PSIS Semarang, pemain asal Kendal tersebut menduduki peringkat pertama sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang masa PSIS.
Jumlah gol yang dicatatkan Hari Nur cukup jauh melewati pemain-pemain lain yang lebih dulu berseragam PSIS. Julio Lopez tercatat mengemas 36 gol, Indriyanto Nugroho (34 gol), Budi Wahyono (30 gol), dan Arliston de Oliveira (29 gol).