Bola.com, Semarang - Sepak bola di wilayah Semarang dan sekitarnya tumbuh dengan pesat sejak lama. Secara historis, Semarang berkibar setelah PSIS meraih prestasi juara Perserikatan tahun 1987. Ini menjadi bukti sepak bola begitu hidup di kota Lunpia.
Kemudian tahun 1999, PSIS kembali mampu membuktikan diri sebagai tim terbaik di Indonesia untuk kedua kalinya. Meski dengan skuat bukan pemain-pemain bintang, PSIS keluar sebagai juaranya.
Setelah itu, dalam perjalanannya, prestasi tim Mahesa Jenar mengalami pasang surut. PSIS menjadi kuda hitam pada medio 2005 hingga 2006 dengan menduduki tiga besar dan runner-up Liga Indonesia.
Sembilan musim kemudian, PSIS lama berkutat di kasta kedua. Sampai akhirnya PSIS berhasil kembali ke habitatnya di Liga 1 pada musim 2017. Selama lebih dari dua musim terakhir PSIS terus berbenah dan mewujudkan impian sebagai tim kuat.
Kiprah PSIS tak lepas dari para pemain yang menjadi pilar, terutama peran pemain asli produk sepak bola di Semarang. Tidak sedikit produk asli hasil gembelangan sekolah sepak bola (SSB) Semarang yang berhasil membawa harum nama tim tanah kelahiran.
Bola.com berbincang santai dengan sosok pelatih senior yang begitu familiar di sepak bola Semarang, Sartono Anwar.
Pelatih yang mampu membawa PSIS juara kompetisi Perserikatan di tahun 1987 ini banyak bercerita mengenai kiprah SSB sebagai kawah candradimuka bagi dunia sepak bola Semarang.
Video
Bintang PSIS Banyak Dilahirkan SSB
Sartono Anwar sudah begitu dikenal sebagai juru taktik handal sejak tahun 80-an. Gelar juara Perserikatan tahun 1987 sebagai bukti bahwa Semarang tidak kalah dalam melahirkan talenta-talenta pesepak bola.
Puluhan SSB yang tersebar di wilayah Semarang, diakuinya membawa dampak besar bagi prestasi dan pembinaan sepak bola. Sudah terbukti nama-nama pesepak bola beken di Indonesia lahir dari SSB Semarang.
"Saat ini di Kota Semarang ada 30 sekolah sepak bola (SSB). Beberapa yang paling sering mengorbitkan pemain ke tim PSIS seperti SSS, Tugu Muda, Baladika, atau Terang Bangsa. S3 dulu melahirkan Kurnia Sandy, Eko Purjianto, dan Nova Arianto," terang Sartono Anwar melalui sambungan telepon, Kamis (2/7/2020).
Selain itu, jebolan SSS (Sport Supaya Sehat) ada M. Ridwan, kemudian Septian David Maulana (Baladika), dan Awan Setho (Tugu Muda).
Menurut Sartono Anwar, konsistensi menjadi kunci keberhasilan pembina yakni SSB dalam menelurkan pemain-pemain yang siap tampil di level yang lebih tinggi. Banyak SSB yang masih bertahan karena kepedulian akan besarnya potensi anak-anak di Semarang yang perlu diwadahi.
"Mereka konsisten menampung anak-anak untuk giat berlatih, tidak ada kegiatan selain sepak bola di lapangan. Begitu juga dengan peran PSSI Kota Semarang yang peduli, dengan aktif menggelar turnamen atau kegiatan," beber ayah Nova Arianto ini.
Berkembang Pesat
Pria asli Semarang ini memberikan apresiasi kepada pemerhati sepak bola usia dini di wilayahnya. Menurutnya, SSB di Semarang yang tumbuh dengan pesat dari waktu ke waktu.
Dengan jumlah SSB di Semarang yang mencapai 30 sekolah, sudah cukup membuktikan sepak bola berkembang dengan pesat.
Sebagai sesama pembina sesama pesepakbola usia dini, banyak hal positif yang bisa didapat oleh persepakbolaan Semarang di kemudian hari. Diketahui Sartono Anwar masih eksis melatih SSB Tugu Muda, Kota Semarang sampai saat ini.
"Perkembangannya semakin banyak, sangat bagus, di Semarang begitu semarak. Menjadi satu keuntungan bagi Semarang pada khususnya dan Indonesia pada umumnya dengan banyak SSB berdiri," ungkapnya.
"Hanya saja jumlah pemain banyak kurang diimbangi dengan kualitas yang dimiliki anak-anak. Barangkali karena kurang ada ilmu diterima terutama oleh para pengajarnya," lanjut pria 72 tahun.
Pematangan Usia Emas
Sartono Anwar menambahkan pentingnya pemahaman mendasar bagi seorang calon pesepakbola masa depan. Bakal disayangkan apabila sejak usia dini, anak-anak justru mengalami kekeliruan dalam menyerap ilmu.
SSB disebutnya berhasil apabila mampu mengajarkan teknik dasar bermain sepak bola yang baik dan benar bagi anak didiknya. Menurutnya anak usia antara 6 sampai 12 tahun adalah umur emas dalam menyerap cara bermain yang tepat.
"SSB itu bukan semata-mata hanya mencari piala, juara, itu yang salah langkah. Tapi pondasi harus kuat. Tentu ada banyak perbedaan dibandingkan ketika saya masih merintis sebagai pemain maupun pelatih dulu. Saat ini jelas sudah lebih maju," kata Sartono.
"Tapi terus terang kualitasnya masih kurang dibandingkan jumlahnya. Idealnya dari 100 anak, minimal ada 70 yang berkualitas. Anak-anak era dulu bakatnya lebih menonjol," tutur pria 72 tahun ini.
Pesan Penting
Sartono juga tidak lupa mengomentari para mentor yang ada di SSB. Sebagai seorang pelatih atau guru di SSB, setidaknya harus ikut menyesuaikan filosofi PSSI, dengan kurikulum yang benar dan terarah.
"Pelatih sekarang masih kurang, harus ikut kursus dan berlisensi dengan kualitas tentunya sehingga menghasilkan anak didik yang berkualitas pula," ucap Sartono.
Aktivitasnya saat ini lebih banyak dilakukan di rumah, lantaran wabah virus Corona yang masih merebak. Terakhir kali Sartono Anwar memimpin anak didiknya di SSB Tugu Muda berlatih pada bulan Maret lalu.
Tiga bulan terakhir para siswanya harus berlatih secara mandiri. Meski demikian, banyak pesan berharga yang disampaikannya untuk anak didik. Meskipun masih dalam suasana pandemi COVID-19, tak mengurangi siswanya berlatih dengan maksimal.
"Saran saya untuk adik-adik, harus tetap berlatih mandiri karena keadaan sekarang lagi COVID-19. Aktif minta program dan petunjuk pelatih," tegas pria yang ikut membawa Persibo Bojonegoro juara Divisi Utama tahun 2011.
"Tidak perlu main di lapangan 11 lawan 11, tapi bagaimana supaya ada kegiatan di rumah. setiap anak kan pasti punya bola di rumah. Manfaatkan waktu, kalau tidak, akan terlalu drop nanti," jelasnya menutup perbincangan.