Bola.com, Makassar - Pencapaian PSM Makassar di Liga Indonesia terbilang lumayan. Sejak penyatuan kompetisi Peserikatan dan Galatama pada 1994, Juku Eja meraih trofi juara Liga Indonesia 1999-2000 dan lima kali runner-up, yakni pada musim 1995–96, 2001, 2003, 2004 dan 2018. Selain gelar juara liga, klub kebangaan Kota Daeng juga berjaya di Piala Indonesia 2018-2019.
Sukses ini tak lepas komitmen manajemen PSM Makassar yang selalu mematok target prestasi pada setiap musim. Itulah mengapa materi tim Juku Eja selalu dihuni pemain berkelas yang diyakini bisa bersaing di papan atas.
Sektor pemain asing misalnya. Nama-nama mentereng di Liga Indonesia seperti Jacksen Tiago, Luciano Leandro, Carlos de Mello, Cristian Gonzales, Oscar Aravena, Ronald Fagundez, Julio Lopez, Aldo Baretto dan Ali Khaddafi pernah berkostum PSM. Belakangan, di era Liga 1, Juku Eja memunculkan Wiljan Pluim sebagai gelandang papan atas di kompetisi kasta tertinggi Tanah Air.
Sederet pemain Timnas Indonesia juga pernah memperkuat PSM. Sebut saja Ansar Razak, Ronny Ririn, Hendro Kartiko, Yusrifar Djafar, Ortizan Salossa, Jack Komboy, Charis Yulianto, Irsyad Aras, Bima Sakti, Aji Santoso, Ahmad Amiruddin, Kurniawan Dwi Yulianto, Syamsul Chaeruddin, Ponaryo Astaman, Hamka Hamzah, M. Rahmat Zulkifli Syukur dan Rizky Pellu.
Alhasil, setiap musim PSM kerap jadi momok menakutkan buat tim lawan. Penampilan militan PSM juga tak bisa dilepaskan dari peran gelandang sebagai penyeimbang. Khususnya para gelandang lokal yang memberi juga warna pada penampilan PSM yang berkarakter keras dan cepat.
Bola.com mencatat ada lima gelandang lokal yang pernah berkontribusi besar buat PSM Makassar di era Liga Indonesia. Siapa saja mereka. Berikut analisanya.
Video
Ansar Razak
Ansar adalah tipikal gelandang bertahan yang mewakili karakter khas Makassar, yakni militan dan tanpa kompromi dalam mengawal daerahnya. Karier Ansar sempat nyaris selesai ketika mendapat sanksi larangan bertanding selama lima tahun oleh PSSI pada 1990.
Ia dinilai sebagai pemicu keributan pada duel PSM Makassar kontra Persib Bandung pada semifinal Perserikatan musim 1991-1992. Tekel kerasnya ke bek Persib, Ade Mulyono, mengawali tawuran antarpemain kala itu.
Beruntung, Ansar mampu bangkit. Setelah mendapat keringanan hukuman, ia menjadi bagian penting dari PSM saat menembus final Liga Indonesia 1995-1996. Prestasi yang membawanya masuk dalam Timnas Indonesia di Piala Asia 1996.
Saat berada di puncak karier sebagai pemain, Ansar meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas pada 30 Desember 1998.
Bima Sakti
Sebelum berlabuh di PSM Makassar, Bima Sakti menjadi bagian penting Timnas Indonesia di Piala Asia 1996. Gelandang yang sempat berguru di Italia dan Swedia ini dikenal dengan karakternya yang kuat.
Meski berperan sebagai jangkar yang bertugas sebagai penyeimbang permainan tim, Bima termasuk pemain yang jarang mendapat kartu. Saat membawa Juku Eja meraih trofi juara Liga Indonesia 1995-1996, Bima tak pernah sekalipun mendapat sanksi kartu.
Musim itu pun jadi momen manis dalam karier Bima, di mana selain trofi juara tim, ia meraih penghargaan personal yakni pemain terbaik. Selepas dari PSM, Bima memperkuat sejumlah klub dan pensiun saat usianya jelang kepala empat.
Bima Sakti kini bersatatus pelatih kepala di Timnas Indonesia U-16.
Ponaryo Astaman
Ponaryo disebut-sebut sebagai penerus Bima Sakti di PSM Makassar dan Timnas Indonesia. Kebetulan keduanya sama-sama berasal dari Balikpapan. Seperti Bima, Ponaryo pun lekat dengan jersey nomor punggung 11.
Ponaryo dua kali membawa membawa PSM juara tanpa mahkota, yakni pada musim 2003 dan 2004. Meski hanya meraih runner-up pada dua musim itu, penampilan PSM kerap menuai pujian dan ditakuti tim lawan.
Sementara di Timnas Indonesia, Ponaryo dua kali tampil di Piala Asia, yakni pada 2004 dan 2007. Dalam ajang tertinggi antarnegara Asia itu, aksi Ponaryo pernah menuai sorotan ketika mencetak gol lewat tendangan dari luar kotak penalti ke gawang Qatar di Workers Stadium, Beijing, China, 18 Juli 2004.
Syamsul Chaeruddin
Syamsul adalah duet ideal Ponaryo di PSM Makassar maupun Timnas Indonesia. Karakter keras, spartan dan militan di lapangan hijau ala Syamsul sangat pas dipadukan denggan Ponaryo yang lebih dingin sebagai penyeimbang tim.
Meski tak pernah membawa PSM juara, Syamsul tetap menjadi idola sepanjang masa suporter Juku Eja. Ia pun menjadi pemain asal Makassar yang paling banyak memperkuat tim nasional di era sepak bola modern.
Syamsul meraih 34 caps bersama skuat Merah Putih. Ia pun pernah memperkuat tim nasional dari level junior sampai senior seperti Piala Hassanal Bolkiah, SEA Games, Piala AFF, Piala Asia, kualifikasi Piala Dunia dan pra-Olimpiade.
Setelah gantung sepatu pada 2019, Syamsul lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membina dan melatih pemain muda di Kabupaten Gowa, kampung halamannya.
Yuniarto Budi
Sosok Yuniarto Budi memang kalah pamor dibandingkan empat nama di atas. Tapi, perannya sebagai gelandang sangat dibutuhkan oleh PSM Makassar. Itu karena determinasi yang didukung stamina prima ala Yuniarto membuat pemain bertubuh kecil bisa terihat di mana-mana.
Gatot, sapaan akrabnya, mulai mendapat sorotan di Liga Indonesia 1995-1996. Ia menjadi pemutus serangan lawan bersama Ansar Razak sekaligus pendamping Luciano Leandro yang berperan sebagai gelandang serang.
Gatot juga berperan penting saat membawa tim Sulawesi Selatan menembus semifinal cabang sepak bola pada PON 1996. Pencapaian terbaik Gatot bersama PSM adalah meraih trofi juara Liga Indonesia 1999-2000 dan runner-up pada musim berikutnya.
Saat di lini tengah, ia menjadi pedamping Bima Sakti dan Carlos de Mello. Bicara level internasional. Gatot bersama PSM lolos ke perempat final Liga Champions Asia dan runner-up di Piala Bangabandhu 1997 di Bangladesh.
Baca Juga
Hasil Liga Inggris: Dipaksa Imbang Everton, Chelsea Gagal Kudeta Liverpool dari Puncak
Hasil Liga Italia: Bang Jay Gacor 90 Menit, Venezia Sikat Cagliari dan Keluar dari Posisi Juru Kunci
Aneh tapi Nyata! PSM Main dengan 12 Pemain saat Menang atas Barito Putera di BRI Liga 1: Wasit Pipin Indra Pratama Jadi Bulan-bulanan